Pembangunan Sutet 500 KV dan Produksi Padi Jawa Tengah

0
Tri karjono Jatengdaily 06112020

Oleh : Tri Karjono
ASN BPS Provinsi Jawa Teng
ah

SEPERTI diberitakan Jatengdaily.com (5/11/2020), bahwa pemerintah akan melakukan pembangunan saluran udara tegangan ekstra tinggi atau SUTET 500 KV Ungaran-Pedan sirkuit 2, yang konstruksinya baru akan dimulai pada pertengahan bulan Mei 2021 yang akan datang. Namun proses pengadaan tanah yang tahapan pertamanya yaitu sosialisasi bagi masyarakat yang tanahnya terdampak, telah dimulai dan akan berakhir hingga 9 November 2020 ini.

Kebetulan penulis berkesempatan mengikuti tahapan tersebut pada 5 November 2020 yang lalu, saat sosialisasi dilakukan terhadap masyarakat yang terdampak di Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang.

Disebutkan bahwa sutet ini akan melewati empat wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah yaitu Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten. Proses pengadaan tanah akan dilaksanakan oleh tim pengadaan tanah untuk kepentingan umum Provinsi Jawa Tengah. Berdasar UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum disebutkan, bertujuan untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dalam hal ini seperti yang disampaikan pihak PLN UIP JBT II pada sosialisasi tersebut dimaksudkan agar masyarakat tidak lagi menikmati listrik yang ‘byar-pet’.

Sayangnya seperti layaknya pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah secara umum termasuk terkait pembangunan sutet ini, cenderung memilih mengambil lahan produktif pertanian sebagai objek pembangunan. Jikapun harus melewati atau membebaskan lahan nonproduktif pertanian, pemukiman misalnya, itu tidak lebih karena keterpaksaan karena tidak ada jalan lain, atau jika harus dengan memutar maka akan membutuhkan cost yang jauh lebih tinggi.

Berdasar apa yang dijelaskan oleh pihak PLN bahwa bahaya radiasi sutet sangat kecil. Jauh lebih kecil dari radiasi handphone. Dengan jarak 30,5 meter dari bentang sutet masih aman untuk digunakan sebagai aktivitas keseharian. Bahkan dijelaskan bahwa bangunan sampai tiga lantaipun masih aman untuk ditinggali. Demikian juga dengan bahaya petir, karena setiap sutet telah diberi penangkal petir, sehingga ketika terjadi petir akan tertangkap dulu oleh penangkal yang selanjutnya akan dialirkan ke tanah.

Terkait kerusakan pada alat elektronikpun dijelaskan bahwa itu terjadi lebih karena naik turunnya tegangan bukan akibat keberadaan sutet. Alhasil dapat disimpulkan bahwa seharusnya orang yang tinggal di bawah sutet merasa lebih tenang dari yang lain. Jika ini benar maka menjadi pertanyaan ketika mengapa pembangunan sutet lebih memilih melalui wilayah non pemukiman yang notabene lahan pertanian bahkan tidak jarang pertanian sawah produktif.

Produksi Padi Menurun
Permasalahan ini kenapa diangkat penulis dalam artikel ini, karena berdasar dengan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), di antara sekian banyak tujuan dari undang-undang ini diterbitkan di antaranya adalah menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, yang pada akhirnya tujuannya sama dengan tujuan pembangunan sutet di atas yaitu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat.

Jika PLN menyediakan listrik bagi investasi yang tinggi kemudian dari investasi tersebut mempu menyerap tenaga kerja yang ada, kemudian kesejahteraan akan dirasakan oleh masyarakat yang terlibat di dalamnya, demikian halnya dengan keberadaan lahan pertanian. Lahan pertanian mampu menyediakan hasil pertanian bagi masyarakat luas, sehingga masyarakat mampu terpenuhi kebutuhan pokoknya, kesejahteraanpun akan tercipta bagi masyarakat yang lebih luas.

Ketersediaaan lahan pertanian utamanya lahan sawah akan mampu menjadi terjaminnya ketersediaan kebutuhan pangan masyarakat. Di mana kebutuhan akan pangan dari hari ke hari semakin besar, oleh karenanya keberadaan luas baku lahan sawah harus tetap dipertahankan. Kita ketahui bahwa produksi padi Jawa Tengah sebagai lumbung utama beras nasional terus mengalami penurunan.

Pada tahun 2019, produksi padi Jawa Tengah mencapai 9,66 juta ton gabah kering giling (GKG), atau mengalami penurunan sebanyak 0,84 juta ton (8,04 persen) dibandingkan tahun 2018. Pada tahun 2020 ini potensi produksi padi Jawa Tengah diperkirakan mencapai 9,59 juta ton GKG, atau kembali mengalami penurunan sebanyak 68,74 ribu ton (0,71 persen) dibandingkan 2019. Padahal tahun ini daris sisi cuaca lebih mendukung. Jika harapannya Jawa Tengah kembali menjadi penyumbang tertinggi produksi padi secara nasional, sepertinya akan menjadi sebuah mission impossible bila konversi lahan sawah terus terjadi.

Pertanian dan Ekonomi
Dijelaskan pula oleh tim pengadaan tanah bahwa pembangunan sutet ini merupakan bagian dari program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) agar dampak adanya COVID-19 dan resesi ekonomi dapat ditanggulangi semaksimal mungkin menjadi ironi ketika harus mengorbankan salah satu sektor yang selama pandemi COVID-19 ini menjadi salah satu sektor yang kebal terhadap virus mematikan ini.

Bahwa ketika ekonomi Jawa Tengah terkontraksi atau minus pada kuartal-I sebesar 0,89 persen dan kembali terkontraksi sebesar 5,16 persen pada kuartal-II, sektor pertanian dengan kontribusinya sebesar lebih dari 15 persen justru menyelamatkan ekonomi dari keterpurukan yang lebih dalam. Sektor pertanian mampu tumbuh 14,16 persen pada kuartal-I/2020. Kemudian kembali tumbuh 12,08 persen pada kuartal-II dan lagi-lagi kembali tumbuh sebesar 10,17 persen pada kuartal-III ini. Sedangkan sektor utamanya sendiri yaitu industri pengolahan justru terus terpuruk selama tiga kuartal.

Di satu sisi pemerintah berusaha untuk tetap mempertahankan keberadaan pangan melalui menjamin keberlangsungan keberadaan luas baku lahan sawah agar tidak terkonversi ke pemanfaatan lainnya. Bahkan berdasar UU Nomor 41 Tahun 200 tersebut dijelaskan bahwa pemilik sawahpun ketika diketahui mengalihfungsikan ke lahan lain akan dikenakan sanksi pidana. Tetapi di sisi lain justru pemerintah sendiri yang mengalihfungsikan lahan sawah masyarakat menjadi bukan sawah.

Perlunya Koordinasi
Berdasar pada sosialisasi pengadaan lahan sutet yang tidak menyebutkan dinas pertanian pada tembusan undangannya mengindikasikan belum atau tidak adanya sinkronisasi koordinasi antara dinas terkait. Dinas Pertanian jelas punya kepentingan terhadap target kinerjanya terkait berubahnya luas baku lahan khususnya sawah. Jika terjadi koordinasi maka Dinas Pertanian dalam hal ini akan legawa ketika terjadi penurunan produksi padi atau hasil pertanian lainnya di waktu-waktu mendatang akibat terkonversinya lahan pertanian ini.

Atau cara lain bisa ditempuh misalnya dengan menciptakan lahan sawah baru dari lahan nonsawah yang terdampak sutet ini. Sebagai contoh dari lahan tegalan yang terdampak sutet. Lahan tegalan yang terdapak ini jelas tidak dapat kembali ditanami tanaman keras. Sehingga ini menjadi potensi untuk diubah menjadi lahan sawah baru.

Dengan begitu luas baku lahan sawah akan dapat tergantikan, walau hasilnya akan maksimal dalam beberapa tahun kemudian. Namun jika masih memungkinkan, pembangunan sektor lain diharapkan mampu meminimalisir terkonversinya lahan sawah atau bahkan menghindari lahan sawah sebagai korban. Sehingga penciptaan kesejahteraan dan kemakmuran yang baru tidak mengorbankan kesejahteraan dan kemakmuran yang telah ada. Jatengdaily.com-yds

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *