Oleh : Pudjo Rahayu Risan
MENARIK dan sangat bermakna pernyataan Joko Widodo (Jokowi) Presiden RI yang sudah dua periode dan secara regulasi tidak dimungkinkan ikut kontestasi akan selesai pada 20 Oktober 2024. Sepertinya tanpa beban, “Saya ini dua kali Wali Kota di Solo menang, kemudian ditarik ke Jakarta, Gubernur sekali menang. Kemudian dua kali di pemilu Presiden juga menang. Mohon maaf Pak Prabowo. Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo,” Penyataan ini ketika Jokowi menghadiri HUT Ke-8 Partai Perindo Senin, 7 November 2022.
Sontak, Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto yang juga hadir ketika Jokowi membuat pernyataan itu, mengatakan jabatan presiden hanya didapat melalui proses demokrasi yakni pemilu. “Semua kan tahu, namanya pemilu, pemimpin, presiden itu kan bukan jatah menjatah. Tapi melalui hasil proses pemilu,” kata Hasto di Surabaya, Rabu (9/11).
Dalam politik memang bisa serba sulit. Maju kena mundur kena. Bahkan kekiri risiko dan kekananpun berisiko. Tidak berkomentar sebagai Sekjen dan kebetulan hadir menyaksikan dan mendengar sendiri, kalau tidak berpendapat bisa dipersepsikan setuju bahwa ‘jatah’ presiden 2024 jatahnya Prabowo Subianto. Ketika mengomentari juga terkesan ‘lucu’ dimana semua orang tahu dan paham menjadi presiden proses dan tahapannya sudah jelas ada regulasinya bukan ‘jatah-jatahan’.
Baca Juga: Dubes Temui Ganjar, Bahas Ekspor UMKM dan Progres Investor dari Perancis
Untuk menetralisir, Hasto berpendapat ucapan Jokowi kepada Prabowo itu sebatas untuk memuji dan memberikan harapan saja. Jadi bagi PDIP, ucapan Jokowi kepada Prabowo itu bukanlah bentuk dukungan. Melainkan hanya bagian dari upaya saling memuji di antara pemimpin. Itulah politik dipanggung depan clear bahwa ucapan Jokowi kepada Prabowo itu bukanlah bentuk dukungan. Melainkan hanya bagian dari upaya saling memuji di antara pemimpin. Tetapi analisa politik bisa menghasilkan banyak persepsi.
Jangan-jangan memang Jokowi menghendaki estafet kepemimpinan nasional diteruskan oleh figur yang memang memiliki chemistry. Dimana chemistry adalah koneksi dan relasi intens antara Jokowi dengan Prabowo. Walau posisinya ada beda level antara presiden dengan pembantunya (menteri). Termasuk sebagai musuh bebuyutan rival sengit yang bisa membelah soliditas bangsa ketika pilpres 2014, bahkan lebih memuncak pada pilpres 2019.
Terlepas dari itu semua, Indonesia bangga ketika ada dua tokoh nasional yang bisa menjadi negarawan sejati. Yang menang mau merangkul yang kalah. Yang kalah mau dirangkul yang menang. Masuknya Prabowo menjadi menterinya Jokowi bukan tanpa konsekuensi dan risiko. Banyak pihak yang kecewa dengan pertimbangan sudah berdarah-darah pada akhirnya menjadi kawan. Mau menjadi anggota kabinet dan lengkap sudah ketika cawapresnya mau dipinang Jokowi menjadi menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kita salut dengan konsekeunsi dan risiko meninggalkan pemilihnya, Prabowo termasuk paham dengan konsep ‘kapan lawan, kapan kawan’. ‘Kapan tanding, kapan sanding’.
Kontestasi politik merebut jabatan presiden sudah usai, saatnya membangun bersama untuk negeri. Tidak hanya Prabowo (capres) tetapi juga Sandiaga Unno (cawapres) bergabung di kabinet Jokowi. Ternyata keduanya menunjukan ke-profesionalisme dan berkualitas sebagai pembantu presiden.
Mikul Duwur, Mendhem Jero.
Baca Juga: Bulan Kesehatan Gigi, FKG Unissula Dukung Indonesia Bebas Karies pada 2030
Bisa jadi candaan politik Jokowi berbuntut karena memang menarik dan bisa sangat bermakna. Apalagi dikalangan bawah, akar rumput (grass roots) bisa diterjemahkan dengan apa adanya. Setelah Jokowi selesai dua periode, giliran jatahnya Prabowo. Fenomena gerakan akar rumput adalah gerakan yang menggunakan masyarakat luas atau komunitas tertentu sebagai dasar untuk gerakan politik. Boileh jadi gerakan dan organisasi akar rumput memakai tindakan kolektif dari tingkat lokal ke perubahan dampak pada tingkat lokal, regional, nasional atau internasional.
Lalu siapa akar rumput itu? Akar rumput adalah kalangan yang berasal dari struktur bawah negara, yakni kalangan menengah ke bawah bahkan potensi dan sikapnya secara politik dapat dianggap otonom. Kalangan ini dianggap sebagai antitesis elit negara yang berkuasa secara ekonomi politik. Secara manusiawi, siapapun ketika lengser ingin hidup tenang dimana pada masanya, karena manusia tidak ada yang sempurna. Kelemahan, kesalahan, kekelliruan atau hal-hal yang negative bisa dijadikan sasaran tembak.
Jokowi adalah orang Jawa, yang sangat paham betul tentang pitutur jawa yang sangat filosofis. Mikul Duwur, Mendhem Jero. Maka secara naluri mempunyai insting, yang ideal untuk menggantikan dirinya. Setelah dikalkulasi (yang tahu hanya Jokowi) maka pilihannya jatuh pada figure Prabowo Subianto. Tokoh yang sama-sama berlatar belakang budaya dan adat istiadat jawa, paham betul konsep filosofi Mikul Duwur, Mendhem Jero.
Prabowo diharapkan memiliki filosofi mikul dhuwur mendhem jero ketika pergantian suksesi jabatan yang direstui pendahulunya dapat diartikan meninggikan atau menonjolkan kelebihan serta kebaikannya dan menutupi kekurangan atau keburukannya. Namun peribahasa tersebut sebenarnya memiliki makna sangat dalam, yakni menjunjung tinggi dan menjaga harkat martabat, derajat dan marwah Jokowi sebagai pendahulunya.
Disamping itu, komunikasi pembangunan, komunikasi program, komunikasi kebijakan akan diteruskan oleh Prabowo. Seperti program-program infrastruktur serta pemindahan dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur tetap berjalan. Apa jadinya kalau pemimpin nasional tidak tertarik dengan proses IKN Nusantara atau pembangunan infrastruktur baik untuk tranportasi maupun pertanian seperti waduk serta tenaga enegi.
Harapannya selesai periodenya semua legacy (warisan) yang ditinggalkan bisa diteruskan oleh penggantinya. Jokowi bisa sebagai King Maker. King maker adalah orang yang memiliki pengaruh besar pada suksesi kekuasaan atau politik, tanpa diri mereka sendiri menjadi kandidat yang layak. Secara umum, Kingmakers dapat menggunakan cara politik, moneter, agama, dan militer untuk mempengaruhi suksesi.
Hal ini bisa dipahami, dimana istilah yang ramai dibicarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diprediksi akan menjadi king maker pada Pilpres 2024. Bisa jadi, peran King maker berpotensi membentuk poros baru di Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 di luar PDI Perjuangan, bahkan diluar Gerindra, Demokrat atau Nasdem. Atau, King maker memiliki posisi tawar (bargaining position) yang cukup tinggi.
Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang, Pengamat Kebijakan Publik dan pengajar tidak tetap STIE Semarang. Jatengdaily.com-st