SEMARANG (Jatengdaily.com) – Curah hujan yang mengguyur Kota Semarang, akumulasi curah hujan yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat saja, berdampak pada meningkatnya intensitas banjir. Apalagi curah hujan berlangsung beberapa hari berturut–turut, tentu yang terjadi meningkatnya intensitas banjir, meluasnya area banjir, dan tingginya genangan.
Demikian dikemukakan Anggota Dewan Pakar Partai Keadilan Kota Semarang Dr Ir Mohammad Agung Ridlo MT di ruang kerjanya, Sabtu, 14 Januari, 2023, sehubungan dengan bencana banjir yang terjadi di beberapa titik Kota Semarang.
Mohammad Agung mengatakan, cuaca ekstrem yang tidak menentu atau perubahan iklim global yang terjadi belakangan ini merupakan fenomena alam yang diikuti hujan dengan intensitas tinggi. Hal ini terjadi hampir di sebagian wilayah perkotaan di negara kita.
Menurut Mohammad Agung yang juga Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah ini, bencana banjir yang melanda Kota Semarang, seperti jebolnya tanggul laut di Pantai Marina Semarang di 7 (tujuh) titik, membuat beberapa jalan menuju ke pantai terendam banjir dengan ketinggian lutut orang dewasa atau sekitar 80 cm. Air banjir masuk ke perumahan warga, juga menggenangi sejumlah jalan dan bangunan lainnya.
“Selain itu, banjir tampaknya tidak dialami di bagian Semarang bawah saja, namun juga di Semarang bagian atas, di Perumahan Dinar Indah Meteseh sudah beberapa kali terendam banjir. Kasus banjir tersebut salah satunya juga dikarenakan terdapatnya tanggul yang jebol,” ujarnya.
Berkaitan dengan adanya tanggul yang jebol di beberapa tempat, menurut Mohammad Agung patut dipertanyakan mengenai kualitas pembangunan tanggul. Apakah dalam perencanaan sudah baik? Ataukah dalam pelaksanaan pembangunan tanggulnya yang tidak sesuai dengan DED yang sudah dibuat? Atau ada hal-hal lain dalam pembangunan yang menyebabkan kualitas (konstruksi) tanggul menjadi rendah?
Mohammad Agung Ridlo yang juga Dosen Planologi Fakultas Teknik Universitas Sultan Agung Semarang ini juga menyampaikan, Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031 sudah cukup jelas. Bahwa arahan kawasan untuk pengembangan perumahan dan permukiman di Semarang bagian atas tidak mengkonversi area yang dilindungi (konservasi) maupun lahan pertanian.
Namun, demikian Mohammad Agung, tampaknya pertumbuhan dan perkembangan perumahan dan permukiman pada kawasan Semarang bagian atas, wilayah perbukitan merambah area konservasi maupun catchment area (yang merupakan area penyimpanan/sumber air) bagi Kota Semarang. Dengan adanya konversi tersebut tentunya membawa konsekuensi dan berpengaruh/berdampak negatif terhadap lembah/daratan kota Semarang bawah sampai pada wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah laut (pantai).
Tidak Terkendali
Mohammad Agung menuturkan, kurang atau tidak terkendalinya pemanfaatan ruang untuk aktivitas permukiman di Semarang bagian atas berkait erat dengan terjadinya kerusakan wilayah dalam bentuk meningkatnya limpasan (run off) air yang mengakibatkan erosi, sedimentasi, pendangkalan pada saluran dan sungai (tidak berfungsinya wilayah aliran sungai dengan baik dan optimal) sampai ke laut.
Di samping itu, demikian Mohammad Agung, pada saat musim hujan juga perlu diwaspadai area-area yang rawan bencana longsor. Realita menunjukkan terjadinya longsor yang pada wilayah yang bertanah labil, seperti di Gumpilsari Kelurahan Tinjomoyo, Kecamatan Banyumanik. Kemudian sejumlah wilayah yang rawan longsor lainnya seperti longsor Jalan Tumpang (Sampangan) serta peristiwa longsor yang berkaitan dengan adanya penambangan liar galian C.
“Berbagai bencana tersebut tentu sebagai akibat implementasi pembangunan Semarang bagian atas, terdapat pemanfaatan ruang yang kurang/tidak memperhatikan dan mempertimbangkan tatanan geografi dan geologi (land dan soil) secara serius, matang dan menyeluruh. Aktivitas pembangunan di Semarang bagian atas dengan membuat perubahan yang tanpa disadari telah mengubah tatanan siklus hidrologi, sehingga berdampak terhadap tatanan fungsi ekologi secara berkelanjutan,” tandasnya.
Oleh karena itu, tambah Mohammad Agung, tak mengherankan jika musim hujan Semarang bagian atas di beberapa titik rawan longsor. Sedangkan di Semarang bagian bawah merupakan wilayah yang rawan bencana banjir, sedimentasi, abrasi, akresi, instrusi air, dan rob. Pada gilirannya tentu membawa effect rusaknya kawasan perumahan dan permukiman dan terganggunya aktivitas keseharian masyarakat.
“Mestinya kita mulai sadar sesuai dengan bidang dan keahlian kita masing-masing. Hal ini untuk melestarikan lingkungan, taat pada aturan yang sudah dibuat, untuk mencegah dan menghindari permasalahan yang akan dan dapat terjadi di kelak kemudian hari,” tuturnya. st