Oleh: Ari Sony
Statistisi BPS Kabupaten Semarang
MIRIS, ketika mendengar kabar ada anak sekolah SMP di salah satu sekolah di Temanggung yang nekad membakar sekolahnya sendiri. Dengan alasan karena anak tersebut sering mendapatkan perlakuan bullying dari teman-temannya di sekolah, bahkan ada oknum guru disinyalir pernah merobek tugasnya di depan kelas tanpa ada alasan yang jelas.
Menurut hasil penyelidikan yang disampaikan Kapolres Temanggung, AKBP Agus Puryadi, “Rasa sakit hati, akumulasi ini maka dia merencakan untuk membakar sekolah,” ujarnya, Rabu (28/6/2023) seperti dilansir Tribunnews.
“Pelaku merasa sakit hati karena sering dibully oleh teman-temannya. Termasuk oleh guru siswa ini merasa kurang diperhatikan,” lanjutnya.
Hal ini, tentu saja sangat memprihatinkan dan menjadi potret buram dunia Pendidikan kita, karena kasus bullying masih saja terjadi di sekolah. Bahkan sebelum kasus ini, beberapa waktu yang lalu di Karanganyar, ada siswi SMA yang bersekolah di salah satu sekolah di Karanganyar mendapatkan perlakuan bullying dari 8 siswi teman sekelasnya.
Sementara itu, di Kebumen terjadi bullying dengan kekerasan dimana ada siswa SMP yang dipukuli dan ditendang pelaku, pelaku merupakan siswa MTs di salah satu sekolah di Kebumen.
Kasus bullying yang terjadi di Temanggung, bukanlah kejadian yang terakhir. Mengapa demikian? Hal ini bisa terjadi kapan saja, apabila semua pihak tidak bersatu untuk menghentikan aksi bullying.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 jumlah kekerasan fisik pada anak usia 0-18 tahun di Jawa Tengah sejumlah 204. Sementara itu, masih pada tahun yang sama jumlah kekerasan psikis pada anak usia 0-18 tahun di Jawa Tengah sejumlah 327. Merujuk data tersebut berarti pada tahun 2021 total ada 531 kekerasan fisik dan kekerasan psikis yang terjadi pada anak usia 0-18 tahun di Jawa Tengah.
Masih menurut data BPS, jika kita melihat jumlah murid pada tahun ajaran 2021/2022 di Jawa Tengah, ada sejumlah 764.054 murid setingkat sekolah TK/RA, kemudian ada sejumlah 3.382.191 murid setingkat sekolah SD/MI, kemudian ada sejumlah 1.644.247 murid setingkat sekolah SMP/MTs dan ada sejumlah 1.452.488 murid setingkat sekolah SMA/SMK/MA. Sehingga total anak sekolah di Jawa Tengah ada 7.242.980 murid.
Penulis membandingkan, jumlah kekerasan fisik dan kekerasan psikis yang terjadi pada anak usia 0-18 tahun di Jawa Tengah dengan jumlah anak sekolah di Jawa Tengah pada tahun ajaran 2021/2022, didapatkan angka persentase 0,007 persen. Meski angkanya tidak mencapai satu persen, masalah kekerasan fisik dan kekerasan psikis yang terjadi pada anak usia 0-18 tahun di Jawa Tengah harus jadi perhatian kita bersama.
Langkah Pencegahan
Lalu langkah-langkah pencegahan apa saja yang perlu dilakukan, agar ke depan tidak marak lagi kasus bullying terhadap anak-anak. Penulis berkeyakinan, langkah-langkah berikut ini akan mencegah terjadinya aksi bullying di Jawa Tengah.
Pertama, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah harus membentuk “Satgas Anti Bullying” yang bisa diketuai oleh Gubernur Jawa Tengah atau Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah. Tidak hanya di tingkat Provinsi, pembentukan Satgas Anti Bullying juga harus dibentuk hingga level Kabupaten dan Kecamatan.
Kedua, tidak hanya di tingkat pemerintahan saja, sekolah juga wajib membentuk Satgas Anti Bullying yang di ketuai langsung Kepala Sekolah dan melibatkan Komite Sekolah. Peranan paling penting adalah di tingkat sekolah. Perlu adanya ajakan, untuk berani melaporkan aksi bullying. Biasanya korban bullying takut melapor, hal ini terjadi karena adanya ancaman dari si pelaku bullying.
Hal ini terjadi karena pelaku bullying merasa lebih kuat, tangguh dan mempunyai konco-konco sesame pembully, sehingga bisa dengan semena-mena memperlakukan korban. Sehingga, pihak sekolah harus melakukan sosialisasi berkenaan dengan ajakan kepada korban untuk berani melaporkan aksi bullying.
Selain itu, pihak sekolah wajib memberikan edukasi kepada siswa dan juga orang tua, tentang bahaya nyata aksi bullying. Korban bullying bahkan bisa depresi dan melakukan hal-hal konyol seperti yang terjadi di Temanggung, baru-baru ini. Sementara bagi pelaku, jika terbukti bersalah bisa mendekam di penjara.
Ketiga, diberlakukannya sistem kredit poin bagi siswa yang melakukan pelanggaran disiplin. Pembiaran-pembiaran pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh siswa di sekolah, membuat siswa merasa berada di zona nyaman. Guru juga tak bisa berbuat banyak, karena apabila guru memberikan hukuman yang berat atau keras kepada siswa, nantinya guru tersebut dianggap melanggar HAM.
Sistem kredit poin ini, diberlakukan untuk siswa yang melanggar aturan di sekolah. Apabila siswa telah melewati batas nilai tertentu, karena terlalu banyak melakukan pelanggaran. Pihak sekolah berhak memberikan hukuman kepada siswa tersebut, bisa saja sanksinya berupa hukuman ringan, sedang hingga dikeluarkan dari sekolah.
Dengan sistem kredit poin, akan membuat siswa lebih jera untuk melakukan pelanggaran disiplin di sekolah. Siswa akan lebih berhati-hati dan tidak akan seenaknya sendiri melanggar aturan.
Keempat lebih mengaktifkan peran Guru Bimbingan Penyuluhan (Guru BP) atau Guru Bimbingan Konseling (Guru BK). Dulu, guru BP dianggap killer. Sehingga siswa merasa takut ketika namanya dipanggil masuk ke ruang guru BP.
Guru BP harus lebih peka melihat kondisi saat ini. Sehingga guru BP harus berperan sebagai teman, sahabat dan orang tua, ketika menyelesaikan suatu masalah siswa di sekolahnya.
Kelima, guru wali kelas dan juga orangtua harus berperan aktif untuk pencegahan kasus bullying. Terutama orang tua, harus lebih dekat dan perhatian kepada anaknya. Tanyakan aktivitas hariannya apa saja, bertemu siapa saja, apakah ada yang mengganggu pikirannya dan lebih ketat dalam pengawasan penggunaan smartphone, karena informasi terupdate diluar sana dapat dengan mudah diakses oleh anak kita.
Pengaruh dari game, youtube dan akun media sosial lainnya apabila tidak terkontrol dengan baik bisa berpengaruh ke hal-hal negatif. Anak cenderung akan meniru apa yang dilihatnya, sehingga para orang tua harus punya kontrol dan pengawasan kepada anak-anaknya terkait penggunaan smartphone.
Itulah lima langkah pencegahan bullying di Jawa Tengah, dibutuhkan peran aktif dan kesadaran dari semua pihak untuk memerangi aksi bullying. Sehingga kejadian pembakaran sekolah di salah satu sekolah SMP di Temangugng merupakan kasus yang terakhir. Jatengdaily.com-yds