in

‘Pamong Praja’ bikin Gagal Keluarga?

Oleh: Pandu Adi Winata
ASN pada BPS Purbalingga

PAMONG Praja, demikian istilah yang populer di Purbalingga. Oleh kebanyakan orang, secara sepintas akan berpikir itu adalah istilah yang erat pada satpol PP. Sebuah kata yang tentu saja terdengar biasa saja. Tidak ada yang salah. Akan tetapi dalam kehidupan keluarga, pamong praja di sini berarti papa momong, perempuan bekerja, yang artinya dalam kehidupan keluarga, seorang ayah momong anak, mengasuh anak, sedangkan sang ibu sebagai tulang punggung keluarga, bekerja membanting tulang. Ibu yang seharusnya menjadi tulang rusuk sang ayah, menjelma menjadi tulang punggung keluarga.

Demikianlah yang terjadi Purbalingga di mana serapan sektor ekonomi terhadap tenaga kerja perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Perempuan mendominasi pekerjaan sebagai buruh pabrik, kerajinan bulu mata, dan rambut palsu. Akibatnya, suami justru lebih banyak mengurus rumah tangga. Kondisi ini bisa dikatakan kurang selaras jika dibandingkan dengan total penduduk perempuan yang ada di Purbalingga. Berdasarkan hasil perapihan umur dari data administratif dan Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan oleh BPS, jumlah penduduk perempuan Purbalingga ternyata lebih sedikit dibandingkan penduduk laki-laki, di mana dari total 998.561 jiwa, ada 505.281 penduduk laki-laki dan 493.280 penduduk perempuan.

Hal tersebut memperkuat fakta bahwa serapan tenaga kerja laki-laki dalam lapangan kerja lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan. Data tingkat pengangguran terbuka (TPT) pun “mengamini” realita tersebut di mana TPT perempuan lebih kecil dibandingkan TPT laki-laki. Pada 2021, TPT perempuan Purbalingga sebesar 5,11 persen sedangkan TPT laki-laki sebesar 6,69 persen.

Lebih jauh jika kita melihat sektor yang menyerap tenaga kerja, berdasakan data Sakernas 2021, dari sekian banyak sektor ekonomi yang ada di Purbalingga, ternyata sebagian perempuan yaitu sebanyak 41,71 persen, terserap di sektor industri. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh pada unit usaha produksi bulu mata maupun rambut palsu. Dengan mereka menjadi buruh, otomatis jam kerja mereka begitu terikat, boleh jadi pergi pagi pulang sore, belum lagi jika diharuskan untuk lembur.

Apakah ada yang salah? Apakah jika perempuan bekerja itu selalu berdampak negatif? Jika kehidupan tersebut dijalani secara harmonis, lets go on. Namun fakta yang terjadi justru timbul beragam masalah keluarga, salah satunya peluang terjadinya kegagalan rumahtangga (perceraian) menjadi lebih berisiko. Lebih-lebih karakteristik pekerjaan yang digeluti perempuan adalah buruh pabrik yang mengharuskan mereka keluar rumah untuk jangka waktu yang tidak sebentar. Otomatis jika perempuan sudah keluar rumah meninggalkan anak, maka sang anak akan diasuh oleh ayahnya jika tidak berkerja.

Dalam kondisi itulah wibawa suami sebagai pemimpin keluarga menjadi tergoncang. Terlebih bilamana sang ayah tidak mampu memenuhi nafkah ekonomi keluarga. Sang istri yang bekerja tadi bisa saja secara tak sadar menghina suami karena dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, tidak mampu menjadi tulang punggung keluarga. Lantas untuk mempertahankan “maruah” nya sebagai pemimpin keluarga, dan dipicu emosi karena telah dihina, suami bisa melakukan tindakan balasan dengan melakukan kekerasan secara fisik. Sudah dimaklumi bersama, seseorang memiliki kebutuhan dasar untuk dicintai. Dia menghendaki adanya cinta dan penghormatan atas harga dirinya. Maka, jika orang lain melakukan sebaliknya, sisi negatif seseorang bisa hadir, hingga berakibat terjadinya perceraian.

Dampak negatif lainnya dari fenomena pamong praja adalah berkurangnya waktu dan perhatian terhadap anak yang dapat menyebabkan anak dapat terjerumus kepada hal-hal negatif. Terutama jika sang ibu berada di luar rumah dalam waktu yang lama. Jika kondisi yang demikian dibiarkan berlarut-larut, tentunya berdampak buruk juga terhadap pembangunan nasional, padahal pembangunan nasional dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga merupakan kelompok sosial yang terkecil, yang memiliki peran sangat besar. Pembangunan keluarga merupakan pilar pertama dan utama dalam pembangunan nasional.

Sesungguhnya mengkambinghitamkan kondisi bekerja secara umum memang tidaklah pas. Ada faktor penyerta lainnya. Di samping, yang namanya bekerja itu ada berbagai macam karakteristiknya, ada yang bekerja membantu suami dengan berjualan online di rumah misalnya, membuka warung di rumah sehingga minim keluar rumah dan fleksibel durasi kerjanya, hingga tetap terpelihara komunikasi yang baik dengan anak dan suami. Komunikasi yang selaras dan satu frekuensi inilah yang dapat menopang keharmonisan keluarga.

Pemerintah hendaknya sebisa mungkin bisa menjembatani agar lebih banyak peluang kerja untuk lelaki. Kalaupun belum bisa terwujud, lowongan pekerjaan yang selama ini untuk perempuan sebaiknya juga diberikan formasi kepada laki-laki. Para pencari kerja laki-laki sering mengeluh karena persyaratan lowongan kerja kebanyakan diperuntukkan untuk perempuan. Padahal pekerjaan yang dilakukan untuk lowongan kerja tersebut juga bisa dilakukan oleh laki-laki. Sedikit intervensi pemerintah tentu akan sangat membantu agar hal tersebut bisa terealisasi.

Di sisi lain suami sebagai pemimpin rumah tangga, sekecil apapun hendaknya tidak hanya mengandalkan tersedianya lapangan kerja. Mencari nafkah tidak hanya dilakukan dengan cara bekerja kepada orang lain, tapi juga bisa dengan berwirausaha. Galilah passion anda, network anda, terlebih di jaman yang serba online, sangat mudah bagi setiap orang untuk menjadi wirausahawan, baik dalam proses belajar menjadi pengusaha atau dalam mencari konsumen. Agar tetap terpelihara komunikasi yang baik, suami dan istripun bisa berkolaborasi untuk bersama-sama membangun usaha, dengan demikian semoga pamong praja tidak identik lagi dengan papa momong perempuan bekerja, tetapi menjadi papa momong perempuan belanja. Jatengdaily.com-st

 

 

 

 

Written by Jatengdaily.com

Naiknya Jumlah Pekerja Informal

168 Anggota GMBI Asal Jateng Terlibat Demo Rusuh di Mapolda Jabar Didata dan Dipulangkan