in

Tafsir Ganda tentang Pajak Hiburan

Oleh: Gunoto Saparie

Di negeri ini, kesenian kerap kali seperti burung yang dikejar pajak sebelum ia sempat belajar terbang. Di suatu panggung kecil di daerah pinggiran, gamelan ditabuh, seorang penari topeng naik ke pentas dengan gerak lamban dan penuh teka-teki, tapi entah mengapa, ia juga harus dihitung oleh petugas Dinas Pendapatan Daerah. Ia bukan hanya harus menarik perhatian penonton, tetapi juga menarik perhatian kas daerah, karena dianggap hiburan.

Ada yang janggal, bahkan lucu, jika tidak menyedihkan, ketika sebuah pertunjukan tari tradisi di kampung dikenai pajak, sementara klub malam di kota dikenai tarif serupa atau justru lebih rendah, tergantung tafsir. Tampaknya, pemerintah daerah lebih rajin menyisir gelanggang tari untuk memungut retribusi ketimbang menggali Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah mereka sendiri. Di 508 kabupaten/kota, lebih dari dua pertiga punya aturan pajak hiburan, tetapi sekitar seperlima yang memiliki peraturan pemajuan kebudayaan. Di manakah keberpihakan itu berada?

Pemerintah, mungkin tanpa sadar, lebih gemar menjadikan seni sebagai sumber pendapatan ketimbang subjek yang harus didorong keberlangsungannya. Bahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang semestinya bisa menjadi acuan baru, belum diindahkan. Banyak daerah masih bertahan pada peraturan lama, bahkan ada yang masih berpegang pada regulasi sebelum 2009, seperti Magelang dan Kerinci. Maka, seni tak hanya menjadi korban kelambanan birokrasi, tetapi juga korban dari kekeliruan cara pandang yang mengakar.

Memang benar, pajak hiburan tidak salah secara esensial. Ia bisa menjadi sumber dana untuk membangun ekosistem seni yang sehat, seperti di Prancis dan Swiss, ketika pajak hiburan digunakan untuk menyubsidi seni alternatif dan memperluas akses publik. Tetapi di sini, pendapatan itu nyaris tak pernah kembali ke pelaku seni. Seorang dalang wayang bisa terkena pajak hanya karena menampilkan cerita Ramayana semalam suntuk, tetapi ia tak tahu ke mana uang pungutan itu mengalir. Barangkali ke jalan yang berlubang. Atau ke ruang rapat ber-AC yang membicarakan “pemajuan budaya” tanpa mengundang budayawan.

Ketimpangan ini berakar dari cara kategorisasi yang gamang. Musik kontemporer bisa masuk ke dalam kategori ‘hiburan malam’ jika dipentaskan di klub. Sementara bentuk musik yang sama, jika dimainkan di panggung terbuka oleh anak-anak muda desa, bisa dikenai pajak lebih rendah, atau lebih tinggi, tergantung tafsir. Di Jakarta, DJ masuk kategori hiburan malam. Di Palangkaraya, musik hidup juga masuk kategori hiburan malam. Tetapi, siapa bisa memastikan batas antara musik hidup dan musik yang hanya sekadar hidup-mati dalam birokrasi?

Dan ketika ‘tradisi’ diberi insentif atau dibebaskan dari pajak karena dianggap luhur, masalah lain muncul: siapa yang menentukan mana yang tradisi dan mana yang bukan? Dangdut koplo, misalnya, kadang dianggap hiburan pinggiran, kadang dianggap warisan. Padahal, sebagaimana dinyatakan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, seni adalah ekspresi yang hidup, berubah, dan tidak tunduk pada batas-batas yang kaku. Tradisi tak bisa dibekukan menjadi fosil. Ia bergerak, beranak pinak, dan bertengkar dengan dirinya sendiri. Jika pelabelan ‘tradisi’ hanya menjadi alat seleksi kultural, kita sedang menyaksikan birokrasi yang ingin mengatur denyut kreatif seperti mengatur perizinan lapak kaki lima.

Pajak, dalam sejarahnya, adalah soal kekuasaan. Tetapi kekuasaan, jika ingin dihormati, harus mengerti nilai. Ketika Kabupaten Pidie memungut pajak 50% atas semua pertunjukan kecuali yang “bernapaskan Islam”, itu bukan hanya kebijakan fiscal; itu pernyataan ideologis. Bioskop pun dikenai pajak setinggi langit karena tidak sesuai dengan nilai yang diakui. Maka kita bisa bertanya: Siapa yang memberi hak pada pemerintah daerah untuk menentukan nilai-nilai seni? Bukankah seni justru ada untuk mempertanyakan nilai yang mapan?

Sebuah pertunjukan seni, jika dilihat dari mata seorang petugas pajak, hanyalah kursi, tiket, dan jumlah penonton. Namun, bagi seorang anak muda yang menonton orkestra pertamanya di aula kecil dengan cahaya remang, itu bisa menjadi momen pembebasan, bahkan pencerahan. Sayangnya, tidak semua yang bercahaya bisa terlihat dari jendela ruang anggaran daerah.

Pemerintah daerah memang boleh berharap dari seni. Tetapi seni juga berharap dari pemerintah: bukan hanya pengakuan, tapi keberpihakan. Seharusnya, pendapatan dari pajak hiburan digunakan kembali untuk mendorong kebudayaan tumbuh. Harus ada audit imajinasi dalam kebijakan: apakah tarif pajak ini mendorong atau mematikan? Apakah kategori seni ini inklusif atau membatasi? Apakah peraturan ini adil, atau sekadar mencerminkan selera kekuasaan lokal?

Kita tentu tak ingin seni yang dipungut pajaknya lebih dulu daripada diapresiasi. Maka langkah pertama adalah menyelaraskan peraturan dengan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. Pajak bukan hanya alat pungut; ia bisa menjadi medium kebijakan untuk menumbuhkan ekosistem seni. Jika tidak, kita akan terus menyaksikan panggung-panggung kosong, seniman yang berhenti berkarya, dan kebudayaan yang pelan-pelan ditinggalkan oleh pemerintahnya sendiri.

Dan seni, seperti burung tadi, akhirnya terbang entah ke mana, tanpa sempat pulang.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st

What do you think?

Written by Jatengdaily.com

Wagub Buka MQK Jateng di Jepara, Menanam Benih Ulama Masa Depan Lewat Tradisi dan Inovasi

‘Anakku Harapanku’: Cermin Cinta dan Suara Hati Penyair untuk Dunia Anak