Oleh Gunoto Saparie
Mengapakah hari-hari ini banyak para cendekiawan mendadak menjadi partisan dan terjun ke politik praktis? Mengapakah pula banyak dari mereka berduyun-duyun mengadu nasib berburu kekuasaan dan mengejar popularitas? Fenomena apakah ini? Benarkah mereka telah melakukan pengkhianatan?
Kita ingat Julien Benda pernah mengatakan bahwa tugas seorang cendekiawan/intelektual bukan untuk mengubah dunia, tetapi untuk tetap setia kepada suatu cita-cita yang perlu dipertahankan demi moralitas umat manusia, seperti keadilan (la justice), kebenaran (la verite) dan rasio (la raison).
Interpretasi Benda terhadap eksistensi kaum cendekiawan menyiratkan bahwa cendekiawan harus tampil sebagai kaum yang bukan saja terpisah dari, tetapi harus berdiri sendiri sendiri di atas dan di luar ekonomi dan politik, sehingga seorang cendekiawan adalah diibaratkan sebagai seseorang yang hidup di atas angin dalam kerajaan roh, “qui vit dans le royaume d’esprit.”
Sebagai penyangga moral, kaum cendekiawan berparemeterkan pada moral absolut yakni kebenaran, keadilan, dan akal (yang muncul dalam tiga karakter utama yakni seimbang, lepas dari kepentingan dan rasional). Karena tanpa moral itu, semuanya tidak lebih dari kaum penghianat yang tidak hidup menurut wujudnya.Benda mengkritik kaum cendekiawan yang masuk pada pusara kekuasaan yang disebutnya sebagai pengkhianatan kaum intelektual.
Benda, dalam bukunya La trahison des Clers (“Pengkhianatan Kaum Intelektual”), membagi masyarakat dalam dua bagian yang tidak saling berhubungan satu sama lain. Pertama, masyarakat yang disebutnya sebagai laique, the lay man, atau kaum awam yaitu mereka yang seluruh hidupnya terikat kepada fungsi mengejar kepentingan material dan duniawi.
Kedua, masyarakat yang disebutnya sebagai les Clercs, yaitu mereka adalah pada dasarnya tidak mengejar kepentingan material; mereka lebih mencari pengetahuan dan mentasbihkan sebagai penyangga kebenaran.
Julien Benda mengakui bahwa di zaman modern hidup memang susah bagi para cendekiawan, Bagi Benda, sang cendekiawan hanya benar-benar kuat bila ia menyatakan, dengan sikapnya: “Kerajaanku bukanlah di dunia ini.”
Dengan kata lain, “keagungan ajarannya justru terletak dalam ketiadaan nilai praktisnya.” Maka menara gading itu pun harus tetap tegak.
Sibuk Berteriak
Goenawan Mohamad benar ketika ia mengatakan bahwa di suatu masa ketika orang-orang yang seharusnya berpikir ternyata sibuk berteriak-teriak, semacam kehampaan akan terasa di tengah hiruk pikuk itu.
Di setiap masa, juga sekarang ini, toh harus ada renungan yang bisa mengambil jarak. Perlu ada semacam menara, yang mungkin bukan dari gading, tetapi cukup tinggi. Yang jadi soal ialah bila sang pemikir di menara itu jadi abai, bahwa menara itu terkadang tegak, terkadang rubuh, oleh kekuatan di luar dirinya.
Pada saat di pertapaan seorang begawan tengah khusuk bersemadi, ia tidak hidup sendiri. Dalam perspektif Bendaian, jika seorang cendekiawan menjadi mesin politik kekuasaan berarti ia telah melakukan pengkhianatan.
Hal ini merupakan kesalahan yang tidak terampunkan dari seorang cendekiawan. Semestinya cendekiawan menjadi moral oracle (orang bijaksana penjaga moral) sekaligus menjadi penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan prinsip-prinsip moral.
Kaum cendekiawan seharusnya mengambil jarak dengan proses-proses politik, bukannya menggunakan kemampuan intelektualnya untuk mendukung kubu politik tertentu. Kehadiran kaum cendekiawan dalam ranah politik kecil kemungkinannya dapat menggulirkan ide-ide perubahan.
Sebaliknya, hal ini akan membuatnya tenggelam, sekadar menjadi kaki tangan politik alias budak-budak kekuasaan (servan of power).
Akan tetapi, konstruksi intelektual yang dibangun Benda ternyata mendapat serangan balik dari tokoh-tokoh seperti Antonio Gramsci, Karl Mannheim, dan Ernest Gellner. Gramsci membedakan intelektual dalam dua perspektif, yakni intelektual tradisional dan intelektual organik.
Intelektual tradisional adalah figur-figur akademikus atau orang-orang yang lahir dari produk universitas, seperti dosen, ilmuwan, atau akademisi lainnya, termasuk mahasiswa.
Sementara intelektual organik, menurut Gramsci, merupakan bagian tak terpisahkan dari berbagai kelas. Karena itu, kelompok-kelompok, seperti buruh dan nelayan juga memiliki intelektual organik. Tak menutup kemungkinan, masuknya kelompok intelektual tradisional ke dalam klasifikasi ini.
Karl Mainnheim, sejalan dengan Gramsci, membalik tesis Benda seraya menuduh cendekiawan yang tak terlibat dalam masalah-masalah aktual di masyarakat, namun hanya menyuarakan kebenaran dari menara gading adalah sosok cendekiawan yang melakukan pengkhianatan intelektual.
Harus diakui, sejarah panjang negeri ini nyaris tak bisa lepas dari pergulatan antara kaum cendekiawan dan kekuasaan. Center for Strategis and International Studies (CSIS) merupakan salah satu think tank yang termasyhur di zaman Soeharto berkuasa.
Demikian juga dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di masa Orde Baru.
Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah. Jatengdaily.com-St