Tokoh-Tokoh Novel ‘Kolam Susu’

IMG-20241121-WA0001

Gunoto Saparie

Oleh: Gunoto Saparie

Kita tahu, tentu saja, bahwa dalam sastra tokoh-tokoh tidak hidup di dunia yang sama dengan kita. Mereka hidup di halaman-halaman buku, dalam kalimat, dalam narasi. Tetapi kadang kita berharap, mereka juga hidup dalam kegelisahan. Kita berharap bisa menyentuh denyut mereka. Kita ingin tahu, apakah mereka pernah takut? Apakah mereka pernah bimbang?

Dalam novel Kolam Susu, yang ditulis sastrawan Semarang Sulis Bambang dan diterbitkan Kosa Kata Kita (Jakarta, 2025), tokoh-tokoh seperti Menur dan Trimensa berjalan seperti wayang yang tak pernah goyah, tak pernah sesak napas karena pilihan-pilihan yang getir.

Imaniar Yordan Christy, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Semarang, mencatatnya dengan tajam, ketika ia membandingkan novel ini dengan gagasan Kuntowijoyo dalam esai lamanya, “Penokohan dan Perwatakan dalam Sastra Indonesia”, yang terbit di majalah Basis, Januari 1983.

Kuntowijoyo, dengan kalimat pembuka yang seperti palu itu, mengatakan bahwa sastra Indonesia “tidak mempunyai tradisi psikologisme yang kuat.” Tokoh-tokohnya tidak punya kehidupan batin. Mereka bukan manusia yang gelisah, bukan manusia yang ragu, bukan manusia yang, dalam kata-kata Dostoyevsky, “dirobek-robek dari dalam.”

Dan kita bisa lihat itu, lagi-lagi, dalam Kolam Susu. Menur, misalnya, adalah istri kedua. Ia disukai, dinikahi, lalu ditinggal di Singapura bersama anak-anak. Ia dibiayai oleh dirinya sendiri. Ia seolah tak pernah menangis, tak pernah marah, tak pernah lelah. Kita tidak tahu bagaimana malam-malamnya berlalu. Kita tidak pernah diajak ke dalam hatinya.
Ia ikhlas, kata narasi.

Ikhlas seperti apa? Apakah ia tidak merasa luka ketika mengetahui suaminya lebih sering bersama istri pertama? Apakah benar ia tidak pernah mempertanyakan poligami itu, bahkan pada dirinya sendiri? Ataukah sebenarnya ia pernah, tetapi penulis tidak memberinya ruang untuk bicara?

Mungkin ini yang disebut Kuntowijoyo sebagai tokoh yang “sudah ditertibkan”. Mereka tidak otonom. Mereka patuh. Mereka bukan manusia, tetapi fungsi.

Trimensa, sang suami, boleh meratap karena tak bisa memberi lebih. Tetapi kita tahu itu hanya satu kalimat kecil di antara ratusan lainnya yang memanjakannya sebagai lelaki yang “beruntung.” Tidak ada konflik batin. Tidak ada kegundahan moral. Tidak ada harga diri yang retak.

Semua berjalan mulus. Terlalu mulus.
Kita tahu dunia tidak pernah sesederhana itu. Bahkan dalam rumah tangga yang paling bahagia, ada benturan keinginan, ada perasaan yang tak terucap. Tapi di novel ini, perasaan hanya ada sebagai ide. Ia tidak hidup. Ia tidak tumbuh. Ia tidak menyiksa.

Barangkali, seperti yang dicatat Imaniar, ini memang bentuk sastra yang melihat manusia bukan sebagai “makhluk yang tumbuh”, tetapi sebagai “makhluk yang digerakkan.” Mereka tak perlu bergejolak, karena tak pernah sungguh-sungguh memiliki kehendak.

Maka kita bertanya, apakah Menur pernah bertanya pada dirinya sendiri? Atau lebih jauh lagi: Apakah Menur tahu bahwa ia bisa bertanya?

Tentu saja ini bukan tentang keharusan. Tidak semua karya harus memuat kompleksitas psikologis. Tapi jika sastra ingin memberi kita cermin tentang manusia, maka cermin itu mestinya tidak hanya memantulkan kulit, tapi juga luka. Bukan hanya kisah yang rapi, tapi juga kegelisahan yang berantakan.

Sebab dari sana kita tahu bahwa tokoh bukan hanya ada. Tetapi juga hidup. Seperti kita.

Ada masa ketika sastra Indonesia terasa berdenyut lebih kencang, saat suara perempuan tak hanya terdengar, tetapi menggema. Masa ketika yang molek bisa juga marah, dan yang cantik bisa menggugat. Kita menyebutnya “sastra wangi.”

Nama-nama seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki muncul bukan sekadar karena kecantikan atau eksotisme mereka, tapi karena keberanian untuk menyentuh hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu: tubuh, seksualitas, kemerdekaan memilih, dan keinginan untuk berkata tidak pada patriarki yang lama dan tebal.

Imaniar dalam pembacaannya atas novel Kolam Susu, mengingatkan kita pada babak itu. Sebab novel ini ditulis oleh seorang perempuan, tentang perempuan, tetapi ironisnya, kehilangan semangat perlawanan yang pernah menjadi api dalam “sastra wangi”.

Tidak ada tubuh yang bersuara, tidak ada hati yang menuntut. Hanya ada perempuan yang rela. Rela dimadu. Rela ditinggal. Rela memahami. Rela membiayai.

Sulis Bambang menulis tokoh Trimensa dengan takzim, dengan sejenis kekaguman yang seperti tak sempat dikritik. Trimensa digambarkan sempurna: tampan, mapan, maskulin. Dan seperti tokoh utama dalam kisah cinta remaja yang berusia terlalu panjang, ia juga mendapat hak istimewa untuk beristri dua: Menur dan Yeyen. Satu sedang sakit, satu lainnya justru sehat dan menggoda.Dan tak seorang pun tampaknya merasa ada yang salah.

Sastra, seharusnya, memang tidak memberi jawaban yang mulus. Tetapi di sini, poligami menjadi jalan yang lurus. Tak ada luka. Tak ada perlawanan. Tak ada pertanyaan.
Menur, istri pertama, yang tengah berjuang dengan penyakit autoimun, justru digambarkan sebagai sosok yang penuh keikhlasan.

Ia membiayai hidupnya dan anak-anaknya di Singapura. Ia tidak menuntut apa-apa. Ia bahkan merestui suaminya menikah lagi, demi alasan biologis. Ia, dalam kata-kata novel ini, istri yang sempurna dalam kesakitan: tidak rewel, tidak cemburu, tidak membebani.

Apa yang kita lihat di sini bukan perempuan yang merdeka, tetapi perempuan yang sudah dikurung dalam konstruksi yang “manis”. Perempuan yang sopan dalam penderitaan. Dan dalam narasi seperti ini, laki-laki tak perlu merasa bersalah. Sebab istri pertamanya pun mengerti.

Tetapi kita tidak. Kita tidak mengerti bagaimana rasa ditinggalkan di tengah sakit. Kita tidak diajak merasakan kesepian Menur, ketakutannya, keinginannya untuk tidak sendirian. Kita hanya diberi potongan cerita yang rapi, yang menempatkan poligami sebagai solusi, bukan sebagai persoalan.

Padahal dalam hidup, perasaan tidak bisa disederhanakan menjadi alasan medis atau kebutuhan biologis. Dalam hidup, cinta tidak selalu tunduk pada logika yang tertib. Dalam novel ini, yang kita lihat bukan suara perempuan, melainkan suara yang sudah disesuaikan.

Bukan perlawanan, tapi penyerahan. Bukan pergolakan, tetapi narasi yang telah didamaikan lebih dulu sebelum sempat gelisah.

Maka kita pun bertanya, apakah novel ini tidak sempat melihat bahwa ada perempuan yang ingin bertahan bukan hanya karena cinta, tapi karena harga diri? Bahwa tubuh yang sakit bukan berarti tubuh yang bisa ditinggal? Bahwa dalam penderitaan, perempuan juga bisa memilih untuk tidak ikhlas?

Dan di sanalah perbedaan penting itu berada. “Sastra wangi” bukan tentang kecantikan, tetapi tentang keberanian. Tentang perempuan yang menolak dikurung dalam narasi laki-laki. Tentang tokoh yang tidak mau pasrah hanya karena tubuhnya tak lagi kuat.

Dalam Kolam Susu, kita tak menemukan itu. Yang kita temukan hanya perempuan yang dituliskan untuk mengerti. Bukan untuk melawan. Dan mungkin, dalam diamnya, justru di sanalah masalah paling sunyi itu bersembunyi.

Ada yang ganjil dalam kesenyapan perasaan tokoh-tokoh fiksi. Mereka hadir, bernama, bertindak, dan berjalan ke ujung cerita, tapi tak pernah benar-benar hidup di dalam kita. Mereka seperti boneka di rak etalase: berdandan, berbicara, bahkan jatuh cinta, tetapi kita tahu, tak satu pun dari mereka berkedip.

Itulah yang dicatat Imaniar saat membaca Kolam Susu. Sebuah novel tentang poligami, tentang kehidupan istri-istri dari seorang lelaki bernama Trimensa. Seorang tokoh utama yang dikisahkan tampan, kaya, berkuasa, dan dimanja oleh narasi.

Trimensa adalah jenis lelaki yang dalam dongeng-dongeng lama dianggap berhak atas dua istri, bahkan tiga, asal semua “diridhoi.”

Sulis Bambang, penulisnya, seorang perempuan. Tapi Imaniar mengajak kita melihat sesuatu yang lebih jauh dari jenis kelamin penulis. Ia mengajak kita melihat bagaimana narasi bekerja; bukan sekadar siapa yang menulisnya.

Imaniar membawa kita mengingat cerpen “Poligami” karya Aoh K. Hadimadja. Cerita yang ditulis oleh seorang laki-laki, tetapi menyimpan kesadaran psikologis yang pelik. Bahwa poligami bukan sekadar kesepakatan sosial, melainkan luka-luka batin yang tak selalu tampak.

Dalam cerpen itu, tokoh perempuan menerima dipoligami, tapi tidak menerima nasibnya sebagai hal yang patut diwariskan. Ia ingin dirinya menjadi yang terakhir. Ia tahu betapa tidak mudah menjadi yang kedua. Atau bahkan yang pertama.

Dan kesadaran itu, yang justru luput dari novel Kolam Susu. Trimensa menikah lagi, dan istri pertamanya, Menur, menerima. Bahkan merestui. Ia sedang sakit—itu alasannya. Maka poligami bukan tampak sebagai konflik, tapi sebagai “solusi.”

Narasi ini, seperti dicatat Imaniar, berjalan terlalu mulus. Tanpa pertarungan batin, tanpa air mata yang diam-diam ditelan malam. Seperti yang dikatakan Kuntowijoyo, tokoh-tokoh dalam sastra kita sering tidak memiliki psike—jiwa.Mereka hanya menyandang peran. Dan kita tahu, peran seringkali menipu.

Tetapi Kolam Susu juga memperlihatkan sesuatu yang menarik. Sesuatu yang, meski tak diucapkan keras-keras, terasa di sela-sela cerita: kelas sosial. Tokoh-tokoh perempuan di sini, Ayla, Aima, dan Yeyen, adalah perempuan-perempuan borjuis. Mereka hidup di rumah besar, punya waktu untuk berolahraga, kuliner, berlibur. Mereka bisa memilih bekerja untuk eksistensi, bukan untuk bertahan hidup.

Mereka punya asisten rumah tangga yang menyapu, mencuci, menjaga anak-anak. Di balik kenyamanan hidup mereka, ada perempuan-perempuan lain yang berdiri diam di dapur.

Dan kelas sosial, seperti kita tahu, membentuk jenis kesedihan yang berbeda.
Perempuan borjuis bisa merenungkan kebebasan, bisa bergelut dengan eksistensi, bisa menulis puisi di pagi hari.

Tetapi perempuan proletar mungkin hanya ingin satu hal: tidur lebih lama tanpa harus bangun sebelum subuh. Maka jika tokoh-tokoh dalam Kolam Susu tampak terlalu tenang dalam menghadapi poligami, barangkali karena mereka bisa membeli ketenangan.

Tetapi ini bukan berarti luka tidak ada. Hanya saja, ia disamarkan oleh ruang keluarga yang wangi dan taman kecil yang teduh.

Dan di sinilah kekuatan Imaniar dalam membaca novel ini: ia tidak berhenti di permukaan. Ia mengajak kita untuk mengingat bahwa poligami bukan semata urusan syariat atau cinta, tetapi juga struktur. Juga sejarah. Juga luka-luka lama yang pernah ditulis Kartini dalam surat-suratnya.

Kartini tahu: poligami bisa berarti akhir dari harapan. Bisa berarti perempuan harus belajar mencintai dalam diam. Dan seperti dalam suratnya kepada Stella: “Saya mau sekolah agar saya tidak menjadi bodoh, tidak menjadi boneka bagi laki-laki.” Sebab dalam boneka, tidak ada gejolak. Tidak ada tangis. Tidak ada suara.

Dan dalam novel Kolam Susu, kita memang mendengar terlalu sedikit suara dari para perempuan. Mereka bergerak. Mereka tersenyum. Tetapi mereka tidak menggugat. Tidak bertanya. Tidak menangis. Mungkin karena dalam novel ini, tak ada yang benar-benar diizinkan untuk berduka.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com-St