Oleh: Partini
Mahasiswa Program Study Magister Hukum, Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang
TANGGUNG JAWAB hukum terhadap keselamatan tenaga kesehatan dalam praktek pelayanan kesehatan di Rumah Sakit tertuang dalam undang – undang nomor 36 Tahun 2014 tentang tenaga Kesehatn, undang – undang nomor 44 Tahun 2014 tentang rumah Sakit, undang – undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta undang – undang nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap keselamatan tenaga kesehatan dalam praktek pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan bersifat hukum doktrinal dengan menggunakan Undang – Undang. Berdasarkan Pasal 57 (d) undang – undang nomor 36 tahun 2014 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, tenaga kesehatan mendapat perlindungan, keselamatan dan kesehatan kerja. Merujuk kejadian kasus perawat CSR di rumah sakit Siloam Palembang tanggal 16 April 2021 dimana tenaga kesehatan rumah sakit mendapatkan kekerasan dan penganiayaan dari keluarga pasien karena tindakan medik yang dilakukan dianggap tidak sesuai prosedur.
Salah satu permasalahan adalah belum adanya perlindungan hukum dari fasilitas kesehatan tempat perawat bekerja terhadap keselamatan pegawainya. Bardasarkan permasalahan tersebut diharapkan adanya tanggung jawab hukum dari rumah Sakit terhadap tenaga kesehatan yang tersandung masalah sehingga hubungan kerja antara rumah sakit dan pegawainya dalam hal ini perawat dapat terlaksana secara optimal.
Undang Undang dasar 1945 pasal 34 ayat 3 mengamanatkan bahwa Negara bertanggungjawab atas ketersediaan pelayanan kesehatan yang layak dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Salah satu sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat yang berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanuiaan, keadilan, kemanfaatan, persamaan hak dan anti diskriminasi, perlindungan dan keselamatan pasien serta mempunyai fungsi sosial adalah Fasilitas pelayanan kesehatan rumah sakit.
Sedangkan dalam pasal 1 angka 6 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Dalam pengelolaan pelayanan kesehatan dibutuhkan sumber daya rumah sakit yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, apoteker, manajemen rumah sakit, dan tenaga non kesehatan. Sumber daya ini mempunyai kedudukan, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing sesuai profesinya dalam institusi rumah sakit.
Tenaga medis dan paramedis merupakan salah satu tenaga kesehatan yang mempunyai tanggungjawab dan tanggung gugat dalam menjalankan profesinya. Pasal 57(d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan bahwa Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktek berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama. Pasal 26 (2) bahwa pimpinan RS (fasyankes) harus mempertimbangkan kebutuhan sandang, pangan serta keamanan dan keselamatan kerja tenaga kesehatan sesuai ketentuan undang-undang. Dalam prakteknya rumah Sakit sebagai pemberi kerja belum sepenuhnya memberikan perlindungan pekerjanya terhadap berbagai ancaman keamanan maupun keselamatan kerja.
Terbukti sepanjang Tahun 2020 -2021 sudah ada 8 kasus kekerasan ke tenaga kesehatan terutama Perawat seperti di Samarinda, cianjur, ambon, Semarang, lampung, aceh dan Sumsel. Pelakunya bisa dari pasien atau keluarga pasien atau pihak –pihak yang tidak puas dengan pelayanan fasilitas kesehatan yang diberikan. Tidak dapat mengendalikan emosi, dengan tidak puasnya pelayanan menjadi sasaran amuk. Pelaku kekerasan terhadap perawat untuk memeberikan efek jera maka pihak profesi meminta agar pemerintah dan pemilik fasilitas kesehatan agar dapat memberikan perlindungan terhadap ancaman aksi-aksi penganiayaan.
Seperti contoh kasus akhir –akhir ini di media sosial Adanya kasus tindakan kekerasan terhadap tenaga kesehatan di Rumah Sakit Siloam Palembang (16/4/2021) oleh Keluarga Pasien serta kejadian kekerasan tenaga kesehatan di Maluku (26/07/2020) dalam kasus keluarga pasien tidak terima karena pasien di covidkan saat meninggal.
Menurut Pasal 3(b) UU 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit bahwaTujuan Penyelenggaraan Rumah sakit adalah memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan Sumber Daya Manusia. Sedang di Pasal 29 (s) Rumah Sakit berkewajiban melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas.
Pasal 46 Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan RS. Tetapi dalam prakteknya, adanya kelalaian Rumah Sakit dalam melindungi Tenaga kesehatan terhadap Tekanan fisik dan psikologi dari lingkungan kerja Rumah Sakit , Belum adanya Sarana bantuan Hukum Rumah sakit terhadap tenaga kesehatan yang terkena kasus tindakan kekerasan maupun malpraktek, ketidakpuasan keluarga pasien terhadap mutu layanan Rumah Sakit berdampak terhadap aksi kekerasan yang dipertunjukkkan oleh pelaku baik pasien atau keluarga pasien.
Selama ini regulasi perlindungan hanya ditujukan pada keselamatan Pasien (pasien Safety) tetapi untuk Kebijakan perlindungan keselamatan petugas kesehatan terutama medis dan Paramedis belum ada. Perlunya dibuat Aturan hukum yang jelas mengenai hal ini. Kepastian hukum tenaga kesehatan dalam keamanan dan keselamatan saat menjalankan tugas pelayanan dapat terjamin.
Rumah sakit sebagai organisasi badan usaha di bidang kesehatan mempunyai peranan penting dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat secara optimal. Oleh karena itu rumah sakit dituntut agar mampu mengelola kegiatannya, dengan mengutamakan pada tanggung jawab para profesional di bidang kesehatan, khususnya tenaga medis dan tenaga keperawatan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya2. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit tidak selamanya memuaskan pasien, kadangkala tidak dapat dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak.
Ada kalanya layanan tersebut terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan malapetaka, seperti cacat, lumpuh, atau bahkan meninggal dunia. Ketentuan tentang rumah sakit bertanggungjawab atas kerugian pasien akibat kelalaian tenaga kesehatan ini, dapat menimbulkan implikasi lebih lanjut bagi pihak rumah sakit, tenaga kesehatan maupun bagi pasien. Bentuk kelalaian tenaga kesehatan yang menjadi tanggung jawab rumah sakit dan bentuk kelalaian tenaga kesehatan yang tidak termasuk dalam tanggung jawab rumah sakit.
Dalam pertanggungjawaban, Rumah Sakit bertanggung jawab penuh atas segala kegiatan yang dilakukan baik oleh tenaga medis ataupun paramedis. Beban pertanggung jawaban diberikan kepada Kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit yang telah menerima delegasi kewenangan dari pemilik Rumah Sakit untuk melaksanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Pertanggung jawaban yang diterima Rumah Sakit juga dapat berasal karena adanya kelalaian dari tenaga medis. Wujud pertanggungjawaban rumah sakit secara perdata adalah berupa penggantian kerugian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1243 KUH Perdata.
Sedangkan pertanggung jawaban secara administrasi yang dibebankan kepada Rumah Sakit dapat berupa surat peringatan dan pencabutan izin pendirian Rumah Sakit. Tetapi pada prakteknya Tanggung jawab rumah sakit terhadap tenaga kesehatan yang diperkerjakan tidak sampai terlaksana. Sayangnya akhir-akhir ini, sengketa antara pasien dengan Rumah Sakit dan tenaga kesehatan menjadi fokus pemberitaan yang ramai di media massa seperti yang terjadi pada kasus penganiayaan yang dilakukan tersangka JT terhadap perawat rumah sakit Siloam Sriwijaya Palembang kamis tanggal 16 april 2021 yaitu bernama CSR 28 tahun.
Penganiayaan tersebut dilakukan kamar 6026 lantai 6 Rumah Sakit Siloam Sriwijaya, jalan POM IX Komplek PSX Mall kelurahan Lorok Pakjo, Kecamatan Ilir Barat 1, Palembang Sumatra Selatan Pada Jumat tanggal 17 april 2021. Kejadian bermula perawat mencabut infus anak pelaku yang dirawat di Rumah sakit tersebut. Bekas jarum infus masih mengeluarkan darah tetapi sudah ditangani oleh Perawat CSR sesuai Prosedur. Keluarga pasien tetap tidak puas dengan pelayanan yang sudah dilakukan Perawat CSR. Selanjutnya terjadi tindakan kekerasan Yang dilakukan oleh JT ayah pasien kepada Perawat CSR. Tersangka Pelaku dijerat pasal 351 KUHP dengan ancaman penjara 2 tahun 8 bulan.
Di sini Rumah sakit belum memberikan sarana Bantuan Hukum tehadap si korban Perawat yang bekerja di Rumah Sakit tersebut. Dalam keterangan resmi yang diterima BISNIS, Jumat (16/4/2021) direktur rumah sakit Siloam Sriwijaya Palembang dr. Bona Fernando bahwa Rumah Sakit berkomitmen memberikan pelayanan optimal kepada pasien dan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi tenaga kesehatan agar dapat bekerja optimal dalam pelayanan kepada pasien.
Tetapi dalam prakteknya masih adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak keluarga pasien terhadap Tenaga Kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Ini berarti belum ada perlindungan hukum dari fasilitas kesehatan tempat perawat bekerja terhadap keselamatan pegawainya. Berdasarkan kejadian ini berarti adanya Kelalaian dari Pihak Rumah Sakit, Belum adanya Tanggung jawab hukum terhadap keselamatan tenaga kesehatan dalam praktek pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Pengaturan Pertanggungjawaban Hukum
Tanggung jawab Hukum Rumah Sakit dengan Tenaga Kesehatan menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan mengandung pengertian bahwa rumah sakit harus bertanggung jawab terhadap kualitas dari tenaga kesehatan yang bekerja.Hal ini berdasarkan Hubungan hukum antara “ majikan –Karyawan” Hubungan hukum antara rumah sakit dengan dokter pada dasarnya terbagi menjadi dua pola, yaitu pola hubungan perburuhan di mana dokter menjadi karyawan atau pegawai tetap dari rumah sakit (biasa disebut dengan Dokter in) dan pola hubungan perjanjian atau kemitraan di mana dokter bekerja secara mandiri dan berperan sebagai mitra rumah sakit (biasa disebut dengan Dokter out).
Perwujudan pola hubungan kemitraan ini di antaranya adalah Dokter Part Timer; Visiting Dokter atau Dokter Tamu; Dokter yang bekerja secara full timer di suatu rumah sakit, tetapi bukan merupakan pegawai tetap rumah sakit. Apapun bentuk pola hubungan antara dokter dan rumah sakit, dokter merupakan profesi yang mempunyai kemandirian dan independensi dalam melaksanakan profesi serta menerapkan keilmuannya. Tanggungjawab rumah sakit terhadap mutu perawatan /pengobatan (duty of due care) termasuk pemberian pelayanan kesehatan baik oleh dokter, maupun perawat dan tenahga kesehatan lainnya asalkan sesuai ukuran standart profesi.
Merujuk kasus perawat CSR Yang terjadi di RS Siloam Palembang (26/04/2021), pasal 57 (d) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan bahwa Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktek berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama. Pasal 26 (2) bahwa pimpinan RS (fasyankes) harus mempertimbangkan kebutuhan sandang, pangan serta keamanan dan keselamatan kerja Nakes sesuai ketentuan undang-undang. Disini Tanggung jawab hukum rumah sakit seringkali tidak dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya karena Rumah Sakit tidak bisa memberikan perlindungan hukum atas keamanan dan keselamatan pekerjanya (perawat RS) sehingga terjadi penganiayaan.
Kelalaian Rumah Sakit ini terhadap keselamatan tenaga kesehatan (pekerja) saat praktek pelayanan kesehatan dapat dikatakan bahwa Rumah Sakit melanggar KUH perdata pasal 1367 seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannnya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang yang menjadi tanggungannnya. Dari kasus, seharusnya menurut Hubungan hukum, Rumah Sakit bertanggung jawab dalam pemenuhan keamanan dan keselamatan tenaga kesehatan saat praktek pelayanan kesehatan. Tetapi prakteknya belum ada aturan hukum Rumah Sakit yang mengatur khusus.
Selama ini bila ada kejadian kasus malpraktek yang mengenai tenaga kesehatan Rumah Sakit, yang bertanggung jawab adalah berdasarkan hubungan hukum antara dokter dan pasien; dokter dan perawat; rumah sakit dan pasien. Belum ada pertanggung jawaban hukum antara rumah sakit dan tenaga kesehatan Rumah Sakit. Sebaiknya Aturan ini supaya bisa dimasukkkan ke dalam aturan khusus Rumah Sakit yang disebut Hospital by law seperti Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) memuat rangkaian nilai-nilai dan norma-norma moral Perumahsakitan Indonesia untuk dijadikan pedoman dan pegangan bagi semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan rumah sakit di Indonesia. KODERSI merupakan kewajiban moral yang harus ditaati oleh setiap rumah sakit di Indonesia agar tercapainya pelayanan rumah sakit yang baik, bermutu, dan nilai-nilai luhur profesi kedokteran.
Hubungan hukum antara tenaga medis dan rumah sakit termuat dalam BAB IV tentang Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pimpinan, Staf, dan Karyawan. Dalam Bab tersebut, terlihat hubungan hukum antara tenaga medis dan rumah sakit Berdasar pasal diatas, terlihat hubungan hukum antara tenaga medis dan rumah sakit, dimana tenaga medis sebagai unsur tenaga kesehatan di rumah sakit. Oleh karena itu, rumah sakit berkewajiban untuk memberi kesejahteraan kepada tenaga medis dan menjaga keselamatan kerja. Rumah sakit juga berkewajiban untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui pemberian kesempatan bagi tenaga medis untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh rumah sakit.
Hubungan antara rumah sakit dan tenaga medis didasarkan pada adanya hubungan kerja. Atas dasar adanya suatu hubungan kerja, kebebasan profesional bagi para dokter itu tidak meniadakan pertanggung jawaban dari pemberi pekerjaan. Menurut hukum perdata walaupun pengurus dari suatu rumah sakit itu tidak berwenang memerintah seorang dokter untuk melakukan perawatan terhadap seorang pasien tertentu, ini tidak berarti bahwa rumah sakit yang bersangkutan dapat melepaskan diri dari kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan RS tersebut.
Tanggungjawab hukum rumah sakit menurut Pasal 3(b) UU 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit bahwa Tujuan Penyelenggaraan Rumah sakit adalah memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan Rumah Sakit dan Sumber Daya Manusia. Pasal 29 (s) Rumah Sakit berkewajiban Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas. Pasal 46 Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan Rumah Sakit.
Ada dua makna yang terkandung di dalam pengaturan ini. Pertama, Rumah Sakit hanya bertanggung jawab terhadap kesalahan yang bersifat kelalaian dan bukan kesalahan yang bersifat kesengajaan. Hal ini dikarenakan, kesalahan yang bersifat kesengajaan merupakan perbuatan yang digolongkan sebagai kriminal karena terdapat mens rea (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana) dan actus reus (perbuatan yang melanggar undang-undang pidana). Kedua, kelalaian tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan pada saat atau dalam rangka melaksanakan tugas yang diberikan oleh Rumah Sakit. Pertanggung jawaban yang terpusat kepada Rumah Sakit juga dipertegas di dalam Pasal 32 (q) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyatakan bahwa setiap pasien mempunyai hak, salah satunya adalah menggugat dan/atau menuntut
Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana. Pola pertanggung jawaban hukum sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit tidak menimbulkan permasalahan hukum apabila diterapkan terhadap tenaga kesehatan non dokter, tetapi berpotensi menimbulkan permasalahan hukum apabila diterapkan terhadap dokter. Hal ini dikarenakan status dokter di rumah sakit beraneka ragam.
Akibatnya adalah beberapa kali terjadi ketidakkonsistenan dalam putusan pengadilan dalam menyikapi pola tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap dokternya, misalnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 18/Pdt.G/2006/PN.PLG, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 625/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Brt, Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 62/PDT/2006/PT.PLG, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 614/PDT/2016/PT.DKI, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752/K/Pdt/2007, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonensia Nomor 42 K/Pdt/2018 dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia 352/PK/PDT/2010. Pengaturan pola pertanggung jawaban hukum rumah sakit yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dalam implementasinya dapat menimbulkan berbagai interpretasi.
Pada dasarnya, Rumah Sakit secara hukum bertanggung jawab terhadap kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya. Hal ini sejalan dengan Doktrin Vicarious Liability. Dalam perkembangannya, Doktrin Vicarious Liability bercabang menjadi Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency. Doktrin Respondeat Superior membatasi pertanggungjawaban rumah sakit hanya terhadap dokter in.
Sedangkan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency memperluas pertanggungjawaban Rumah Sakit terhadap dokternya, baik dokter in maupun dokter out. Doktrin Respondeat Superior biasanya dipergunakan oleh pengacara Rumah Sakit untuk membela rumah sakit dan membatasi pertanggung jawabannya. Doktrin Ostensible atau Apparent Agency biasanya dipergunakan oleh pengacara pasien untuk memperluas pertanggung jawaban hukum Rumah Sakit.
Munculnya berbagai penafsiran mengenai pertanggung jawaban hukum Rumah Sakit sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Rumah Sakit dan perkembangan Doktrin Vicarious Liability, dalam beberapa hal menyebabkan ketidak konsistenan pada putusan pengadilan. Tentunya, hal ini menjadi beban, khususnya bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Indonesia.
Tanggung jawab hukum Rumah Sakit menurut Undang-undang nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Hubungan ketenagakerjaan menempatkan dokter sebagai pegawai Rumah Sakit, dalam artian terdapat hubungan antara pemberi kerja dan penerima kerja. Pola hubungan hukum seperti ini disebut sebagai “dokter in” dari rumah sakit. Dokter sebagai pegawai rumah sakit harus tunduk kepada seluruh pengaturan tentang kepada seluruh peraturan tentang ketenagakerjaan.
Hak dan kewajiban yang timbal balik antara pemberi kerja dan penerima kerja, selain diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, juga diatur dalam KUHPerdata. Hubungan ini menempatkan bahwa kedudukan dokter bukan pegawai Rumah Sakit, antara dokter dan rumah sakit terdapat perikatan yang lahir dari perjanjian. Inti dari perjanjian tersebut dokter dapat menggunakan fasilitas rumah sakit pada saat dokter dan pasien terdapat hubungan hukum pelayanan kesehatan. Pola hubungan hukum ini terbentuk hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit berdasarkan perjanjian, seluruhnya diatur dalam peraturan yang ada dalam KUHPerdata.
Dalam hubungan hukum ini, dokter hanya menggunakan fasilitas di rumah sakit, misalnya fasilitas rawat jalan dan/atau fasilitas rawat inap yang dipunyai oleh rumah sakit. Beberapa macam pola yang berkembang dalam kaitannya dengan hubungan kerja antara dokter dan rumah sakit, antara lain: a.) Dokter sebagai karyawan (employee) dimana dokter karyawan rumah sakit datang pada saat jam kerja dan melakukan pelayanan medis pada jam dinasnya untuk dan atas nama rumah sakit dan terikat pada peraturan-peraturan yang terdapat pada rumah sakit. Dokter yang berpraktik di rumah sakit dianggap sebagai “orang yang berada di bawah pengawasan manajemen dan pemilik rumah sakit”.
Sebenarnya anggapan ini benar pada dokter yang bekerja sebagai karyawan rumah sakit, meskipun dokter bukan karyawan biasa, karena dokter memiliki otonomi profesi yang berada di luar kendali rumah sakit. b) Dokter sebagai mitra (attending physician) Hubungan pasien-dokter dimana dokter bekerja sebagai attending physician. Pola ini terjadi jika pasien sudah dalam keadaan berkompeten dan dirawat di rumah sakit yang dokter-dokternya bekerja bukan sebagai employee, tetapi sebagai mitra (attending physician). Pola seperti ini menempatkan dokter dan rumah sakit dalam kedudukan yang sama derajat.
Di sini posisi dokter adalah sebagai pihak yang wajib memberikan prestasi, sedangkan fungsi rumah sakit hanyalah sebagai tempat yang menyediakan fasilitas (penginapan, makan dan minum, perawat/bidan serta sarana medik dan nonmedik). c) Dokter sebagai tamu (independent contractor) Dokter tamu atau independent contractor adalah dokter yang bekerja secara mandiri, bukan untuk dan atas nama rumah sakit, dan dalam melakukan pekerjaannya tidak terikat pada peraturan dan jam dinas rumah sakit, ia bertindak secara bebas dan tidak berada di bawah pengawasan pihak rumah sakit.
Dengan istilah lain, dokter datang ke rumah sakit tersebut apabila ada pasien pribadinya yang dirawat, dan pasien tersebut datang ke rumah sakit atas anjuran dari dokter yang bersangkutan. Dokter mitra kerja ini secara hukum berkedudukan sejajar dengan rumah sakit, bertanggungjawab secara mandiri, bertanggung gugat secara proporsional sesuai dengan ketentuan di rumah sakit, serta terikat dengan suatu perjanjian kerja dengan rumah sakit tersebut. Kedudukan tenaga medis sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Non Aparatur Sipil Negara berimplikasi pada akibat hukum dari hubungan hukum antara tenaga medis dan rumah sakit.
Apabila kedudukan tenaga medis dengan rumah sakit sebagai tenaga kerja yang memiliki status sebagai Aparatur Sipil Negara, maka segala kegiatan dan tindakan yang dilakukannya tunduk dalam Undang-Undang Rumah Sakit. Sedangkan untuk tenaga medis yang statusnya Non Aparatur Sipil Negara, maka ketentuan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berlaku. Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur bahwa, “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.” Dalam pasal tersebut dapat dikorelasikan dalam hubungan rumah sakit dengan tenaga medis Non Aparatur Sipil Negara bahwa rumah sakit sebagai pemberi kerja (pengusaha) dan tenaga medis Non Aparatur Sipil Negara sebagai pekerja yang terikat perjanjian kerja.
Strategi Rumah Sakit
Pengawasan dan Pembinaan hukum Rumah sakit terhadap Tenaga kesehatan yang bekerja di RS Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan melaksanakan fungsi pelayanan publik yang sangat vital bagi kehidupan seseorang. Rumah sakit perlu dibina dan diawasi agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sesuai dengan standart pelayanan yang ditetapkan dengan mengutamakan keselamatan pasien. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit dalam BAB XII, yang terdiri dari 8 pasal yaitu dari pasal 54 sampai pasal 61.
Pembinaan dan Pengawasan diarahkan untuk Pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pelayanan kesehatan, keselamatan Pasien, Peningkatan kemampuan kemandirian rumah sakit. Pada pasal 56 Pemilik rumah sakit dapat membentuk dewan pengawas Rumah Sakit yang tugasnya adalah 1) Menentukan arah kebijakan Rumah Sakit 2) menilai dan menyetujui pelaksanaan rencana anggaran 3) mengawasi kendali mutu dan kendali biaya 4) mengawasi dan menjaga Hak dan kewajiban pasien 5) mengawasi kepatuhan penerapan etika rumah sakit, etika profesi, dan peraturan perundang-undangan.
Sosialisasi rumah Sakit tentang Standart mutu Pelayanan
Standart Mutu pelayanan Kuncinya adalah Kepuasan Pasien.Tiga penilaian indikator pengukuran kepuasaan pasien dalam penilaian health care provided adalah Pasien selalu nyaman di rumah sakit dalam waktu lama, selalu kembali lagi; dan merekomendasikan kepada orang lain . Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan adalah kewajiban health care provider
Rumah Sakit membentuk sarana Bantuan hukun untuk Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan rumah sakit kiranya perlu membentuk sarana bantuan hukum rumah Sakit dengan cara membentuk divisi hukum rumah sakit dengan surat keputusan dan disahkan direktur rumah sakit. Peraturan ini nantinya harus ditaati oleh seluruh karyawan rumah sakit sebagai aturan khusus rumah sakit.
Dukungan Pemerintah Dan pimpinanan faskes (RS) agar menjamin Lingkungan Kerja yang kondusif bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya. Rumah Sakit dituntut agar mampu mengelola kegiatannya, dengan mengutamakan pada tanggung jawab para profesional di bidang kesehatan, khususnya tenaga medis dan tenaga keperawatan dalam menjalankan tugas tugas dan kewenangannya. Tidak selamanya layanan medis yang diberikan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak.
Ada kalanya layanan tersebut terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan malapetaka, seperti cacat, lumpuh, atau bahkan meninggal dunia. Ketentuan tentang rumah sakit bertanggungjawab atas kerugian pasien akibat kelalaian tenaga kesehatan ini, dapat menimbulkan implikasi lebih lanjut bagi pihak rumah sakit, tenaga kesehatan maupun bagi pasien. Rumah sakit perlu mengetahui bentuk kelalaian tenaga kesehatan yang menjadi tanggung jawab rumah sakit dan bentuk kelalaian tenaga kesehatan yang tidak termasuk dalam tanggung jawab rumah sakit.
Dalam pertanggungjawaban, Rumah Sakit bertanggung jawab penuh atas segala kegiatan yang dilakukan baik oleh tenaga medis ataupun paramedis. Beban pertanggungjawaban diberikan kepada kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit yang telah menerima delegasi kewenangan dari pemilik Rumah Sakit untuk melaksanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Pertanggung jawaban yang diterima Rumah Sakit juga dapat berasal karena adanya kelalaian dari tenaga medis. Wujud pertanggungjawaban rumah sakit secara perdata adalah berupa penggantian kerugian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1243 KUH Perdata. Sedangkan pertanggungjawaban secara administrasi yang dibebankan kepada Rumah Sakit dapat berupa surat peringatan dan pencabutan izin pendirian Rumah Sakit
Perlu ada pengaturan khusus mengenai Hubungan hukum Rumah Sakit dan perlindungan hukum dimasukkan dalam peraturan intern RS (hospital by law) sebagai bentuk kewenangan pertangggung jawaban masing-masing baik Rumah Sakit atau tenaga kesehatannnya.
Pengaturan Rumah sakit tentang pembentukan Komite Rumah Sakit seperti Komite Medis, Komite Keperawatan, Komite PPI, Komite PMKP (Peningkatan MUTU dan Keselamatan Pasien) , dan aturan Rumah Sakit lainnya bisa diatur intern Rumah Sakit Yang biasanya disebut Hospital by law .
Mencegah Kasus Tindakan Kekerasan terhadap tenaga kesehatan dalam Praktek pelayanan kesehatan tidak terulang lagi. Adanya Perlindungn hukum terhadap keselamatan tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan
Pencegahan tindakan Kekerasan yang mengancam keamanan dan Keselamatan tenaga Kesehatan, pasien, agar segera diatur dalam aturan khusus rumah sakit. Secara hukum mengikat bagi semua anggota rumah sakit sehingga ada kewenangan, tanggung jawab, larangan, sangsi bagi lingkungan rumah sakit supaya tidak ada kesewenang-wenangan antara kaum yang kuat menindas kaum yang lemah. Sehingga adanya kepastian hukum bagi rumah sakit pemberi pekerja dan tenaga kesehatan penerima kerja menjadi kondusif dalam melakukan praktek pelayanan kesehatan yang bermutu, professional dan berkualitas dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya seperti yang diamanatka dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk mencegah kejadian tidak terulang lagi dilihat dari aspek etika profesi rumah Sakit perlu memasukkan aturan khusus tentang evaluasi terhadap tenaga kesehatan untuk menentukan kelayakan pemberian kewenangan klinis guna menurunkan resiko litigasi (gugatan hukum di pengadilan terhadap rumah Sakit dan tenaga dokter /keperawatan yang bekerja di dalamnya yang biasanya disebut proses evaluasi kredensial. Kredensial ini merupakan elemen kunci untuk menghindari adanya gugatan ke pengadilan yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian atau sengketa antara rumah sakit dengan tenaga dokter, perawat, dan Tenaga kesehatan lainnnya.
Tujuan kredensialing tenaga kesehatan adalah untuk menjamin akuntabilitas tenaga kesehatan dan memastikan bahwa setiap pelyanan kesehatan diberikan oleh tenaga professional yang kompeten agar mutu layanan dan keselamatan pasien rumah sakit lebih terjamin dan terlindungi.
Perlu adanya Regulasi tentang keselamatan Tenaga Kesehatan Dari Pemerintah dan fasilitas kesehatan sehinggga bisa terlindungi saat pelayanan kesehatan. Selama ini kebijakan Perlindungan Hanya tertuju pada sasaran Keselamatan pasien (Patien safety) tetapi perlindungan Keamanan dan keselamatan Petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit belum ada regualsinya sebagai bentuk kepastian hukum bagi tenaga kesehatan sebagai Pekerja.
Parameter
Tanggung jawab hukum Rumah Sakit terhadap tenaga medis atau tenaga kesehatan terdapat beberapa parameter antara lain bahwa tanggung jawab rumah sakit bisa dilihat dari 1) Pola hubungan antara rumah sakit dengan tenaga kesehatan (dokter) bila dokter berfungsi sebagai Employee (sub-ordinate dari Rumah Sakit). disini Rumah Sakit sebagai principle dan dokter sebagai agent.
Bila ada kelalaian dokter atau tenaga kesehatan sehingga merugikan pasien maka yang bertanggung jawab adalah Rumah sakit. sedang2) pola hubungan tenaga kesehatan dengan rumah Sakit adalah bila dokter sebagai mitra (attending physician), disini Rumah sakit tidak bertanggungjawab bila terjadi kelalaian medis. tapi dokternya sendiri yang bertanggungjawab. Untuk 3) pola Rumah sakit sebagai korporasi dapat dituntut pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek bila ada.
Di sini Rumah Sakit memberikan ganti rugi sebagai kompromi dimungkinkan bertanggungjawab itu perbuatran yang dilakukan oleh pegawainya, kuasanya, perlindungan dan pengaturan hukum Rumah sakit dengan tenaga kesehatan bisa dimasukkkan ke dalam aturan khusus rumah sakit dimana bisa memberikan kepastian hukum tenaga kesehatan dalam melaksanakan praktek pelayanan kesehatan.
Pertanggungjawaban Hukum Rumah sakit terhadap keselamatan tenaga kesehatan dalam praktek pelayanan kesehatan agar bisa dibuat regulasi khusus di intern rumah sakit (hospital by law) agar ada kepastian hukum yang dapat melindungi Nakes terhadap tindakan kekerasan atau kasus kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam upaya memberikan perawatan atau pengobatan pasien di Rumah sakit.
Disarankan, hubungan hukum antara tenaga medis dan rumah sakit perlu dipertegas lebih lanjut agar setiap rumah sakit memiliki peraturan secara khusus mengatur mengenai hubungan hukum antara tenaga medis yang bekerja dan rumah sakit. Diharapkan kedepannya dimasukkan klausul hubungan hukum Rumah Sakit dan perlindungan hukum Tenaga Kesehatan dalam setiap peraturan intern rumah sakit (hospital by laws), sehingga masing-masing pihak mengetahui ruang lingkup tanggung jawab dari rumah sakit mengenai hubungan hukum tersebut. Jatengdaily.com-st