Oleh : Nur Khoirin YD
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang menggelar Seminar Nasional dengan mengangkat tema menarik, “Peluang dan Tantangan Sarjana Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) Menjadi Notaris”.
Tema ini diangkat karena selama ini minat lulusan Fakultas Syari’ah belum atau tidak ada yang tertarik menggeluti profesi Notaris dengan berbagai alasan. Mungkin karena UKT nya mahal sehingga banyak yang tidak mampu (minder), dan terutama karena masih ada beberapa Perguruan Tinggi Program S2 Kenotariatan yang menolak menerima mahasiswa lulusan Syari’ah karena dianggap bukan Sarjana Hukum “biasa”.
Dalam seminar yang dihadiri pakar akademisi dan praktisi kali ini ingin menegaskan berbagai keraguan, apakah Sarjana Hukum dari Fakultas Syari’ah memiliki peluang yang sama dengan Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum (umum) untuk menggeluti profesi Notaris?
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Syari’ah dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam arti yang luas, Syari’ah adalah semua ketentuan Allah untuk mengatur kehidupan hambanya agar mencapai jalan yang lurus. Menurut Manna’ al-Qaththan dalam kitabnya Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, adalah ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya yang wajib ditaati. Sehingga Syari’ah menyangkut bidang-bidang yang luas meliputi, hukum aqidah (kayakinan), hukum ‘amaliyah (perbuatan), dan hukum khuluqiyah (akhlaq).
Sedangkan menurut arti yang sempit, Syari’ah diartikan hukum-hukum yang menyangkut perbuatan manusia (mukallaf) dari segi perintah dan larangan, yang meliputi ibadah, akhwal asy syakhshiyyah (hukum perdata/keluarga), muamalah (ekonomi), jinayah (pidana), siyasah (politik), qadlaiyyah (peradilan), dan cabang-cabang yang terus berkembang.
Maka Fakultas Syari’ah sejatinya adalah Fakultas Hukum (Islam). Karena orang awam masih sering salah faham, dikiranya hanya mempelajari agama untuk keperluan mengajar sebagai guru agama saja, maka sejak Tahun 2016 berdasarkan PMA Nomor 33 Tahun 2016 nomenklaturnya ditambah dengan “Hukum”. Sehingga jadilah Fakultas Syari’ah dan Hukum. Meskipun jika diterjemahkan menjadi redenden “Fakultas Hukum dan Hukum”.
Dalam Fakultas Syari’ah ini dibuka berbagai program studi sesuai dengan cabang-cabang hukum Islam yang terus berkembang. Sampai sekarang sudah dibuka Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES), Hukum Keluarga Islam (HKI), Hukum Pidana Islam (HPI), Ilmu Falak (IF), dan Prodi Ilmu Hukum (IH). Juga dibuka Program Pascasarjana Ilmu Falak dan Ilmu Hukum.
Gelar dan Kurikulum
Kompetensi lulusan Fakultas Syari’ah adalah sebagai ahli dan atau praktisi hukum dengan konsentrasi sesuai masing-masing program studi, seperti hukum ekonomi syari’ah, hukum keluarga Islam, hukum pidana Islam, ilmu hukum dan Ilmu Falak. Berdasarkan PMA Nomor 33 Tahun 2016 tentang Penyebutan Gelar Sarjana, sejak itu sampai sekarang sebutan gelar lulusan Fakultas Syari’ah semua Prodi/Jurusan adalah Sarjana Hukum (S.H.), tidak ada embel-embel yang lain (dulu sebutan gelarnya Drs, S.Ag, SHI, dan S.Sy). Demikian juga gelar lulusan Program S2 adalah M.H. (dulu Msi dan M.Ag), sehingga dengan demikian sudah tidak ada bedanya dengan sebutan gelar lulusan dari Fakultas Hukum (umum).
Kurikulum Fakultas dan Hukum semua untuk memperkuat kompetensi sebagai ahli dan atau praktisi hukum. Selain hukum Islam, semua hukum positif (undang-undang) yang diajarkan di Fakultas Hukum (umum) diberikan untuk semua prodi. Dari beban 146 sks yang wajib diselesaikan untuk program S1, sebanyak 114 sks adalah mata kuliah untuk mendukung dan memperkuat profesi hukum, meliputi ilmu hukum, semua hukum materiil, hukum formil, dan ilmu-ilmu penunjang.
Hukum meteriil seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Adminstrasi Negara, Hukum Ketenagakerjaan, perpajakan, dagang, agraria, Hukum Kekayaan Intlektual, Hukum Perlindungan Konsumen, dan sebagainya. Hukum formil meliputi Hukum Acara Pidana, Acara Perdata, Acara Peradilan Agama, Acara Tata Usaha Negara, sistem peradilan di Indonesia, Kemahiran Litigasi dan non litigasi, dan hukum-hukum acara khsus lainnya.
Ilmu-ilmu yang mendukung kompetensi hukum juga diberikan, seperti filsafat hukum, metodologi penelitian hukum, kriminologi, keadvokatan, legal/kontrak drafting, sosiologi hukum, dan mata kuliah lain yang terus berkembang sesui kebutuhan.
Sesuai dengan dengan visinya sebagai universitas riset berbasis kesatuan ilmu untuk kemajuan dan peradaban, maka sistem pembelajaran yang diusung di Fakultas Syari’ah dan hukum adalah perbandingan dan penyatuan ilmu. Hukum-hukum positif (umum) dipelajari dan dikaji dengan memperbandingan dengan hukum Islam. Misalnya ada satu kasus hukum, maka akan dilihat dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam sehingga kajian hukum menjadi lebih kuat dan komprehensif. Maka Sarjana Hukum lulusan Syari’ah bisa disebut “Sarjana Hukum Plus”. Karena selain menguasai hukum positif juga hukum Islam.
Peluang Menjadi Notaris
Notaris sebagaimana disebutkan dalam UU-30/2004 tentang Jabatan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Dalam Pasal 3 disebutkan, syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah : warga negara Indonesia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berumur paling sedikit 27 tahun.
Syarat lainnya adalah sehat jasmani dan rohani, berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan, telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan, dan tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.
Mengacu pada persyaratan menjadi Notaris tersebut, maka sebenarnya tidak ada halangan bagi lulusan Syari’ah untuk menjadi Notaris. Jika diberi kesempatan, Sarjana Syari’ah pasti mampu dan memenuhi syarat. Apalagi gelarnya juga sama, SH (tanpa embel-embel Islam atau Syari’ah). Muatan kurikulum bidang hukum juga sangat memadahi. Sehingga tidak ada alasan yang menghalangi atau melarang sarjana Syari’ah untuk ikut bagian dalam profesi notaris.
Apalagi jika melihat kurikulum S2 Kenotariatan (Undip misalnya : dalam https://notariat.fh.undip.ac.id/kurikulum/ ), dimana sebagaian besar materinya sudah pernah diajarkan pada S1 Fakultas Syari’ah, seperti Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan, Hukum Waris, Hukum Pajak, Hukum Pertanahan, HAKI, Metodologi Penelitian, Hukum Kontrak, Lembaga Keuangan, dan sebagainya. Sehingga mahasiswa tidak perlu adaptasi atau matrikulasi.
Syarat-syarat menjadi Notaris juga bisa mengacu kepada profesi advokat dalam UU-18 Tahun 2003 tentang Advokat, dimana lulusan Sayri’ah (apapun gelarnya) dapat diangkat menjadi advokat seperti sarjana hukum (umum). Sekarang ini advokat Syari’ah telah berkembang di seluruh Indonesia dalam wadah Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI). Kedepannya kita berharap, selain Ikatan Notaris Indonesia (INI), juga berdiri Ikatan Notaris Syari’ah Indonesia (INSYI) sebagai wadah pembinaan dan pengembangan profesi notaris Syari’ah yang profesional dan amanah.
Notaris Syari’ah
Ekonomi syari’ah sebagai bagian dari bagian pembangunan ekonomi nasional belakangan ini mengalami pertumbuhan yang pesat dan menggembirakan. Hal ini ditandai dengan lahirnya berbagai lembaga keuangan seperti Bank Syari’ah dan lembaga-lembaga keuangan non bank yang lain, seperti asuransi syari’ah, koperasi syari’ah, pegadaian syari’ah dan sebagainya. Bentuk-bentuk investasi yang berdasarkan syari’ah juga terus berkembangan dan bervariasi, seperti pasar modal syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah, sukuk, dan sebagainya.
Untuk menjaga keteraturan, keberlangsungan, dan keamanan guna memacu kemajuan ekonomi syari’ah, maka lahirlah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank Syari’ah, yang pelaksanaannya diatur dalam beberapa Peraturan Pemerintah, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan berbagai Peraturan Bank Indonesia yang harus dipenuhi oleh para pelaku ekonomi syari’ah.
Agar transaksi-transaksi keuangan tidak menyimpang dengan prinsip-prinsip syari’ah, Majlis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan tidak kurang dari 156 Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) sebagai hukum materiil ekonomi Syari’ah yang harus dipegangi. Dalam operasionalnya di lapangan semua lembaga keuangan Syari’ah wajib diawasi oleh Dewan Pengawas Syari’ah.
Transaksi-transaski (akad) Syari’ah yang menjadi produk lembaga keuangan Syari’ah ini harus dituangkan ke dalam akta perjanjian. Produk-produk Bank Syari’ah baik yang berupa penghimpunan dana masyarakat (funding), maupun produk-produk pembiayaan usaha kepada nasabah (lending), seperti akad mudharabah, musyarakah, murabahah, wadi’ah, wakalah, ijarah, kafalah, hawalah, dan sebagainya, semuanya harus dimuat dalam akta perjanjian tertulis dalam bentuk akta otentik.
Disinilah Notaris Syari’ah memiliki peran penting sebagai instrumen keabsahan transaksi Syari’ah. Notarislah yang berwenang membuat akta otentik untuk mewujudkan transaksi dan perjanjian yang sesuai Syari’ah. Seorang Notaris selain menguasai kompetensi kenotariatan secara umum, juga wajib memahami prinsip-prinsip Syariah, hukum akad, bentuk-bentuk transaksi Syari’ah, dan termasuk transaski-transaksi yang dilarang Syari’ah. Oleh karena itu (sekiranya belum), perlu ada pelatihan khusus bagi Notaris Bank Syari’ah, agar akta-akta yang diterbitkan selaras dan prinsip-prinsip Syari’ah.
Prof. DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Basyarnas/Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah/Ketua Nazhir Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia Jawa Tengah. Tinggal di Jln. Tugulapangan H40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang. Jatengdaily.com-St