Oleh Gunoto Saparie
SIAPAKAH yang berhak memperoleh hak cipta? Tak lain dan tak bukan adalah pencipta atau pemegang hak cipta. Namun, siapakah pencipta dan siapakah pula pemegang hak cipta? Pencipta adalah orang yang secara langsung menciptakan karya. Sedangkan pemegang hak cipta mungkin bukan pihak yang menciptakan karya, tetapi memperoleh pengalihan hak cipta dari pencipta.
Sesungguhnya untuk memperoleh hak cipta tidak perlu ada pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI). Hal ini karena hak cipta telah lahir secara otomatis saat ciptaan selesai diwujudkan. Meskipun demikian, pencatatan ke DJHKI sangat disarankan, kalau kita merasa perlu untuk menambah alat bukti saat terjadi sengketa mengenai ciptaan tersebut.
Pelindungan terhadap hak cipta dimulai dari tanggal saat ciptaan tersebut pertama kali diumumkan. Pengumuman yang dimaksud di sini adalah suatu waktu ketika suatu karya cipta diberitahukan/diumumkan oleh si pencipta kepada pihak lain, yang bisa saja rekan sejawat, media massa, dan lain-lain. Ini berarti, pemegang hak cipta boleh menggugat siapa saja yang menggunakan ciptaan tanpa seizinnya yang dilakukan pada periode perlindungan hukum hak cipta yang dimilikinya.
Hari-hari ini, harus diakui, pelanggaran terhadap hak cipta sangat mudah terjadi. Di era digital dewasa ini, orang mudah saja mengunduh film atau serial lewat kanal ilegal dan menyebarluasannya untuk kepentingan komersial. Orang mudah pula mencomot grafis dan foto di internet begitu saja tanpa izin pada pemilik hak ciptanya. Buku-buku pun sering menjadi objek yang direproduksi dan dijual dengan harga jauh lebih murah.
Belum Komprehensif
Memang, kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun, regulasi tentang hak cipta tersebut belum sepenuhnya mengakomodasi secara komprehensif berbagai praktik di industri musik digital. Aturan soal platform dan aggregator, misalnya, belum termaktub di undang-undang tersebut. Payung hukum itu juga masih berfokus pada seni musik dan belum membahas lebih dalam ragam seni lainnya, seperti seni rupa, sastra, dan teater.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menggantikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memang melahirkan harapan baru bagi para penulis dan seniman terkait dengan manfaat hukum dan ekonomi yang akan diperoleh. Manfaat hukumnya berupa perlindungan hak cipta yang lebih efektif, sedangkan manfaat ekonominya berupa terbukanya peluang untuk mengeksploitasi nilai ekonomi yang ada di dalam ciptaan yang dilindungi hak cipta.
Hak cipta merupakan hak eksklusif pencipta. Ia muncul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak cipta merupakan hak kebendaan yang sifatnya tidak berwujud (intangible assets). Hak cipta dapat dimaknai sebagai hak kebendaan yang sifatnya tidak berwujud, sehingga ia perlu dikelola. Dalam kaitan inilah, tata kelola hak cipta menjadi sangat penting. Tata kelola hak cipta bertumpu pada kreativitas, eksklusivitas, dan insentif atas karya.
Kreativitas karya adalah siklus pertama dalam tata kelola hak cipta. Kreativitas karya adalah suatu karya yang memiliki tingkat orisinalitas tertentu. Pencipta perlu memiliki bukti kuat telah membuat karya. Tentu saja karya atau ciptaan pencipta yang tidak memiliki bukti kuat akan dianggap tidak orisinal.
Eksklusivitas karya adalah suatu karya diciptakan dan telah memenuhi persyaratan fiksasi, orisinalitas, dan kreativitas. Ia terdapat di lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra, sehingga secara otomatis melahirkan hak cipta. Dengan lahirnya hak cipta, maka melahirkan hak eksklusif. Hak eksklusif ini memuat dua macam hak, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri si pencipta, sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mengambil manfaat ekonomi dari karya yang dilindungi hak cipta.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari suatu ciptaan produk terkait hak moral akan melekat pada pencipta yang tidak dapat dihilangkan atau dihapuskan meskipun hak cipta telah dialihkan. Dengan demikian, hak ekonomi dapat dialihkan kepada pihak lain oleh pencipta sementara hak moral tetap melekat pada diri pencipta walaupun hak ekonominya telah beralih.
Pencipta dapat mengeksploitasi ciptaanya guna mendapatkan manfaat ekonomi, sementara hak moral tetap melekat dengan penciptanya. Seseorang tidak dapat mengubah, atau mengganti judul, isi apalagi penciptanya. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan izin dari pencipta atau ahli warisnya jika pencipta telah meninggal dunia termasuk lisensi yang telah dimiliki .
Hak moral, seperti disebutkan di atas, merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan pemakaian ciptaannya untuk umum, menggunakan nama asli atau samaran, mengubah ciptaannya sesuai kepatutan masyarakat, mengubah judul dan anak judul ciptaan, dan mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang merugikan kehormatan diri atau reputasinya.
Sedangkan insentif karya merupakan konsekuensi dari karya yang mengandung unsur kreativitas dan eksklusivitas. Insentif dapat berupa nilai ekonomi. Nilai ekonomi ini dapat diwujudkan dalam bentuk uang. Suatu karya yang dilindungi hak cipta dapat diambil insentifnya apabila dilakukan dengan cara dilisensikan atau diperjualbelikan.
Meskipun pengaturan hak ekonomi dan hak moral telah diatur dalam undang-undang, tetapi pelanggaran terhadap hak cipta masih terjadi. Hal ini dipengaruhi oleh regulasi delik aduan yang dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta. Ini berarti, selama tidak ada pengaduan dari pencipta atau pemegang hak cipta, maka pelanggaran hak cipta tidak terlaporkan.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah-Jatengdaily.com-st