Oleh : Nur Khoirin YD
Suami istri semula adalah orang lain, laki-laki dan peremepuan yang tidak ada hubungan apa-apa, tetapi karena ada hubungan cinta yang kuat, keduanya kemudian disahkan dalam suatu akad yang kuat (mitsaqan ghalidhan). Nikah atau kawin, inilah sunnatullah untuk melanjutkan generasi bangsa, mengurus dunia, sebagai khalifah.
Berlandaskan cinta itulah keduanya disatukan menjadi seperti satu jiwa, satu nyawa, satu langkah, dan satu arah mengarungi bahtera rumah tangga membangun keluarga yang bahagia dan lestari sepanjang masa. Di dalam Alquran suami istri diibaratkan seperti pakaian (QS. Al Baqarah : 187), agar saling menutupi dan saling melengkapi.
Relasi suami istri yang khas inilah yang gagal dipahami oleh penggagas lahirnya UU-23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-KDRT). Undang-undang ini sepertinya disusun dalam suasana yang penuh dendam dan marah, khususnya pandangan sepihak perempuan terhadap laki-laki.
Mungkin undang-undang ini berawal dari satu dua kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri, yang kemudian memicu kemarahan semua istri. Tetapi kemudian digeneralisir menjadi teori umum. UU-KDRT menggambarkan rumah tangga seperti medan perang yang panas, harus saling waspada, selalu siap membalas serangan lawan.
Apalagi istri diposisikan sejak awal sebagai pihak yang sering mendapatkan tekanan dan serangan, baik secara fisik maupun psikis. Maka istri diberi senjata yang ampuh, yaitu melaporkan suaminya ke polisi. Jika suami misalnya melakukan perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, maka dapat di hukum pidana sampai 15 tahun penjara.
UU-KDRT membuat istri “rak kenanan”.
UU-KDRT ini memberikan dampak psikologis yang buruk bagi keutuhan dan kelestarian rumah tangga. Terkesan memprovokasi dan bukan mengedukasi. Undang-undang ini menjadikan, terutama istri “rak kenanan”, tidak boleh diganggu, nanti kalau marah bisa berbahaya, bisa lapor polisi dan urusannya bisa panjang.
Apalagi jika pasal larangan KDRT yang meliputi kekerasan fisik maupun psikis itu dipahami secara saklek, membuat suami atau atau siri tidak berkutik. Misalnya suami memarahi istri, kemudian si istri merasa ketakutan, hilang rasa percaya diri, menjadikan tidak focus berfikir dan tidak nyaman, maka suami bisa terancam penjara 3 tahun penjara.
Demikian juga suami yang melarang istrinya bekerja, sehingga mengakibatkan ketergantungan ekonomi, juga bisa dilaporkan ke polisi. Hal yang sama juga jika istri memaksa suami bekerja atau tidak bekerja. Pasal-pasal yang subyektif dan tidak jelas ukurannya inilah yang sering dimanfaatkan, baik oleh istri atau oleh suami untuk melampiaskan kemarahan dan dendamnya. Bukan untuk mencari keadilan, tetapi semata-mata untuk tujuan agar lawannya dipenjara.
Kalau suami istri sudah saling lapor polisi, maka tidak ada kebaikan yang tersisa lagi, cinta berubah menjadi benci, harta benda habis tidak penduli, saling adu bukti untuk menang sendiri, aib keduanya tidak lagi ditutupi, panas membara meliputi hati, dan anak-anak menjadi korban orang tuanya sendiri. Maka patut dipertanyakan kembali, undang-undang ini tujuannya menyatukan suami istri atau bahkan memisahkan? Inilah yang harus dikaji lagi.
Hal lain yang disinyalir turut memicu istri-istri era sekarang menjadi “rak kenanan” sehingga mudah mengajukan cerai, adalah gerakan kesetaraan gender (Gender mainstreaming). Gerakan gender mainstreaming yang tujuan utamanya adalah menuntut keadilan gender, agar tidak ada diskriminasi dalam berbagai peran antara laki-laki dengan perempuan ini, banyak yang dipahami secara berlebihan dan kebablasan. Para istri mengekpresikan kesetaraan secara salah, misalnya tidak mau melayani suaminya, tidak mau mengurus rumah, tidak mau mengurus anak, dan bahkan ingin hidup bebas seperti burung lepas.
Cerai gugat tiga kali lipat.
Dampak dari euforia UU-KDRT dan gerakan gender ini adalah bangkitnya “perlawanan” istri kepada suaminya. Meskipun klaim ini perlu diteiliti kembali. Tetapi yang tidak bisa dibantah adalah bukti, bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh istri adalah tiga kali lipat dibandingkan dengan cerai talak yang diajukan oleh suami.
Kasus perceraian di Kota Semarang pada 2021 mencapai 3.383. Dari jumlah tersebut, yang terbanyak adalah gugatan istri pada suami mencapai 2.588 kasus (76,5%), dan sisanya sebanyak 795 (23,5%) berupa cerai talak yang diajukan oleh suami.( https://jatengdaily.com/). Hal yang sama terjadi di Kendal.
Selama periode Januari 2020 hingga September 2021 angka perceraian mencapai 4.814 kasus, yang terdiri dari kasus cerai talak sebanyak 1.256 kasus (26,1%) dan kasus cerai gugat sebanyak 3.558 kasus (73,9%) (https://www.gatra.com/news).
Di Kudus juga terjadi hal yang sama, selama tahun 2021 terdapat kasus perceraian sebanyak 1.370 perkara, yang terdiri dari cerai gugat sebanyak 986 (72%), dan cerai talak sebanyak 384 (28%).(https://news.detik.com/). Di luar Jawa Tengah juga terjadi trend yang sama. Ketua Pengadilan Agama Surabaya, Samarul Falah menjelaskan, di Surabaya pada tahun 2021 ada pengajuan cerai talak sebanyak 1.667 kasus, dan cerai gugat sebanyak 4.020 kasus, yang rata-rata dilakukan oleh pasangan produktif. (https://www.republika.co.id/berita/).
Untuk menekan angka perceraian, terutama yang dilakukan oleh perempuan, sebagai dampak dari UU-KDRT yang provokatif ini, maka undang-undang ini perlu segera diganti atau setidaknya dirubah namanya menjadi undang-undang kekuatan keluarga. Tujuannya agar menjadi undang-undang yang sejuk, yang menyatukan dan bukan memisahkan.
DR. H. Nur Khoirin YD., MAg, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo, Tinggal di Jl. Tugulapangan H.40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang, Telp. 08122843498. Jatengdaily.com-st