Oleh Ahmad Rofiq
Wakil Ketua MUI Jawa Tengah
Assalamualaikum wrwb.
Zakat secara harfiyah artinya berkah dan berkembang. Fithrah artinya kesucian. Zakat fitrah (diindonesiakan) artinya zakat jiwa, zakat berupa makanan pokok untuk makan dua hari di hari raya fakir miskin, yang wajib dibayarkan oleh orang yang berpuasa dan keluarganya, dibayarkan paling lambat sebelum pelaksanaan shalat Idul Fithri.
Kewajiban zakat fitrah ini, dikaitkan dengan adanya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan bagi orang-orang yang beriman. Maka pembayaran zakat fitrah ini bisa dilaksanakan secara takjil, yang penting sudah dalam bulan Ramadhan. Hikmah atau tujuannya adalah, membersihkan dan mensucikan orang yang berpuasa (dari berbagai ucapan dan prilaku yang bisa mengurangi pahala puasa) dan memberi makan orang-orang fakir miskin.
Sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan: “Faradla Rasulullah saw zakata l-fithri thuhratan li sh-shaaimi wa thu’matan li l-masaakin” artinya “Rasulullah saw memfardlukan (mewajibkan) membayar zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa (dari ucapan dan perbuatan yang sia-sia dan kotor) dan memberi makan orang-orang miskin” (Riwayat Abu Dawud).
Rasulullah saw mengingatkan pada kita, “banyak sekali orang yang berpuasa, akan tetapi tidak mendapat (pahala apa-apa) dari ibadah puasanya kecuali lapar dan haus” (Riwayat Ahmad).
Hakikat ibadah puasa adalah wujud ketakwaan seorang hamba kepada Allah secara paripurna. Karena itu, Sahabat Jabir RA berkata: “Jika kamu berpuasa, maka puasakanlah pendengaran, penglihatan, dan lisanmu dari berbohong dan hal-hal yang dilarang. Tinggalkanlah menyakiti tetangga, buatlah mereka tenang dan tenteram. Dan janganlah engkau menjadikan hari-hari puasamu dan hari kamu tidak berpuasa sama”.
Zakat fithrah disebut juga zakat jiwa. Meskipun diwajibkan karena berkaitan dengan perintah puasa di bukan Ramadhan, namun zakat fitrah bisa dibayarkan selama dalam bulan Ramadhan, hingga sebelum pelaksanaan shalat Idul Fithri. Tujuan utama zakat fithrah adalah, mensucikan orang yang berpuasa dan memberi makan orang-orang fakir dan miskin, agar di hari raya Idul Fithri tersebut, dapat juga menikmati kebahagiaan tanpa harus meminta-minta seperti hari-hari yang dilalui mereka.
Alkisah, suatu saat Sahabat Utsman bin Affan lupa membayar zakat fithrah, dan baru ingat setelah selesai shalat. Setelah itu, baru sadar akan kelupaannya itu. Utsman mencari seorang hamba, untuk segera dimerdekakan, sebagai pengganti – atau kompensasi — dan menebus kesalahannya itu. Setelah itu, Utsman segera menghadap kepada Rasulullah saw dan mengadukan peristiwa yang baru saja dialaminya. Utsman menyatakan : “Ya Rasulullah saw, saya lupa membayar zakat fithrah, baru ingat dan sadar setelah selesai shalat Idul Fithri. Setelah itu, saya segera mencari seorang hamba untuk saya merdekakan”.
Menerima laporan Utsman tersebut, Rasulullah dengan lugas dan bijaksana, menjawab apa yang ditanyakan Utsman : “Wahai Utsman, ketahuilah seandainya hari ini kamu memerdekakan 100 orang budak, maka pahalanya tidak akan mampu menutupi zakat fitrah yang kamu bayarkan sesuai waktu yang telah ditetapkan” (Durratu n-Nashihin).
Ilustrasi kisah tersebut sangat menarik. Mengapa, karena melaksanakan ibadah sesuai waktu yang telah ditentukan, adalah bagian dari pesan penting suatu syariat ditetapkan, memiliki nilai dan makna yang sangat tinggi. Zakat fithrah menjadi penentu kesempurnaan dan dicairkannya pahala puasa Ramadhan. Rasulullah saw bersabda: “shaumu l-‘abdi mu’allaqun baina s-samaai wa l-ardli hatta yuaddiya zakata l-fithri”. Artinya “(pahala) puasa seorang hamba digantung di antara langit dan bumi hingga dibayar zakat fithrahnya”. (Riwayat dari Ibnu Abbas).
Selain zakat fithrah, bagi orang Islam yang memiliki penghasilan setara dengan 85 gram emas (Syeikh Yusuf al-Qaradlawy) dalam satu tahun dalam rentang aman tercukupi kebutuhannya, dan 92,6 gram emas (Kementerian Agama RI), maka wajib mengeluarkan zakatnya sebanyak 2,5 persen. Penghasilan di sini, menunjukkan apapun profesinya dan bersifat kumulatif. Jika harga emas Rp 600.000,-/gram, maka batas nishab adalah 85xRp 600.000,- = Rp 51.000.000,- (lima puluh satu juta rupiah). Jika penghasilan seseorang Rp 51.000.000,- maka zakat yang wajib dibayarkan adalah 2,5 % x Rp 51.000.000,- = Rp 1.275.000,-
Zakat mal disyariatkan lebih dimaksudkan untuk mengentaskan atau setidaknya mengurangi angka kemiskinan. Karena kemiskinan menurut Rasulullah saw, nyaris menjadikannya kufur (kaada l-faqru an yakuuna kufran). Karena itu penghimpunannya semestinya dilakukan oleh negara atau badan/lembaga yang ditunjuk untuk mewakilinya. QS. At-Taubah 60 menegaskan, bahwa zakat itu untuk 1). Orang-orang fakir; 2). Orang-orang miskin; 3). ‘Amil, 4). Muallaf; 5). Memerdekakan budak; 6). Gharim (orang-orang yang berutang); 7). Sabilillah; 8). Dan Ibnu Sabil (dalam perjalanan kehabisan bekal).
Apabila dua setengah persen sebagai harta zakat yang menjadi haknya para fakir miskin dan mustahik lainnya, tidak dikeluarkan, maka menjadi tidak halal dikonsumsi oleh pemilik harta. Sebaliknya, apabila dua setengah persen tersebut dibayarkan, didistribusikan melalui amil kepada para mustahik, maka 97,5 persen harta itulah, akan mendapat keberkahan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Keberkahan artinya, bertambah kebaikan (ziyadatu khairin).
Rasulullah saw mengingatkan: “Hashshinuu amwaalakum bi z-zakaati wa daawau mardlaakum bi sh-shadaqati wa a’idduu l-balaa’a bi d-du’aa” artinya “bentengilah hartamu dengan membayar zakat (fithrah dan mal), obatilah penyakitmu dengan shadaqah, dan bersiaplah menghadapi cobaan dengan berdoa” (Riwayat ath-Thabrany).
Semoga Allah membuka hati dan fikiran kita, dan dengan ikhkas membayar zakat, baik zakat fith4ah maupun zakat mal. Insyaa Allah hidup kita akan diberkahi oleh Allah, hidup ini terasa lebih nyaman dan indah, karena kita tidak lagi didera penyakit bakhil, dan doa dari saudara kita yang fakir miskin, dan mustahik lainnya, akan menjadi obat penawar dan pendorong panjang umur kita.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
GIPHY App Key not set. Please check settings