Oleh : Nur Khoirin YD
Setiap menjelang penyelenggaraan qurban selalu terjadi pro dan kontra mengenai hukum menjual kulit atau kepala hewan qurban. Apakah diperbolehkan atau dilarang? Ada yang berpendapat, bahwa semua bagian qurban, termasuk kulit dan kepala, harus dibagi habis kepada yang berhak. Tetapi dalam praktiknya, banyak panitia qurban, dengan berbagai pertimbangan, menjual kulit dan kepala hewan qurban dan uang penjualannya dimemasukkan ke kas masjid atau untuk santuan fakir miskin. Pro dan kontra ini bahkan tidak jarang membuat panitia terpecah, tidak kompak, dan bahkan ragu-ragu untuk melangkah.
Meskipun penjelasan mengenai hal ini sudah sering dibahas dan ditulis di berbagai media, tetapi perlu kiranya diurai kembali, untuk mengingatkan agar ketika terjadi perbedaan, maka tumbuh saling pengertian dan saling menghormati. Karena sampai kapanpun perbedaan pendapat ini akan terus ada, dan tidak mungkin dihilangkan.
Kelompok yang melarang
Imam Syafi’i, Malik dan Jumhur ulama (mayorits), termasuk Ulama NU dalam Muktamar ke27 di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984, berpendapat tidak boleh menjual kulit hewan kurban (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, hal.438). Larangan ini didasarkan atas beberapa Hadits Nabi saw, aatara lain diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Abu Sa’id, bahwa Nabi SAW berdiri seraya bersabda : “Dulu saya memerintahkan kepada kamu sekalian agar tidak makan daging kurban lebih dari tiga hari, untuk memberi kelonggaran kepadamu. Tetapi sekarang saya membolehkan kepada kamu sekalian. Maka makanlah sekehendakmu, jangan kalian jual daging, darah dan daging kurban. Makanlah dan sedekahkanlah serta gunakanlah kulitnya dan jangan kalian menjualnya.
Sekalipun sebagian daging itu kamu berikan untuk dimakan orang lain, namun makanlah apa yang kalian sukai”. : Hadits senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi saw bersabda :”Barang siapa yang menjual kulit binatang kurban, maka ia tak memperoleh kurban apa pun”.
Dalil-dalil inilah yang dijadikan dasar larangan menjual kulit atau bagian-bagian qurban, baik uangnya untuk upah dan operasional penyelenggaraan, maupun masuk kas masjid atau lembaga-lembaga sosial lainnya. Daging qurban dan bagian-bagiannya, seperti kulit, kaki, kepala, dan jerohan, harus dibagi habis kepada orang-orang yang berhak. Para penerima daging qurban juga tidak diperbolehkan menjual kepada orang lain, kecuali ia sangat miskin.
Kelompok yang memperbolehkan
Ulama Hanafi dan Hambali memperbolehkan menjual kulit qurban dan mensedekahkan uangnya. Dalam Kitab Tabyinul Haqaiq (juz VI, hal. 9) disebutkan, “Boleh menjual kulit hewan qurban dan mensedekahkan uangnya. Karena perbuatan demikian juga qurbah (perbuatan mendekatkan diri kepada Allah), seperti ketika bersedekah dengan daging dan kulitnya”. Ibnul Qayyim dalam kitabnya Mawdud Bi ahkamil Maulud (h. 89) mengutip riwayat dari Imam Ahmad berkata : “Dan boleh menjual kulitnya, sawaqithnya (hati, paru, jantung, otak, dan limpa), kepalanya dan menyedekahkan uangnya”.
Riwayat senada juga disebutkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (5/153) berkata : “Para ulama bersepakat bahwa daging qurban tidak dijual. Begitu pula kulitnya. Tetapi Al Auzai, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur, boleh dijual kulitnya dan dibelanjakan harganya, sebagaimana hewan qurban dibelanjakan”.
Di Indoensia pendapat ini diikuti oleh Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Dalam fatwanya disebutkan, “Kami sepakat tidak boleh menjual daging kurban, karena memang tujuan disyariatkan penyembelihan hewan kurban, antara lain, untuk dimakan dagingnya, terutama untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
Demikian pula terhadap penjualan kulitnya, pada dasarnya kami sepakat untuk tidak dijual sepanjang dengan membagikan kulit itu dapat mewujudkan kemaslahatan. Tetapi menyedekahkan kulit hewan kurban dengan cara membagi-bagikannya, kadang-kadang menimbulkan kesulitan untuk memanfaatkannya, bahkan bisa-bisa kulit hewan kurban itu tidak termanfaatkan, yang berarti justru memubazirkan harta, dan itu dilarang oleh agama.
Dalam keadaan seperti ini, maka menjual kulit hewan kurban adalah boleh, kemudian hasil penjualannya itu yang disedekahkan. Kecenderungan ini didasarkan pada prinsip raf’ul-haraj (menghilangkan kesulitan). Karena dalam agama tidak ada yang sulit.
Pilih yang mudah
Dua pendapat di atas sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Tetapi justru menjadi pilihan yang sesuai dengan kondisi setempat dan yang mudah. Di tempat-tempat tertentu dimana hewan qurbannya sedikit tetapi jumlah masyarakatnya banyak, maka pendapat pertama lebih tepat. Seluruh bagian hewan qurban, termasuk kulit, kaki, dan kepalanya, bisa dicacah dan dibagikan habis.
Tetapi di daerah-daerah dimana hewan qurban melimpah, sedangkan orang-orang yang menerima sudah cukup dengan bagian dagingnya, maka bisa mengambil pendapat kedua. Akan lebih bermanfaat jika bagian-bagian yang sulit diolah, seperti kulit, kepala, dan kaki, kecuali oleh ahlinya.
Bagian-bagian yang sulit diolah itu lebih baik dijual dan uangnya dimasukkan kas masjid atau lembaga-lembaga sosial keagamaan. Bisa juga uangnya dibagikan kepada fakir miskin yang sangat membutuhkan.
Perlu ditambahkan, bahwa dalil-dalil yang melarang menjual bagian-bagian qurban di atas sebenarnya ditujukan kepada mudhahhi (orang yang berkorban secara pribadi). Mudhahhi harus dengan penuh ikhlas, tidak boleh ada pamrih lagi terhadap hewan qurbannya itu. Tidak boleh memberi upah kepada tukang jagal, tukang sembelih, tukang cacah, petugas yang menghantar, dan lain-lain dengan kulit atau kepala hewan kurban. Mudhahhi tidak pernah berfikir untuk mendapatkan keuntungan dari qurbannya itu.
Tetapi kecenderungan sekarang ini, mudhahhi menyerahkan hewan qurbannya secara utuh kepada panitia. Panitia atau amil lah yang mengelola qurban sebaik-baiknya, termasuk memutuskan apakah kulit dan kepala dibagi-bagikan atau dijual, dengan mempertimbangkan aspek manfaat yang lebih besar. Dengan diserahkan kepada panitia, maka mudhahhi sudah bersih dan terbebas dari larangan menjual atau mengupah dengan bagian-bagian kurban.
Prof. DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Ketua Panitia Idul Adha 1444H Masjid Agung Jawa Tengah, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Basyarnas/Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah/Ketua Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia Jawa Tengah. Tinggal di Jln. Tugulapangan H40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang. Jatengdaily.com-St