Oleh: Ahmad Rofiq
MEDIA cetak, elektronik, dan sosial belakangan ini dibanjiri berita tentang pinjaman online – selanjutnya disebut pinjol – yang cukup meresahkan. Saya sendiri, setiap hari melalui aplikasi short message service (sms) mendapat tawaran pinjaman online dengan berbagai ragam variasi bahasa dan cara agar memanfaatkan pinjol tersebut. Bahkan kadang sehari bisa sampai lima nomor yang mengirim, kadang lebih.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa mereka yang oleh saya – dan mungkin penerima sms tersebut – tidak kenal, mereka bisa mendapatkan nomor handphone/WA kita yang notabene bersifat pribadi dan tidak boleh diakses oleh siapa pun, tanpa izin pemilik no HP/WA tersebut?
Seharusnya, soal nomor HP/WA ini, para provider atau layanan HP/WA bisa merahasiakan nomor tersebut. Apakah mereka secara acak saja, ataukah ada “kerja sama-terselubung” antara provider dengan perusahaan pinjol tersebut? Semoga saja tidak ada Kerja sama tersebut, dan anggap saja kebetulan mereka mengakses dengan cara acak saja.
Apalagi nomor – dan gambar display (DP) saya telah berkali-kali dihack atau dibajak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, tidak kurang dari 10 (sepuluh) kali. Dalam Bahasa resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), istilah pinjol tampaknya tidak digunakan. Yang familier di OJK adalah fintech (financial technology) dan fintech lending.
OJK sebagai regulator dan pengawas, sudah mengeluarkan Peraturan terkait Fintech Lending – yang dalam Bahasa populernya pinjol — tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).
Dalam POJK tersebut, dijelaskan bahwa Fintech adalah sebuah inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi. Produk fintech biasanya berupa suatu sistem yang dibangun guna menjalankan mekanisme transaksi keuangan yang spesifik.
Selanjutnya, Fintech Lending atau disebut juga Fintech Peer-to-Peer Lending (Lending) atau Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) adalah salah satu inovasi pada bidang keuangan dengan pemanfaatan teknologi yang memungkinkan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman melakukan transaksi pinjam meminjam tanpa harus bertemu langsung.
Mekanisme transaksi pinjam meminjam dilakukan melalui sistem yang telah disediakan oleh Penyelenggara Fintech Lending, baik melalui aplikasi maupun laman website.
Isi POJK tersebut meliputi: Ketentuan Umum, Penyelenggaraan, Pengguna Jasa LPMUBTI, Perjanjian, Mitigasi Risiko, Tata Kelola Sistem TI, Edukasi dan Perlindungan Pengguna LPMUBTI, Tanda Tangan Elektronik, Prinsip dan Teknis Pengenalan Nasabah, Larangan, Laporan Berkala, Sanksi, Ketentuan Lain, Ketentuan Peralihan, Ketentuan Penutup.
Persoalannya adalah, bagaimana realitas lapangan. OJK sendiri sudah mewaspadai, mengantisipasi, dan mengambil langkah kongkrit untuk menutup pinjol illegal. Hasil koordinasi OJK dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) dan Satgas Waspada Investasi (SWI), awal 2018 hingga September 2019 sudah ditemukan 1350 fintech illegal yang telah diblokir oleh SWI.
Data per-8/9/2021, jumlah pinjol resmi tinggal 107 penyelenggara. Angka ini berkurang 7 usaha dari pengumuman 25 Agustus 2021. Yang nggegirisi dan sangat fantastic dan “mencemaskan”, rilis laman finansial.bisnis.com (24/10/2021) menyebutkan bahwa penyaluran pinjol menurut Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mencatat jumlah pinjaman yang disalurkan sudah mencapai Rp249 triliun per-Agustus 2021.
Satgas Waspada Investasi ada beberapa ciri-ciri pinjol ilegal. Berikut ciri-cirinya seperti dikutip Rabu (14/7/2021):
1). Menawarkan pinjaman melalui saluran komunikasi pribadi, baik SMS ataupun pesan instan pribadi lainnya tanpa persetujuan konsumen;
2). Tidak memiliki izin resmi;
3). Tidak ada identitas dan alamat kantor yang jelas;
4). Pemberian pinjaman sangat mudah;
5). Informasi bunga dan denda tidak jelas;
6). Bunga tidak terbatas;
7). Denda tidak terbatas;
8). Penagihan tidak batas waktu;
9). Akses ke seluruh data yang ada di ponsel;
10). Ancaman teror kekerasan, penghinaan, pencemaran nama baik, menyebarkan foto/video pribadi; dan
11). Tidak ada layanan pengaduan (https://www.cnbcindonesia.com).
Tulisan ini tidak berbicara dari hukum agama, apakah fintech atau pinjol itu boleh? Tetapi lebih ingin mengingatkan kepada saudara dan sedulur semua, waspadalah pada pinjol fintech illegal.
Masih banyak lembaga keuangan Syariah atau perbankan Syariah yang kantor dan aturannya jelas. Kebutuhan setiap orang/keluarga, tentu berbeda-beda.
Dalam situasi mendadak dan sangat membutuhkan, boleh jadi fintech pinjol ini menjanjikan kemudahan, tetapi ingat dan bijaklah berhubungan dan memilih fintech yang legal dan berijin dari OJK.
Sedikit bersabar dalam memilih pinjaman untuk mengatasi kebutuhan darurat, dengan memilih Lembaga keuangan yang legal dan berijin, tentu peluang lebih selamat katimbang kepada pinjol illegal. Semoga saudara dan sedulurku diberi kemudahan rezeki, sehingga urusan dengan pinjol bisa segera diselesaikan dengan baik. Allah a’lam bi sh-shawab.
Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Dewan Pengawas Syariah BPRS Bina Finansia (2006-sekarang), Koordinator Wilayah Indonesia Tengah MES Pusat, Anggota Dewan Penasehat IAEI Pusat, Ketua II YPKPI Masjid Raya Baiturrahman Semarang, Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Guru Besar Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Ketua Bidang Pendidikan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Jatengdaily.com-st