Oleh: Shinta Mutiara Dewi
PUASA Ramadan yang selama ini sudah disyariatkan banyak memberikan manfaat kepada umat Islam. Dimana bulan Ramadhan menjadi momentum bagi umat Nabi Muhammad untuk dapat melakukan evaluasi dan upaya peningkatan diri. Datangnya bulan Ramadan dapat menjadi investasi pahala, kebaikan, dan adanya magfiroh atau ampunan dari Allah SWT. Dalam sebuah hadist disebutkan, “ Barangsiapa yang bergembira akan hadirnya bulan Ramadhan, maka jasadnya tidak akan tersenuh sedikit pun oleh api neraka.” (HR. An-Nasa’i).
Selama sebulan penuh berpuasa ada tiga fase yang dilalui, yaitu sepuluh hari pertama mengharap rahmat, sepuluh hari kedua mengharapkan magfiroh, dan sepuluh hari terakhir mengharapkan terbebasnya dari api neraka. Kenapa urutannya demikian? Dalam kitab Maqoshid al-Shaum, kitab yang khusus menerangkan hal ikhwal mengenai puasa, karya ulama besar Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam as-Sulami, menjelaskan bahwa “Sesungguhnya lapar dan haus dapat mengalahkan syahwat bermaksiat.”
Dalam pandangan Imam Izzuddin, orang yang kenyang memiliki kecenderungan lebih untuk bermaksiat, tapi disaat lapar dan haus, fokusnya lebih pada mencari makanan dan minuman. Perlu dipahami bahwa lapar dan hahaga disini adalah puasa, yaitu lapar dan dahaga yang disengaja dan didasari oleh niat ibadah. Sehingga niat ibadah inilah yang membuat lapar dan dahaga memiliki arti yaitu, menjadi ajang pelatihan diri, mengendalikan hawa nafsu dan meminimalisir syahwa bermaksiat. Sehingga ketika bisa melewati sepuluh hari pertama dengan ketakwaan, maka akan mendapat rahmat Allah SWT. Jika rahmat Allah SWT sudah didapatkan, maka secara otomatis akan mendapat maghfiroh atau ampunan dari Allah SWT.
Berdasarkan hadis Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim). Setelah mendapat rahmat dan maghfiroh dari Allah SWT, maka puncak dari itu semua yaitu terbebas dari api neraka. Sehingga sampailah pada tujuan berpuasa hingga meraih predikat takwa atau disebut Idul Fitri.
Selain itu ada hadis yang mengatakan, “Ketika masuk bulan Ramadhan, maka setan-setan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup.” (HR Bukhari dan Muslim). Sebagian ulama memahami, setan-setan dibelenggu berarti dibelenggunya nafsu kita dari perbuatan maksiat, ditutupnyya pintu nerarka berarti Allah mengampuni dosa hamba-hambaNya yang bertaubat, dan dibukanya pintu surga berarti membuka pintu kebaikan seluas dan sebanyak mungkin.
Dalam bulan Ramadhan segala amal perbuatan yang baik dapat dikategorikan ibadah, bahkan tidurnya orang yang berpuasa juga dihitung ibadah. Dalam hadis disebutkan, “Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan dan dosanya diampuni.” (HR Baihaqi), inilah salah satu kelebihan dari berpuasa. Namun kelebihan yang paling utama yaitu puasa Ramadhan tidak dapat dikalkulasi pahalanya kecuali Allah SWT, karena itu adalah hak prioritas-Nya. “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, Amalan puasa adalah untuk-Ku.” Kutipan (HARI Bukhari Muslim).
Puasa Ramadhan disamping membangun hubungan hablum minallah juga harus berupaya membangun hablum minannas, atau membangun hubungan yang vertikal dan horizontal. Membangun hubungan hablum minallah yaitu dengan perbanyak dzikir, membaca al-Qur’an, sholat malam, tarawih dan lain sebagainya. Sedangkan membangun hablum minannas dengan perbanyak sedekah, perbanyak berbuat kebaikan, silahturahim, tidak menggunjing dan lain sebagainya. Kedua hubungan tersebut harus dilakukan dengan seimbang. Inilah kunci hidup, sehingga malaikat Jibril ingin menjadi manusia karena perilaku sosial.
Puasa Ramadhan selain ajang meningkatkan keimanan juga meningkat kepedulian. Dalam kitab Maqashid al-Shaum disebutkan, “Karena sesungguhnya orang yang berpuasa ketika dia merasakan lapar, dia mengingat rasa lapar itu. Hal itulah yag memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar”. Puasa dapat menumbuhkan rasa empati kepada orang fakir miskin, sehingga jika memberikan sedekah akan meringankan beban kebutuhannya. Terlebih pada puasa Ramadhan dimana tenaga untuk bekerja terbatas. Bahkan disebutkan jika memberi makan orang yang berpuasa maka pahalanya seperti orang yang berpuasa tersebut. Hal ini terdapat dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.”
Dalam kitab Maqashid al-Shaum juga diceritakan tentang Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf yang tidak makan hingga semua orang yang memiliki hubungan dengannya yaitu keluarga dan rakyatnya sudah makan. Lalu seseorang bertanya, “Kenapa melakukan hal tersebut?” Nabi Sulaiman atau Nabi Yusuf menjawab, “Aku takut ketika kenyang, aku melupakan orang-orang lapar”.
Manusia sering lalai atas nikmat yang Allah limpahkan pada hambanya, misalnya nikmat sehat sebelum datangnya sakit. Maka puasa ini dapat membangun rasa syukur kita dan kepedulian atas nikmat yang Allah SWT anugerahkan pada kita. Dalam kitan Maqashid al-Shaum, Imam Izzuddin al-Sulami berkara, “Ketika berpuasa, manusia menjadi tahu nikmat Allah kepadanya berupa kenyang dan terpenuhinya rasa haus. Karena itu mereka bersyukur. Sebab, kenikmatan tidak diketahui nilainya tanpa melalui hilangnya rasa nikmat itu (terlebih dahulu)”.
Semoga puasa Ramadhan yang kita jalani, Allah senantiasa memberikan taufik hidayahnya dan membimbing kita menjadi pribadi yang lebih baik. Semoga kita dapat meningkatkan kualitas keimanan dan kepedulian kita terhadap sesama dan melaksanakan ibadah puasa dengan semaksimal mungkin, hingga pada akhirnya kita dapat meraih predikat sukses, sholeh, selamat. Wallahu a’lam bish shawab.
Shinta Mutiara Dewi, Santri Life Skill Daarun Najaah Semarang dan Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam, UIN Walisongo Semarang.Jatengdaily.com–st
GIPHY App Key not set. Please check settings