Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T.
Konflik pemanfaatan sumber daya (user conflict) dan konflik kewenangan (jurisdictional conflict) terjadi di hampir seluruh wilayah pesisir Indonesia akibat penataan ruang yang kurang arif dalam mengelola sumberdaya pesisir, sehingga memicu persaingan kepentingan antar berbgai pihak. Konflik-konflik ini melibatkan masyarakat, swasta dan pemerintah, baik secara horinzontal maupun vertical, yang masing-masing berupaya mengoptimalkan kepentingannya.
Penyebab utama konflik meliputi perbedaan kepentingan, tujuan yang saling bersaing, kerusakan lingkungan, serta pembatasan akses dan ketidakadilan dalam pemerataan hasil pembangunan. Konflik sumber daya alam berdampak serius terhadap hilangnya sumber penghidupan masyarakat yang bergantung pada alam dan pertanian.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut hingga 12 mil dari garis pantai, meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi.
Kewenangan ini juga mencakup pengaturan administratif, tata ruang, pemeliharaan keamanan laut, dan mempertahankan kedaulatan negara. Jika wilayah laut antara dua provinsi kurang 24 mil, pengelolaan sumber daya alam dibagi sama jarak atau diukur berdasarkan prinsip garis tengah.
Perubahan ini mengubah kewenangan pengelolaan laut oleh provinsi dari yang semula 4-12 mil menjadi 0-12 mil, mengalihkan pengelolaan perairan dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi.
Otonomi daerah di wilayah pesisir menimbulkan perbedaan penafsiran, dengan beberapa pemerintah daerah menerjemahkannya sebagai kedaulatan, sehingga menimbulkan kesan adanya mandat penuh untuk memanfaatkan ruang laut berdasarkan daerah administrasinya.
Pelaksanaan otonomi ini masih multitafsir dan mengalami kendala dalam penerapan peraturan, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha di wilayah pesisir.
Pemerintah perlu melakukan penataan ruang, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, hingga pengendalian pemanfaatan ruang, baik di darat maupun di laut.
Penataan ruang ini akan mengatur pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir dengan membuat peraturan daerah (perda) zonasi wilayah pesisir, berdasarkan Undang-Undang 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Diharapkan, penataan ruang wilayah pesisir oleh pemerintah provinsi dapat mewujudkan keterpaduan dan keserasian pembangunan antar kabupaten dan kota yang memiliki wilayah pesisir.
Dalam membuat zonasi wilayah pesisir, terdapat bebarapa hal yang perlu dicermati, antara lain: persaingan kepentingan antara berbagai golongan, desakan ekonomi yang menyebabkan hilangnya fungsi wilayah penyangga pesisir, ambiquitas kepemilikan sumber daya pesisir, perlunya pengaturan mekanisme pemanfaatan sumber daya pesisir dengan mengakui hak masyarakat adat, kajian potensi dan masalah wilayah pesisir secara komprehensif, perlunya pemerintah bersikap realistis dalam mengukur kemampuan dan potensi wilayah pesisir, serta pengawasan dan pemantauan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, diharapkan tercipta keseimbangan, keharmonisan, dan kelestarian lingkungan dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pantai. Pentingnya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) juga ditegaskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 mewajibkan setiap provinsi untuk memiliki RZWP3K. RZWP3K bertujuan untuk mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat.
RZP3K menjadi dasar pemberian izin usaha perairan dan alokasi ruang yang meliputi Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional, Alur Laut, dan Kawasan Khusus.
Kolaborasi dan Penataan Ruang yang Efektif
Untuk mengatasi konflik terkait pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, resolusi konflik kolaboratif menjadi fondasi utama dalam mewujudkan keberlanjutan. Pendekatan negosiasi inklusif, yang melibatkan secara aktif berbagai elemen masyarakat pengguna seperti kelompok nelayan tradisional dan penambang inkonvensional, bersama dengan peran pemerintah melalui model Co-management, sangat penting untuk menghindari dominasi berlebihan oleh satu pihak saja.
Keberhasilan resolusi konflik ini sangat bergantung pada pemilihan metode yang tepat dan disesuaikan dengan karakteristik unik dari setiap konflik yang muncul. Ragam metode seperti coercion, arbitration, mediation, compromise, hingga adjudication dapat diperimbangkan sesuai kebutuhan.
Kolaborasi yang efektif adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan sumber daya pesisir dan laut, sehingga dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Selain itu, kehadiran pemerintah dengan kepastian hokum yang tegas dan jelas sangat diperlukan dalam setiap pengaturan tata ruang serta regulasi yang mengatur pemanfaatan wilayah pesisir dan laut.
Pengelolaan wilayah pesisir harus terintegrasi secara sinergis dan efektif, memastikan keselarasan antara berbagai kepentingan yang ada. Implementasi solusi-solusi ini diharapkan dapat mewujudkan keseimbangan, keharmonisan, serta kelestarian lingkungan dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pantai secara berkelanjutan, demi tercapainya kesejahteraan masyarakat dan kelestarian ekosistem.
Konflik pemanfaatan sumber daya dan kewenangan di wilayah pesisir Indonesia perlu pengelolaan yang arif, agar tidak memicu persaingan kepentingan antara masyarakat, swasta dan pemerintah. Oleh karenanya, resolusi konflik membutuhkan kolaborasi dan penataan ruang yang efektif.
Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T.
Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) Fakultas Teknik Unissula Semarang.
Sekretaris I Bidang Penataan Kota, Pemberdayaan Masyarakat Urban, Pengembangan Potensi Daerah, dan Pemanfaatan SDA, ICMI Orwil Jawa Tengah.
Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com–St