in

Kekerasan Meningkat, Pembangunan Terhambat

Oleh: Pandu Adi Winata

ASN BPS Pegunungan Bintang, Papua (2008-2016)

KONON tanah Papua dikenal dengan tanah surga, kombinasi pantai yang indah dan gunung-gunung yang menjulang tinggi semakin menambah eksotisme alam Papua yang terdiri dari dua provinsi itu. Namun situasi keamanan terutama di Provinsi Papua akhir-akhir ini semakin memanas. Di penghujung bulan Maret 2022, telah terjadi pembunuhan terhadap tenaga medis yakni bidan Sri Lestari beserta suami, Sersan Satu Eka Andriyanto Hasugian di kediamannya. Sri Lestari, perempuan kelahiran Pati, 21 November 1989 ini berstatus Pegawai Negeri Sipil di Puskesmas Elelim, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Yalimo, Papua.

Penyerangan terhadap Sri dan suaminya terjadi di kediaman mereka di Distrik (Kecamatan) Elelim pukul 06.15 WIT. Para pelaku juga melukai salah satu dari dua anak korban. Bidan Sri meninggal setelah menderita luka bacok di leher. Sementara suaminya Eka, meninggal setelah terkena tembakan di rusuk kanan. Praktis peristiwa yang terjadi di Distrik Elelim ini membuat “geger” tenaga medis di Yalimo hingga membuat kedua anaknya menjadi yatim piatu, dan secara umum berdampak besar pada pelayanan kesehatan dasar di Yalimo.

Kekerasan terhadap tenaga kesehatan tidak baru kali ini terjadi, sebelumnya pada bulan September 2021 di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang juga terjadi penyerangan terhadap Puskesmas Kiwirok yang mengakibatkan seorang perawat bernama Gabriela Meilan, meninggal dunia. Aksi penyerangan yang terjadi di Puskesmas Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua itu melibatkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Adapun penyerangan yang dilakukan terhadan bidan Sri di Yalimo, hingga saat ini belum diketahui siapa pelakunya walaupun beberapa pihak meyakini aksi itu juga dilakukan oleh pihak KKB.

Kabupaten Yalimo sendiri adalah sebuah kabupaten yang dimekarkan pada tahun 2008. Awalnya wilayah Yalimo menjadi satu dengan Kabupaten Jayawijaya. Tujuan pemekaran sendiri adalah agar pembangunan dan pelayanan dasar kepada masyarakat lebih intens dan maksimal. Pelayanan yang optimal di bidang kesehatan kepada masyarakat sebagai subjek sekaligus objek pembangunan akan mendukung keberhasilan dalam membangun kualitas hidup manusia. Adapun salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada akhir 2020, angka kemiskinan di Yalimo tercatat 32,82 persen dari total penduduk 101.973 jiwa. Yalimo termasuk 17 kabupaten di Papua dengan status IPM rendah. Angka IPM Yalimo 48,34, jauh di bawah angka ideal 60. Hal ini menunjukkan pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan belum optimal walau usia pemekaran kabupaten itu telah berjalan 13 tahun.

Kehilangan seorang tenaga kesehatan apalagi bidan di sebuah daerah yang susah akses dan minim fasilitas tentu menjadi pukulan bagi sektor kesehatan di sebuah kabupaten seperti Yalimo. Apalagi selama ini bidan Sri Lestari merupakan salah satu tenaga kesehatan terbaik, menjadi salah satu pilar tenaga kesehatan yang melaksanakan kegiatan posyandu, pemeriksaan ibu hamil, dan imunisasi dasar. Dengan gugurnya beliau, saat ini hanya ada tiga bidan yang bertugas di Puskesmas Elelim, padahal puskesmas tersebut melayani 42 kampung/desa, jumlah yang tidak sedikit.

Mayoritas masyarakat di luar Papua selama menganggap bahwa daerah Papua identik dengan taraf pendidikan dan kesehatan yang tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, mengingat IPM Provinsi Papua selama tiga tahun berturut-turut selalu berada di urutan terbawah di antara provinsi lain di Indonesia, capaian IPM terakhir Provinsi Papua adalah 60,62. Bandingkan dengan Jawa Tengah yang IPMnya mencapai 72,16 tentu selisihnya cukup jauh.

Jika di”breakdown” lebih lanjut, dari tiga komponen yang membentuk IPM yaitu komponen kesehatan, Pendidikan dan ekonomi, semuanya sangat membutuhkan perhatian. Salah satu komponen yaitu kesehatan dengan indikatornya Umur Harapan Hidup (UHH), capaiannya hanya 65,93 masih cukup tertinggal dibandingkan daerah lain katakan Jawa Tengah yang mencapai 74,47. Dari UHH yang rendah itu, kita mendapatkan gambaran betapa pembangunan kesehatan di Papua masih bisa dioptimalkan, kehadiran fasilitas kesehatan beserta tim medis tentu akan memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat di sana. Pun dari sisi komponen Pendidikan yang ditunjukkan dengan indikator Harapan Lama Sekolah, capaiannya hanya 11,11 tahun, berbeda cukup signifikan dengan angka nasional yang mencapai 13,08 tahun.

Untuk mengejar ketertinggalan dengan daerah lain, disusunlah grand design pembangunan yang lebih jitu di atas tanah Papua sejak awal tahun 2000, diberlakukan juga otonomi khusus, kemudian dilakukan pemekaran untuk membentuk kabupaten-kabupaten baru agar pembangunan dapat menyentuh hingga ke wilayah pedalaman. Selain itu program untuk meningkatkan taraf pendidikan “dipush” dengan mendatangkan guru dari luar Papua melalui berbagai program dengan nama Indonesia Mengajar, Indonesia Cerdas maupun Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T).

Secara kasat mata program-program di atas sudah sangat ideal apalagi ditunjang dengan gelontoran dana yang sangat besar seharusnya dalam kurun waktu belasan tahun, Papua bisa lebih mensejajarkan diri dengan daerah lain. Namun seperti yang telah kita saksikan aksi-aksi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab, senantiasa terjadi sejak awal tahun 2000 yang dilakukan oleh kelompok yang dinamakan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) hingga saat ini Operasi Damai Cartenz diberlakukan terus mengejar kelompok dengan nama KKB.

Penyerangan tidak hanya dilakukan terhadap orang per orang, tapi juga menyasar ke sesuatu yang tidak bernyawa seperti gedung sekolah dan bangunan puskesmas. Banyak pihak pasti heran apa salahnya gedung sekolah, apa salahnya puskesmas, yang notabene sebuah fasilitas untuk memperbaiki taraf pendidikan dan kesehatan masyarakat Papua itu sendiri. Jangan ditanya berapa pengajar dan guru yang sudah menjadi korban kekerasan.

Oleh sebab itu kekerasan dan berbagai penyerangan, memiliki dampak yang sangat merusak pada pembangunan Papua, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan dapat menimbulkan rasa dendam di antara komunitas yang tinggal di wilayah tersebut. Sudah seharusnya kekerasan yang terjadi di Papua segera dihentikan dengan formulasi jitu dari pemerintah untuk memenuhi rasa aman. Manusia, siapapun dia, dari suku manapun mereka adalah subyek sekaligus obyek pembangunan yang harus dilindungi keamanan dan keselamatannya agar terwujud pembangunan berkelanjutan yang ideal di seluruh NKRI. Jika provinsi lain bisa, maka Papua pun pasti bisa. Torang Bisa! Jatengdaily.com-st

What do you think?

Written by Jatengdaily.com

UMKM Naik Kelas, Sinergi Tingkatkan Mutu Produk

RSI Sultan Agung Buka Posko Mudik 24 Jam untuk Pemudik di Jalur Pantura