in

Yang Nyoblos dan Yang Menikmati

Oleh : Tri Karjono, Ahli Madya BPS Provinsi Jawa Tengah

SAAT ini Bima secara defakto berdomisili di Jakarta. Sudah setahun lebih dia tinggal di daerah Kebon Kacang. Ia tinggalkan domisili sebelumnya untuk mendekatkan diri dengan lokasi dimana dia memperoleh kerjaan di seputaran Bundaran HI.

Namun hingga saat ini status KTPnya masih sebagai warga Banyumanik, Kota Semarang. Salah satu alasannya adalah karena masih bujang dan domisili orang tua masih di Semarang. Dengan status dan pendapatan yang tidak banyak untuk ukuran Jakarta, tidak tentu kapan ia pulang ke Semarang.

Kadang satu, bahkan hingga empat bulan dia baru pulang. Entah sampai kapan ia akan mempertahankan status KTPnya dengan alamat Semarang.

Baca Juga:Menjaga Kedamaian di Masa Tenang

Sebaliknya Danu, si anak Medan. Empat bulan yang lalu ia mulai tinggal di Semarang setelah dinyatakan diterima di UNDIP dan masa perkuliahan dimulai. Beberapa tahun yang akan datang kemungkinan besar dia akan tetap tinggal dan berada di Semarang hingga lulus kuliah.

Tidak tahu setelahnya akan tinggal dimana, pulang ke Medan atau pindah kota atau mungkin tetap tinggal di Semarang. Alhasil identitas KTP di dompetnya sangat mungkin akan dipertahankan minimal hingga lulus kuliah.

Untuk kasus dua orang tersebut Kota Semarang tidak terlihat ada perbedaan jumlah penduduknya, tetapi faktanya bahwa ada dua orang yang berbeda, satu orang dengan status KTP Semarang yang meninggalkan Semarang dan satu orang dengan status KTP bukan orang Semarang datang dan berdomisili di Semarang.

Kasus Bima dan Danu diatas banyak bahkan mungkin sangat banyak terjadi. Mobilitas penduduk antarwilayah di Indonesia baik antarprovinsi maupun antarkabupaten/kota yang mengakibatkan harus pindah domisili atau tempat tinggal sangat banyak terjadi. Baik itu perpindahan karena akibat pekerjaan, studi, perkawinan maupun oleh sebab lain.

Seringkali dan masih lazim perpindahan ini tidak disertai dengan perpindahan dokumen kependudukanya. Oleh banyak alasan seseorang pindah ke wilayah lain cenderung memilih tetap mempertahankan dokumen kependudukannya di wilayah asal.

Baca Juga:Dua Hari Jelang Pilkada 2024, Kota Semarang Bersih dari APK 

Di antara karena waktu pengurusan yang tidak sebentar dan tidak mudah. Atau pertimbangan siapa tahu suatu ketika akan kembali. Atau pula dengan pertimbangan jika memindahkan dokumen kependudukannya maka akan berimplikasi pada penggantian dokumen-dokumen lain yang butuh perhatian komplek dari sisi waktu dan syarat.

Sebagai contoh di Jawa Tengah. Hasil Sensus Penduduk BPS terakhir menyebutkan bahwa 5,51 persen penduduk yang berdomisili di Jawa Tengah berstatus seperti Danu. Artinya hal serupa Bima banyak juga terjadi, dimana penduduk ber KTP/KK Jawa Tengah tapi tidak tinggal di Jawa Tengah.

Kemungkinan akan lebih banyak lagi persentasenya penduduk seperti Bima tersebut lebih menarik untuk mencari nafkah atau studi dibanding luar Jawa Tengah. Daerah dengan pusat perekonomian dan pusat pendidikan cenderung lebih banyak pendatang yang berdomisili yang notabene dengan status bukan warga setempat (tidak berKTP setempat).

Terkait Pilkada
Bercermin dari kondisi diatas, beberapa waktu yang lalu masuk gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar orang-orang yang pindah domisili agar dapat menyampaikan hak pilihnya di lokasi dimana dia tinggal.

Karena jelas status seperti Bima dan Danu akan tercatat sebagai pemilih dimana alamat KTP yang dia punya. Sehingga ketika pilkada berlangsung Bima bisa memilih calon walikota Semarang dan calon gubernur Jawa Tengah dari Jakarta dan Danu bisa memilih untuk pilkada Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara dari Semarang. Pemilihan bisa dilakukan dengan e-voting (elektronik voting), i-voting (internet voting), atau proxy voting (kuasa perwakilan).

Namun dua minggu jelang pilkada serentak besok hari, Rabu, 27 November 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan aturan pindah memilih dalam pilkada. MK memandang bahwa pemohon telah mencampuradukkan sistem pemilihan konvensional yang hingga saat ini yang bisa dipakai dengan sistem pemilihan elektronik belum bisa dilakukan di Indonesia.

Perpindahan domisili pemilih juga dipandang oleh MK dapat merusak kemurnian sistem pemilihan berbasis daerah pemilihan, sehingga membuat sistem pertanggungjawaban kepala daerah tepilih kepada pemilih yang memang berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan menjadi tidak jelas.

Dengan pertimbangan tersebut Bima, Danu dan ribuan orang sangat mungkin akan kehilangan hak pilihnya. Hitungan ekonomi sederhana yang sangat mudah dipahami awampun akan tidak masuk akal ketika harus mengorbankan waktu, tenaga, biaya dan resiko melepas pandapatannya dan pulang kampung hanya untuk 5 menit nyoblos.

Apalagi lima tahun ke depan keduanya hampir pasti tidak akan pernah menikmati apa yang dijanjikan oleh visi-misi calon terpilih. Karena kesehariannya ia menggantungkan hidupnya dari kondisi dimana dia tinggal.

Bukan di wilayah mana dia punya status KTP. Pastinya lebih mengharapkan janji politik dari paslon dimana dia tinggal. Sementara ia tidak bisa memilih paslonnya.

Jika pun misalnya si Bima rela berkorban waktu dan biaya kemudian menggunakan hak pilihnya di Semarang, maka ia memilihkan paslon yang janjinya belum tentu diharapkan oleh Danu. Karena Danulah sejatinya yang akan menikmati janji politik paslon terpilih Semarang atau Jawa Tengah.

Penentuan Pemilih
Melihat kondisi tersebut menurut hemat penulis, alangkah bijaksananya jika penetapan daftar pemilih tidak ditentukan atas status administrasi seseorang, tetapi berdasarkan lokasi dimana yang bersangkutan berdomisili atau tinggal.

Domisili atau tinggal bisa dilakukan pendefinisian untuk meyakinkan bahwa yang bersangkutan dimungkinkan akan tinggal dalam waktu cukup waktu lagi.
Ada beberapa keuntungan jika ini bisa dilakukan.

Pertama, meminimalisasi pembatasan hak seseorang. Dengan terdaftar dimana yang bersangkutan tinggal maka kita telah memberi ruang yang lebih luas terhadap hak seseorang. Tidak banyak orang yang kehilangan hak pilihnya, terutama perantau, karena keterbatasan jarak, waktu, biaya dan lain-lain, sehingga melepaskan hak pilihnya.

Kedua, partisipasi pemilih akan lebih tinggi. Dengan banyak orang melepas hak pilihnya maka tidak akan menambah tingkat partisipasi di mana dia tinggal, karena tidak terdaftar. Ini bertentangan dengan tujuan peningkatan partisipasi pemilih. Tetapi dengan terdaftar di tempat tinggalnya maka potensi penggunaan hak pilih lebih tinggi.

Jika Danu bisa memilih di Semarang maka pemilih Semarang dan Jawa Tengah tidak akan berkurang oleh tidak pulangnya Bima.

Ketiga, kredibitas pilkada meningkat. Kredibilitas pilkada selain ditentukan bebas, jujur, adil juga partisipasi yang tinggi. Ketika partisipasi pemilih tinggi maka kredibilitas pilkada semakin tinggi. Pilkada dipercaya dan dipandang oleh pemilih akan mempu membawa kondisi lebih baik.

Keempat, legalitas calon terpilih dapat lebih dipertanggungjawabkan. Bayangkan jika partisipasi pemilih diasumsikan peserta rapat pengambilan keputusan. Dimana yang hadir (memilih) harus kuorum dan yang memutuskan harus 50 persen plus satu.

Sebagai contoh pada tiga pilkada gubernur di Jawa Tengah terakhir. Pilgub tahun 2008 partisipasi pemilih hanya sebesar 58,46 persen. Pilgub selanjutnya yaitu tahun 2013 justru sedikit menurun dan hanya mencapai 57,75 persen.

Sedangkan pilgub terakhir sebelum berlangsungnya pilgub besok hari tahun 2008 yang lalu terjadi kenaikan 10,14 persen. Jika kita meminjam istilah kuorum maka persentase partisipasi tersebut jelas tidak kuorum.

Artinya tidak memenuhi syarat formal untuk dilakukan pengambilan keputusan. Artinya pula lebih ekstrim dapat dikatakan keputusan yang diambil tidak legal. Apalagi calon terpilih hanya dipilih oleh 26,13 persen dari daftar pemilih (2008), 23,53 persen (2013) dan 38,26 di tahun 2023.

Kelima, pemilih domisili akan terperhatikan oleh paslon terpilih. Sebagai contoh para pendatang di Jakarta yang tidak berKTP Jakarta. Ketika yang bersangkutan diberi hak pilih di Jakarta maka yang bersangkutan menjadi potensi suara menangnya paslon. Dan berikutnya oleh paslon terpilih akan diperhatikan karena merupakan bagian dari terpilihnya paslon.

Tidak ada jaminan akan diperhatikan oleh pemimpin terpilih hanya karena pendatang dan bukan tidak berKTP setempat.

Keenam, partisipasi penduduk domisili dalam pembangunan akan lebih baik. Penduduk domisili akan ikut bertanggungjawab atas demokrasi yang telah dia ikuti. Ikut bertanggung jawab atas usaha kondisi yang lebih baik.

Ikut bertanggung jawab karena telah memilih sekaligus merasa berhak menikmati pembangunan hasil demokrasi.

Bukankah seluruh indikator hasil dan tujuan pembangunan berbasis penduduk didasarkan pada jumlah penduduk yang tinggal, bukan yang berKTP setempat?

Angka kemiskinan, gini rasio, tingkat pengangguran, pengeluaran/pendapatan perkapita, indeks pembangunan manusia, dan masih banyak lagi. BPS menghitung semua itu berdasar jumlah penduduk yang tinggal, bukan dari catatan administrasi dinas terkait.

Saatnya yang nyoblos adalah yang menikmati. Selamat mencoblos. Jarengdaily.com-St

Written by Jatengdaily.com

Ketua Harian IKA USM Berpesan, Bekal Ijazah Tidak Cukup untuk Dapatkan Pekerjaan

Siswa SMKN 4 Semarang Tewas Ditembak, Polisi Lakukan Penyelidikan