in

LPPOM-MUI Tiga Dasawarsa Bangun Gaya Hidup Halal

Oleh Ahmad Rofiq

SELAMAT Milad ke-32 LPPOM MUI. Rabu hari ini, 6/1/2021 Lembaga Pengkajian Obat-obatan, Makanan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) genap berusia 32 tahun. Selama tiga dasawarsa, LPPOM-MUI menapaki jalan terjal dan berliku, kadang “dinyinyirin” sebagian masyarakat, namun sebagian besar masyarakat industri, usaha kecil, mikri, dan menengah (UMKM), dan masyarakat yang memiliki kesadaran halal (halal awareness) berusaha secara sukarela mencarinya.

Dari basis nilai tambah (edit value) ini, sesungguhnya kesadaan masyarakat atas gaya hidup dan budaya halal ini, merupakan tonggak yang sangat kuat, bagi bangunan gaya hidup (lifestyle) dan budaya halal (halal culture). Apakah kesadaran mereka dilandasi oleh kepentingan ketaatan terhadap norma agama, atau karena orientasi ekonomi, tentu ini dibutuhkan data penelitian yang valid dan reliabel. Soal kata hati dan niat tidaklah wilayah LPPOM-MUI akan tetapi jujur harus diakui, kesadaran itu menjadi bermakna, dan mengungkit akan perlunya jaminan produk halal di Indonesia.

Amanat sertifikasi halal secara sukarela (voluntary) LPPOM-MUI selama 30 tahun itulah, yang dalam perjalanan sejarahnya, kemudian memantik angan, inisiasi, dan regulasi oleh pemerintah bersama para wakil rakyat di negeri mayoritas memeluk Islam ini, dan melahirkan UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Lima tahun kemudian baru lahir PP. No. 31/2019 tentang Pelaksanaan UU JPH.

Tema yang diusung dalam peringatan hari ulang tahun LPPOM-MUI ke-32 ini, adalah “Terdepan dalam Solusi Jaminan Halal”. LPPOM-MUI sudah menerima penetapan secara resmi sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor: 177/2019, tertanggal 19 November 2019. Meskipun terlambat, akhirnya LPPOM-MUI yang sudah lahir duluan, karena memang sudah lahir tiga dasa warsa lebih dulu, diakui sebagai LPH, oleh BPJPH yang baru lahir Oktober 2017.

Itulah “khariqul ‘adah”-nya aturan di Indonesia. Tradisi baik (sunnah hasanah) yang sudah berjalan dan dijalankan secara sukarela oleh masyarakat, kemudian di-take over oleh pemerintah. Ini tentu berbeda spiritnya dengan model pemberdayaan masyarakat (society empowerment). Ini berbeda dengan tetangga sebelah.

Alhamdulillah, dalam masa transisi setelah BPJPH resmi mengumumkan sudah melayani sertifikasi halal, sebagai amanat UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, namun pelaksanaan audit halal masih dipercayakan kepada LPPOM-MUI sebagai LPH. Guna menghindari “kekosongan layanan sertifikasi halal”, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan No. 982/2019 tertanggal 12 November 2019. Ini karena pada 17 Oktober 2019 Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) melaunching bahwa sertifikasi halal yang diamanatkan kepada dirinya, mulai berlaku.

LPPOM-MUI sebagai bagian entitas Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentu memposisikan diri memberi contoh kepada masyarakat dan mematuhi UU. Dalam menjalankan tugas, membangun budaya halal di Indonesia, tentu ikut merasa senang dan apresiasi, ketika negara hadir mengampanyekan dan membumikan budaya halal dalam ikhtiar pemulihan ekonomi di Indonesia.

LPPOM-MUI dari awal mengampanyekan Halal is My Life Style dalam melayani sertifikasi halal. Sejak 2012, LPPOM-MUI Jawa Tengah dan Pusat sudah melayani sertifikasi halal secara online (SerOl) jauh sebelum ada pandemic Covid-19. Ini tentu dimaksudkan agar masyarakat terbantu dan bisa mengikuti tahapan proses sertifikasi halal, tanpa harus terjebak oleh “broker” yang sering merugikan industri atau UMKM, bahkan ada oknum yang ketahuan memalsukan sertifikat halal.

Kelahiran UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, memang wewenang MUI terkesan “diamputasi” atau meminjam bahasa Direktur LPPOM-MUI Lukmanul Hakim, Ph.D, “urusan halal MUI jadi ambyar”. Mengapa, karena wewenang MUI hanya tinggal penetapan fatwa halal (halal decree) saja. Jika dalam Pasal 7 huruf c UU No. 33/2014 tentang JPH disebutkan (1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk: a. sertifikasi Auditor Halal; b. penetapan kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH, maka dalam UU Cipta Kerja, wewenang MUI dibatasi hanya (1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam hal penetapan kehalalan Produk, yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.

Pasal 33 UU Cipta Kerja mengatur, “Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH” dan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1(satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan Produk. Apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal. Di sinilah letak soal kehalalan itu “ambyar”. Apalagi jika UMKM itu kemudian melakukan auto-declair oleh mereka sendiri. Na’udzu biLlah.

Bravo LPPOM-MUI, selamat ultah ke-32. Sejarah dan masyarakat yang akan mencatat dengan tinta mas. Jangan pernah lelah dalam berjuang membangun budaya halal, karena halal itu kebutuhan seluruh manusia. Bukan semata-mata umat Islam semata. Semoga tetap “Terdepan dalam Solusi Jaminan Halal”. Allah a’lam bi sh-shawab.

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA, adalah Direktur LPH LPPOM-MUI Jawa Tengah, Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Tengah, Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Anggota Dewan Pakar MES Pusat dan Anggota Dewan Penasehat IAEI Pusat. Jatengdaily.com–st

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Benteng Pendem Ngawi Ditata, 13 Bangunan Direstorasi

Daerah Diminta Aktifkan Lagi Posko COVID-19