in

Vaksinasi di Saat Puasa

Oleh Ahmad Rofiq

SAAT saya mendapat kehormatan sebagai narasumber dalam webinar tentang Vaksinasi Halal untuk Semua, yang digelar oleh Ikatan Alumni Magister Administrasi Rumah Sakit (MARS) Universitas Diponegoro, bersamaan dengan Narasumber Studium General Pascasarjana IAIN Pekalongan, 27/2/2021, sudah mendapat pertanyaan dari peserta tentang “apakah vaksinasi – termasuk covid-19 – di saat puasa, apakah membatalkan puasa atau tidak?

Waktu itu, belum ada fatwa MUI, tetapi keyakinan atas sependek ilmu saya, saya memberanikan diri menjawab, bahwa karena vaksinasi dilakukan melalui injeksi, tidak melalui lobang saluran makan dan minum secara normal, maka vaksinasi tersebut tidak membatalkan ibadah puasa.
Pagi ini, saya mendapat pertanyaan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Pati, KH. Abdul Mujib Sholeh, saya pun berpendapat sama.

Namun karena pertanyaan beliau, adalah tentang fatwa MUI, maka saya konfirmasi kepada Mas Kyai Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, yang “branded alias mu’tabar” sebagai “ahli fatwa MUI”, bahwa Fatwa MUI yang nomornya sudah terpublikasi Nomor: 13/2021 tentang Vaksinasi Covid-19 bagi Umat Islam yang sedang berpuasa, ternyata “masih dirapikan” alias belum dipublikasikan secara lengkap.

Karena memang dalam format “baku” fatwa MUI, yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa, harus lengkap. Mulai dari Kepala Surat MUI, Nomor Fatwa, perihal, konsideran, siapa yang mengajukan fatwa (mustafti)-nya, konsideran pertimbangan hukum, identifikasi masalah (tashawwur) masalah, referensi ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Sunnah, pendapat para Ulama salaf dan khalaf, kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh, diktum umum, dictum hukum, dan rekomendasi, dan difatwakan di mana, tanggal berapa, dan yang bertanda tangan, harus lengkap.

MUI sendiri sudah memiliki Metode Penatapan Fatwa yang sudah baku, yang memadukan di antara berbagai metode “ijtihad” yang dilakukan oleh para Ulama. Maka wajar saja, sekiranya, fatwa MUI dalam berbagai persoalan dan tema peristiwa hukum yang terjadi (waqi’iyah maudlu’iyah) dan baru atau bahkan kontemporer, selalu dinanti dan ditunggu oleh masyarakat. Ini karena bersangkutan dengan persoalan hukum Islam terkait perbuatan seorang Muslim/Muslimah yang cakap melakukan perbuatan hukum (af’alu l-mukallafin) dan sekaligus berususan dengan persoalan ibadah.

Di satu sisi vaksinasi – Covid-19 – yang sudah diterima dan “diyakini” sebagai kewajiban ikhtiyari manusia, karena vaksinasi yang menggunakan vaksin produk sinovac – yang sudah difatwakan suci dan halal oleh MUI – harus dilakukan dua kali. Maka boleh jadi mereka yang sudah vaksin pada tahap kedua, dan termasuk katagori lansia (lanjut usia), karena masa tunggu injeksi yang kedua harus menunggu dua puluh delapan hari, maka boleh jadi sudah memasuki bulan suci Ramadhan.

“Bocoran” diktum fatwa yang sudah keluar, adalah, pertama, bahwa hukum melakukan vaksinasi — Covid-19 – bagi umat Islam yang sedang berpuasa dengan cara injeksi intramuscular adalah boleh sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dharar). Karena setiap kemadharatan harus dihilangkan atau dihindari (al-dhararu yuzaalu).

Sehubungan dengan itu, Komisi Fatwa MUI merekomendasikan kepada pemerintah dapat melakukan vaksinasi Covid-19 pada saat bulan Ramadhan guna mencegah penularan Covid-19 dengan memperhatikan kondisi umat Islam yang sedang berpuasa. Untuk itu, jika memungkinkan pemerintah dapat melakukan vaksinasi pada malam hari di bulan Ramadhan. Alasannya, karena siang umat Islam berpuasa dan dikhawatirkan menyebabkan bahaya akibat lemahnya kondisi fisik.  Karena meskipun sifatnya kasuistik dan individual, ada beberapa orang yang setelah divaksinasi, tubuhnya memberikan reaksi. Karena itulah, peserta setelah divaksin, diminta menunggu sekitar 30 menit, agar jika ada reaksi tertentu, dapat segera diatasi oleh dokter yang standby.

Yang jelas, dalam fatwa Nomor: 13/2021 tersebut, masih dicantumkan dictum bahwa “Umat Islam wajib berpartisipasi dalam program vaksinasi Covid-19 yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity) dan terbebas dari wabah Covid-19. Sejalan dengan kaidah “ar-ri’ayah khairun min al-‘ilaj” artinya “memelihara (mencegah) lebih baik dari pada mengobati atau juga “ad-daf’u afdhalu min ar-raf’I” artinya “menolak/mencegah itu lebih utama dari pada menghilangkan (penyakit)”. Allah a’lam bi sh-shawab.

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Guru Besar UIN Walisongo, Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Ketua II Bidang Pendidikan YPKPI Masjid Raya Baiturrahman, Ketua Bidang Pendidikan Masjid Agung Jawa Tengah, dan Koordinator Wilayah Indonesia Tengah MES Pusat. Jatengdaily.com–st

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Antisipasi Varian Virus Baru Corona, Pemerintah Terus Perbaiki Strategi Deteksi

Zona Hijau Tingkat RT Meningkat di Atas 600 Persen