Oleh : Nur Khoirin YD
Perbincangan rutin setiap memasuki bulan Ramadhan adalah mengenai jumlah rakaat salat tarawih yang berbeda. Ada yang melaksanakan 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir, dan sebagian melaksanakan 8 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Diskusi lain yang tidak kalah menarik adalah tentang pelaksanaan tarawih yang cepat atau lambat, mana yang lebih afdal? Bahkan di youtube-youtube atau medsos sering ditampakkan salat tarawih yang diikuti oleh banyak jamaah terlihat sangat ekstrim, super kilat. Pertanyaannya, sahkah?
Beberapa hari yang lalu group WA MUI Jawa Tengah diwarnai perdebatan sengit antar kyai mengenai sahnya tarawih dengan bacaan dan gerakan cepat. Hal ini mengomentari praktek tarawih yang dilakukan oleh Kyai NU yang umumnya dilakukan sebanyak 23 rakaat tetapi dengan cepat. Ada yang pro dan kontra. Saling adu dalil dan argumen pun terjadi.
Dalil yang kontra
Salah satu kyai yang tidak setuju dengan salat tarawih cepat adalah Kyai Atieq Amjadallah. Ia memperkuat pendapatnya dengan mengutip keterangan dari Kitab Bughyah Al-Mustarsyidin mengenai salat tarawih yang cepat, dijelaskan bahwa : “Mempercepat salat Tarawih sampai keterlaluan itu termasuk salah satu tindakan bid’ah yang sudah tersebar di mana-mana.
Hal itu terjadi karena faktor bodohnya para imam salat dan wujud kemalasan mereka dalam beribadah. Melaksanakan salat tarawih sendirian dengan sikap khusyu’ dan tuma’ninah itu lebih afdlol dari pada berjamaah/ mengikuti seorang imam yang shalatnya serba cepat. Apabila makmum yakin atau menduga bahwa sang imam tidak menyempurnakan sebagian rukun salat, maka jamaahnya sama sekali tidak sah”. (Bughyah Al-Mustarsyidin hal. 79).
Keterangan senada juga disebutkan dalam kitab “I’anatut Thalibin Juz 1 halaman 265 sebagai beriku : “Hindarilah pelaksanaan salat dengan terlalu cepat seperti yang biasa dilakukan kebanyakan juhalah dalam melakukan salat tarawih. Karena sangat cepatnya mungkin mereka melewatkan sebagian rukun, seperti tanpa thuma’ninah di dalam ruku’ dan sujud, atau membaca surat al-Fatihah tidak dengan sebenarnya karena tergesah-gesa.
Salat yang demikian ini tidak dinilai oleh Allah swt sebagai salat yang berpahala, meskipun mereka tidak dianggap meninggalkan salat. Orang tersebut ketika salam hatinya bangga karena bisa melaksanakannya secara cepat. Hal itu dan sejenisnya termasuk tipu daya syetan yang paling besar kepada orang yang beriman”.
Oleh karena itu salat, termasuk salat tarawih harus dilakukan secara khusyu’, thuma’ninah, dengan memenuhi bacaan yang benar dan gerakan yang wajar. Salat adalah media komunikasi dengan Allah swt, sehingga mushalli harus benar-benar mengerti dan menghayati arti setiap bacaan. Ini tidak mungkin dilakukan dengan cepat dan tergesa-gesa.
Dalil yang pro
Dikatakan sebagai imam yang juhala’ dan kusala’ karena salatnya cepat, Kyai Fadlolan Musyaffa, Ketua Komisi Fatwa yang juga pengasuh Ponpes Fadhlul Fadhlan Mijen ini tidak terima. Ia mengemukan berargumen, bahwa kyai-kyai NU yang mayoritas pengasuh pondok pesantren salaf sudah membaca ta’bir yang dikemukakan oleh kitab-kitab tersebut.
Mereka mengimami salat tarawih cepat pasti dengan menjaga rukun salat terutama thuma’ninah yang ukurannya hanya ucapan subhanallah, hanya beberapa detik. Pertimbangan yang lain adalah karena mereka tarawihnya 20 rakaat plus 3 rakaat witir. Setelah tarawih masih banyak agenda ngaji kitab dengan para santri sampai tengah malam yang pahalanya lebih besar dibandingkan tarawih.
Ngaji kitab juga dilakukan dengan cara yang kilat agar targetnya khatam sebelum malam likuran. Dengan demikian ibarah ta’bir dalam kedua kitab di atas adalah peringatan bagi orang-orang bodoh, pemalas dan pengangguran yang habis tarawih hanya cangkruk udud dan tidak ada kerjaan.
Prof. Abu Rokhmat, Asisten Ahli Menteri Agama, termasuk pendukung salat tarawih cepat. Ia menukil ungkapan dari Badai’i as Shana’i Juz 1/289 yang menyebutkan : “taktsirul jama’ah afdhalu min tathwilil qira’ah” (memperbanyak jamaah dengan bacaan yang cepat lebih afdal dari pada memanjangkan bacaan yang mengakibatkan jamaah enggan).
Salat tarawih dengan bacaan dan gerakan yang cepat, asal tidak super cepat dan tidak meninggalkan rukun salat adalah sah dan diperbolehkan. Para wali dan ulama pun salat ratusan, bahkan ribuan raka’at hanya dalam satu malam. Rukun salat yang harus dipenuhi tidak banyak. Rukun bacaan hanya takbiratul ihram, al-Fatihah, tasyahud akhir, dan salam.
Adapun bacaan lainnya termasuk sunnah yang boleh ditinggalkan. Rukun yang berupa gerakan adalah ruku’, i’tidal, sujud dan duduk di antara dua sujud, semua harus dilakukan dengan thuma’ninah. Thuma’niah adalah berhenti sejenak setelah bergerak, lamanya setara membaca tasbih (Subhanallah), kira-kira satu detik.
Bacaan dalam setiap gerakan hukumnya juga sunnah, bisa dibaca atau ditinggalkan. Bacaan tasyahud akhir juga tidak harus dibaca lengkap. Cukup sampai shalawat nabi.
Meskipun tarawih cepat, tetapi tidak super kilat seperti dipertontonkan dalam youtube-youtube itu, yang kesannya main-main. Mungkin saja sengaja dibuat konten agar menarik perhatian nitizen. Tetapi harus ditegur, bisa masuk perbuatan melecehkan agama. Karena dalam kenyataannya tidak ada salat seperti itu.
Cepat atau lambat pilihan
Dalam pelaksanaan salat tarawih tiap masjid atau mushalla telah memiliki kebiasaan masing-masing yang tetap, baik jumlah rakaatnya maupun kecepatannya. Misalnya, Masjid Agung Jawa Tengah sekali tarawih harus menghatamkan 1 juz Al Qur’an, sehingga agak lama.
Hal ini sudah berjalan lama dan juga banyak peminatnya. Bahkan ada pesantren yang tarawihnya bisa menghatamkan 30 juz, sehingga sampai sahur. Tetapi juga banyak masjid yang tarawihnya sedang-sedang saja. Masyarakat sudah bisa niteni sendiri, sehingga bisa memilih mana yang disenangi. Bahkan bisa berpindah-pindah agar mendaptkan pengalaman bervariasi.
Tetapi yang lebih penting, imam harus mempertimbangkan kondisi jamaah. Misalnya, masjid-masjid yang berada di pinggir jalan raya di mana jamaahnya sebagian besar adalah orang-orang yang mampir, maka salatnya lebih baik dipercepat. Tetapi jika makmumnya sebagian orang mukim dan sudah berusia lanjut, maka lebih baik salatnya yang pelan.
DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo. Tinggal di Jl. Tugulapangan H.40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang. Jatengdaily.com-st