Oleh: Triana Ambarsari,
Pegawai Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Tengah.
OTONOMI Daerah dan Desentralisasi fiskal merupakan alat untuk mencapai tujuan bernegara, yaitu pemerataan kesejahteraan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) dibentuk dengan tujuan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di era reformasi dalam kurun waktu dua dekade menunjukkan berbagai kinerja positif dan berkontribusi pada percepatan pembangunan nasional. Kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah menunjukkan tren semakin berkurang dari 0,332 (tahun 2016) menjadi 0,230 (tahun 2020). Selain itu, penerimaan pajak daerah terhadap produk domestik regional bruto 2016-2019 juga terus mengalami peningkatan.
Pengelolaan administrasi keuangan daerah semakin baik yang ditandai dengan jumlah opini WTP dari BPK yang terus naik. Meskipun secara umum desentralisasi fiskal menunjukkan kinerja yang positif, namun masih terdapat tantangan yang harus dihadapi seperti pemanfaatan Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang belum optimal karena sebagian besar dana alokasi umum (DAU) digunakan untuk belanja pegawai (64,8 %) dan ketergantungan daerah terhadap dana alokasi khusus (DAK) sebagai salah satu sumber belanja modal.
Struktur belanja daerah juga dinilai belum optimal, baik dari sisi kualitas belanja maupun sinkronisasi kebijakan. Hal ini tampak dari belanja daerah yang masih didominasi belanja pegawai (32,4 %), serta belanja pembangunan infrastruktur masih sangat rendah (11,5 %). Pemanfaatan pembiayaan dinilai masih belum optimal, tercermin dari masih terbatasnya pemanfaatan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), dan total pinjaman daerah di Indonesia yang masih sangat rendah (0,049 % dari PDB), apabila dibandingkan dengan rata-rata pinjaman daerah di negara berkembang pada tahun 2000 sebesar 5 %.
Selain itu, masih terjadi mismatch program pemerintah pusat dengan daerah, sehingga menyebabkan sinergi fiskal pusat dan daerah menjadi kurang optimal. Sinergi pusat dan daerah yang tidak sinkron menyebabkan kebijakan fiskal dalam APBD dan APBN kurang memberikan dampak yang optimal, terutama dalam penciptaan kesempatan kerja, penurunan angka kemiskinan, dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Hal tersebut mendorong pemerintah mengevaluasi kebijakan yang sudah ada, sehingga lahirlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU HKPD mengemban misi mulia yaitu mewujudkan desentralisasi fiskal yang adil, transparan, akuntabel dan berkinerja dalam rangka mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia.
UU HKPD didesain untuk melakukan upaya reformasi menyeluruh tidak hanya dari sisi fiscal resource allocation, namun juga memperkuat belanja daerah yang berkualitas dan sinergis dengan pemerintah pusat dalam rangka mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat di daerah. Terdapat empat pilar utama dalam UU HKPD yaitu :
1). Mengurangi ketimpangan horizontal dan vertikal menuju pemerataan layanan dan kesejahteraan. Kebijakan transfer ke daerah (TKD) untuk mengurangi ketimpangan dan mendorong perbaikan kualitas belanja yang efisien dan efektif melalui TKD berbasis kinerja, berupa pengalokasian Dana Bagi Hasil kepada daerah penghasil, daerah pengolah dan non penghasil yang terdampak ekternalitas negatif, dengan memperhitungkan kinerja penerimaan negara dan pemulihan lingkungan.
Alokasi Dana Alokasi Umum didesain tidak one size fits all, namun mempertimbangkan tingkat kebutuhan pendanaan dan target pembangunan berbasis unit cost. Dana Alokasi Khusus bersifat penugasan sesuai prioritas nasional. Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan dilaksanakan berdasarkan RPJMN dan RPJMD serta target kinerja. Dana Desa pengalokasiannya memperhitungkan kinerja, fokus penggunaannya sesuai prioritas nasional. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal bagi Pemda yang memiliki kinerja baik dalam memberikan layanan publik.
2) Penguatan local taxing power dengan tetap menjaga perekonomian. Pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah berupa menurunkan administrasi dan compliance cost, memperluas basis pajak serta harmonisasi dengan peraturan perundangan yang lain. UU HKPD memberikan peningkatan penerimaan PDRD Kabupaten / Kota sampai dengan 48,98% secara nasional.
3) Meningkatkan kualitas belanja daerah agar lebih efisien, produktif dan akuntabel. Mendorong kinerja belanja daerah melalui penguatan kualitas penganggaran belanja daerah agar semakin efisien, fokus, sinergis, dan berkesinambungan dengan tetap memberikan keleluasaan pilihan ekseskusi belanja sesuai karakteristik daerah sehingga terjadi akselerasi pemerataan kualitas layanan publik dan kesejahteraan di daerah.
Di sisi belanja, UU HKPD mengatur pengelolaan belanja daerah melalui penganggaran belanja daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas daerah dengan prioritas nasional, serta standardisasi belanja daerah. Peningkatan kualitas pengalokasian belanja daerah agar lebih produktif dan fokus pada layanan dasar kepada masyarakat dan mandatory spending, sehingga terjadi akselerasi pemerataan kualitas layanan publik dan kesejahteraan di daerah. Selain itu, UU HKPD juga mendorong peningkatan kualitas SDM pengelola keuangan daerah dan APIP serta penguatan pengawasan internal dalam rangka mendukung akuntabilitas pengelolaan APBD.
4) Harmonisasi belanja pusat dan daerah untuk mencapai tujuan nasional. Hal ini dilakukan melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, penetapan batas kumulatif defisit dan pembiayaan utang APBD, pengendalian dalam kondisi darurat serta sinergi Bagan Akun Standar.
Sebagai penutup, dengan Sinergi Fiskal Pusat dan Daerah untuk Kebijakan Fiskal yang Berkualitas, diharapkan dapat menyelaraskan kebijakan fiskal daerah dengan kebijakan fiskal pemerintah sehingga memperkuat desentralisasi fiskal guna mewujudkan tujuan bernegara yaitu pemerataan kesejahteraan di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jatengdaily.com-yds