MUI Butuh Leader dan Manajer “Shadiqul Hukumah”

0
prof rofiq1


Oleh Ahmad Rofiq

TERM “shadiqgu l-hukuumah” dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-X MUI, 2020, di Hotel Sultan, 25-27/11/2020 menjadi istilah yang menarik untuk didalami. Terjemahan bebasnya, adalah “mitra-pemerintah”. Munas yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19, meskipun pilihan ketua umum akan ditentukan oleh tim formatur. Tim formatur dipilih oleh Munas itu terdiri dari ketua umum, sekjen, ketua wantim, MUI provinsi 7 orang, ormas 5 orang, perguruan tinggi 1 orang, pesantren 1 orang, kata Jaidi saat dihubungi, Selasa (24/11/2020).

Dewan pimpinan pusat ada 22 orang itu dipilih oleh tim formatur. Yang boleh jadi “agak krusial” adalah pemilihan Ketua Umum, karena pemilihan model MUI ini, berbeda dengan ormas lainnya, yang tidak jarang banyak “dipengaruhi” oleh faktor-faktor eksternal. Faktor eksternal ini juga tidak jarang, mencerabut “kedaulatan” ormas itu sendiri. Ketika, sebuah ormas kehilangan “kedaulatan”-nya, maka independensi dan “kemerdekaannya” akan tergerus karena intervensi tersebut.

Shadiqu l-ummah artinya “mitra pemerintah”. Tentu yang dimaksud adalah bahwa MUI sebagai mitra kritis pemerintah. Secara normatif, Rasulullah saw memberi rambu, “shinfaani min an-naasi idzaa shaluhaa shaluha n-naas wa idzaa fasadaa fasada n-naas, al-‘ulama wa l-umara’”. Artinya “dua kelompok manusia apabila keduanya baik, maka baiklah manusia (rakyatnya), dan apabila keduanya buruk, maka buruk pula manusia (rakyatnya)”, yaitu ulama dan umara.Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw menegaskan: “lau laa ‘ilmu l-‘ulama’ la halaka l-jahiluun”. Artinya: “Kalau tidak ada ilmunya ulama, sungguh rusaklah orang-orang yang tak berilmu (jahilun)”.

Tuntunan Rasulullah saw tersebut, mengingatkan saya akan term Jahiliyah yang addressnya warga Makkah sebelum dan awal-awal Islam, karena mereka “tidak mau atau susah menerima kebenaran wahyu, yang diterima oleh Rasulullah saw. Sesungguhnya mereka bukan tak berilmu, akan tetapi karena ada “kecongkakan” intelektual (ignorance) akibat lebih meyakini “ajaran” nenek moyang mereka.

Hemat saya, tema yang diusung Munas MUI X ini, “Meluruskan Arah Bangsa dengan Wasathiyatul Islam, Pancasila, serta UUD NRI 1945 secara Murni dan Konsekuen” adalah bagian dari sikap kritis dan independen MUI kepada Pemerintah. Sudah barang tentu, MUI memiliki caranya sendiri yang khas dan disampaikan dengan cara-cara yang santun. Alangkah, “lucunya” jika MUI menyampaikan masukan, kritik, taujihat, atau taushiyah kepada pemerintah, akan tetapi disampaikan seperti cara-cara yang dilakukan oleh orang yang belum atau tidak ulama.

Abu Hamid Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin juz 2 halaman 238 mengingatkan: “maa fasadat ar-ra’iyyatu illaa bi fasaadi l-muluuk wa maa fasadat al-muluuku illaa bi fasaadi l-‘ulama’” artinya ““Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.” Imam al-Ghazali menurut Prof. Nadirsyah Hosen, melakukan introspeksi kepada dirinya dan para sejawatnya, “sudahkah para ulama menjalankan fungsi dengan benar sehingga tidak rusak penguasa dan rakyat?”

Dalam kitab al-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk, Imam Ghazali menasehati penguasa dengan mengutip riwayat Nabi: “Keadilan penguasa meski hanya satu hari lebih aku senangi katimbang beribadah selama 70 tahun”. Imam Ghazali mengutip sejumlah hadits Nabi soal keadilan penguasa hingga tibalah beliau menulis sesuatu yang, kata Nadirsyah Hosen, sangat mengejutkan (hal. 44): “Penguasa adil itu yang memberikan keadilan dan kepada sesama hamba dan tidak melakukan hal sebaliknya, karena penguasa zalim tidak akan bertahan lama berdasarkan Hadits Nabi: “kekuasaan itu bertahan bersama kekufuran tapi tidak bersama kezaliman”.

Ada setidaknya tiga fenomena, menurut kacamata MUI, yang mengindikasikan arah bangsa ini perlu diingatkan. Pertama, bangkitnya “Gerakan laten” komunisme. Meskipun ada yang seroang tokoh di negeri ini, setiap menyinggung isu PKI, merasa “bosan”, namun faktanya terasa nyata. Bukankah pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang ingin membelokkan Pancasila menjadi trisila dan ekasila, upaya sistematis untuk “merontokkan” Pancasila, yang menjadi falsafah dan dasar negara selama 75 tahun merdeka? Anehnya, yang melakukannya itu para “wakil rakyat” sementara semua rakyat menolak dengan keras?

Bagi MUI, NKRI harga mati dan Pancasila adalah final, bukan hanya slogan, yang sering dinyinyirin oleh “tetangga” sebelah yang berobsesi merubahnya. Bagi MUI, NKRI adalah darul mu’ahadah atau muwatsaqah (negara perjanjian/kesepakatan). Ada yang menyebut daru l-‘ahdi wa sy-syahadah.

Kedua, proses legislasi UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja omnibus law, yang terdiri dari 186 pasal ini, merevisi 180 UU, lebih dari 1.200 pasal, prosesnya tidak lazim dan cenderung tidak procedural. Rakyat yang dalam “kamus politik” disebut “vox populi vox dey” artinya “suara rakyat suara Tuhan” tidak dihargai lagi. Bahasa kasarnya, rakyat dianggap tidak tahu oleh para wakilnya. Bahkan beredar di medsos, sebagian besar wakil rakyat yang mengesahkan, naskah pun tak diberi, apalagi membacanya. Anehnya, dengan tanpa beban, dikatakan, jika tidak mau menerima, masyarakat silahkan mengajukan judicial review ke-MK.

Ketiga, ada fenomena “mallpraktik” tata kelola negara. Desentralisasi/otonomisasi secara sistemik dikembalikan ke pusat. Aparat negara diidentikkan sebagai aparat pemerintahan, dan kekuasaan bersifat sentralistik dan cenderung mengarah ke otoriterianisme baru.

Karena itulah, Munas ini sangat strategis, selain rumusan program lima tahun ke depan, rekomendasinya, yang dalam draftnya sangat Panjang, 20 halaman satu spasi, perlu dipersingkat dan dipertajam. Tentu dibutuhkan ketua umum MUI, yang alim, amil, abid, dan arif, juga memiliki sense of political player yang mumpuni, dan mampu menerjemahkan amanat shadiqul hukumah dengan smart dan cerdas, guna mengemban amanat mewujudkan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Semoga. Amin.

[1] Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA. alumnus Madrasah Tasywiqu th-Thullab Salafiyah (TBS) Kudus, Guru Besar Hukum Islam Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat, Anggota Dewan Penasehat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Pusat, Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Bank Jateng, dan Ketua DPS Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Agung (SA) Semarang. Jatengdaily.com–st

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *