PPKD Sebagai Basis RPJMD dan APBD

7 Min Read
Gunoto Saparie

Oleh: Gunoto Saparie

Pada suatu titik dalam percakapan tentang anggaran, kebudayaan sering muncul sebagai tamu yang sopan, tapi tak pernah benar-benar dipersilakan duduk. Ia disebut, dipuji, lalu dibiarkan berdiri di sudut ruangan, sementara kursi empuk disediakan bagi urusan yang dianggap lebih “mendesak”: infrastruktur, investasi, atau pertumbuhan ekonomi yang angka-angkanya mudah dipamerkan. Kebudayaan, seperti ingatan, kerap dianggap barang lama; penting secara moral, tetapi tak urgen secara politik.

Padahal, justru di sanalah persoalan bermula. Daerah-daerah di Indonesia hidup bukan hanya dari jalan raya dan jembatan beton, melainkan dari bahasa, ritus, kesenian, pengetahuan lokal, dan cara hidup yang diwariskan lintas generasi. Kebudayaan bukan sekadar hiasan, melainkan fondasi. Karena itu, ketika Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) disusun, seharusnya ia tidak berhenti sebagai dokumen administratif yang rapi di rak kantor dinas. Ia mesti menjadi basis, bahkan nadi, dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.

PPKD, sebagaimana dimaksudkan dalam kerangka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, lahir dari kesadaran bahwa kebudayaan memerlukan peta jalan. Ia merangkum kondisi objektif kebudayaan daerah: apa yang hidup, apa yang rapuh, apa yang terancam punah, dan apa yang masih mungkin dikembangkan. Ia bukan daftar keinginan, melainkan refleksi, kadang juga pengakuan jujur, tentang siapa kita dan hendak ke mana kita melangkah sebagai komunitas kultural.

Masalahnya, refleksi sering berhenti sebagai refleksi. Dalam praktik pemerintahan daerah, PPKD kerap berdiri terpisah dari dokumen perencanaan utama. Ia disusun, disahkan, lalu berjalan sendiri, sementara RPJMD dan APBD mengambil rute lain yang lebih pragmatis. Akibatnya dapat ditebak: program kebudayaan hidup dari sisa anggaran, bergantung pada kemurahan hati pusat, dan rawan terhenti ketika prioritas politik bergeser.

Di sinilah urgensi menjadikan PPKD sebagai basis penyusunan RPJMD dan APBD menemukan alasannya. Bukan sekadar agar kebudayaan “kebagian anggaran”, melainkan agar pembangunan daerah memiliki akar. RPJMD, yang memuat visi dan misi kepala daerah, semestinya tidak melayang di awang-awang jargon. Ia perlu bertumpu pada realitas sosial-budaya daerah. Tanpa itu, visi hanya menjadi slogan, dan misi menjelma daftar proyek.

Mengintegrasikan PPKD ke dalam RPJMD berarti menempatkan kebudayaan sebagai kerangka berpikir pembangunan. Artinya, ketika daerah berbicara tentang pariwisata, ia tidak sekadar menghitung jumlah kunjungan, tetapi juga mempertimbangkan daya dukung budaya lokal. Ketika membangun kota, ia tidak hanya merancang gedung tinggi, tetapi juga ruang hidup bagi ekspresi seni dan tradisi. PPKD menyediakan konteks; RPJMD memberikan arah; APBD menyediakan daya dorong.

Tujuan utama penyusunan PPKD sendiri, sebagaimana sering ditegaskan, adalah memastikan bidang kebudayaan memperoleh alokasi anggaran yang memadai. Cukup, bukan sekadar ada. Tanpa dukungan fiskal yang layak, pemajuan kebudayaan tinggal wacana. Festival budaya menjadi acara seremonial tahunan yang tergesa-gesa; pelestarian bahasa daerah bergantung pada inisiatif komunitas yang kelelahan; arsip budaya tersimpan rapuh, menunggu rusak dimakan waktu.

Lebih dari itu, anggaran yang memadai memungkinkan daerah mengurangi ketergantungan pada bantuan pendanaan dari pemerintah pusat. Ketergantungan, bagaimanapun, selalu menyisakan jarak. Program dari pusat sering datang dengan skema seragam, sementara kebudayaan daerah bersifat khas dan kontekstual. Dengan PPKD sebagai dasar APBD, daerah memiliki legitimasi dan keberanian untuk merancang program sesuai kebutuhan sendiri, bukan sekadar menyesuaikan proposal dengan selera donor.

Ada pula dimensi tata kelola yang kerap luput dibicarakan. Ketika PPKD dijadikan rujukan resmi RPJMD dan APBD, ia dapat berfungsi sebagai instrumen akuntabilitas. Publik dapat menilai: sejauh mana janji pemajuan kebudayaan benar-benar diterjemahkan dalam alokasi anggaran? Apakah program yang dijalankan selaras dengan masalah yang diidentifikasi dalam PPKD? Dengan kata lain, PPKD menjadi cermin, bukan sekadar hiasan dinding.

Dalam konteks ini, peran Kementerian Dalam Negeri menjadi penting. Sebagai institusi yang memeriksa rancangan APBD yang diajukan pemerintah daerah, Kemendagri memiliki posisi strategis untuk menjadikan PPKD sebagai salah satu pertimbangan. Bukan untuk mengintervensi kreativitas daerah, melainkan untuk memastikan konsistensi. Jika sebuah daerah memiliki PPKD yang jelas, tetapi alokasi anggaran kebudayaannya nyaris nihil, pertanyaan patut diajukan. Di mana letak keseriusannya?

Pertanyaan semacam itu bukan bentuk kecurigaan, melainkan mekanisme koreksi. Sama seperti indikator fiskal dan kepatuhan regulasi, komitmen terhadap kebudayaan juga layak diperiksa. Sebab, kebudayaan bukan urusan kecil. Ia terkait dengan identitas, kohesi sosial, bahkan ketahanan masyarakat. Daerah yang tercerabut dari kebudayaannya mudah goyah ketika diterpa krisis, entah ekonomi, ekologis, atau politik.

Namun, menjadikan PPKD sebagai basis RPJMD dan APBD bukan perkara teknis semata. Ia menuntut perubahan cara pandang. Kepala daerah dan para penyusun anggaran perlu melihat kebudayaan bukan sebagai beban biaya, melainkan investasi jangka panjang. Hasilnya mungkin tidak langsung terlihat dalam grafik pertumbuhan, tetapi terasa dalam kualitas hidup warga: rasa memiliki, kebanggaan, dan kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.

Tentu saja, integrasi ini juga menuntut kualitas PPKD itu sendiri. Dokumen yang disusun asal-asalan, tanpa partisipasi pelaku budaya dan masyarakat, hanya akan menjadi dalih administratif. PPKD harus hidup, diperbarui secara berkala, dan disusun dengan kejujuran analitis. Ia mesti berani mencatat konflik, ketimpangan, dan kerentanan, bukan hanya potensi yang manis dibaca.

Di sinilah letak paradoks yang menarik. Kebudayaan sering dipandang sebagai sesuatu yang lembut, tetapi pengelolaannya menuntut ketegasan. Tanpa keberanian politik, PPKD akan terus berada di pinggir, sebuah catatan kaki dalam buku besar pembangunan. Dengan keberanian itu, ia bisa menjadi bab utama yang menentukan arah cerita.

Akhirnya, kita kembali pada pertanyaan mendasar: untuk siapa pembangunan daerah dilakukan? Jika jawabannya adalah manusia, bukan semata angka, maka kebudayaan tak bisa lagi diperlakukan sebagai urusan tambahan. Ia adalah bahasa di mana manusia memahami dirinya dan dunianya. Menjadikan PPKD sebagai basis RPJMD dan APBD berarti mengakui satu hal sederhana namun sering dilupakan: bahwa pembangunan tanpa kebudayaan hanyalah pekerjaan teknik, bukan peradaban.

Mungkin, seperti banyak hal penting, kebudayaan baru terasa ketika hilang. Tetapi kebijakan publik seharusnya tidak menunggu kehilangan untuk bertindak. PPKD memberi kita kesempatan untuk merawat sejak dini, dengan perencanaan yang sadar, anggaran yang adil, dan keberanian untuk menempatkan ingatan bersama sebagai fondasi masa depan. Sebab, daerah yang lupa pada kebudayaannya, pada akhirnya, akan kesulitan mengenali dirinya sendiri.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st

0
Share This Article
Privacy Preferences
When you visit our website, it may store information through your browser from specific services, usually in form of cookies. Here you can change your privacy preferences. Please note that blocking some types of cookies may impact your experience on our website and the services we offer.