in ,

Mereka-reka UMP Jateng Pasca-penetapan UU Cipta Kerja

Oleh : Tri Karjono
ASN BPS Provinsi Jawa Tengah

PENETAPAN UU Cipta Kerja yang telah dilakukan beberapa hari yang lalu masih tetap menarik untuk dibicarakan. Seperti diketahui, DPR secara resmi mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Pemerintah dan DPR tetap bergeming walau selama pembahasan sejak 20 April 2020 mendapat resistensi dari beberapa pihak terutama para buruh yang merasa akan terdampak langsung dengan beberapa pasal yang ada pada undang-undang baru ini.

Sampai paska ditetapkannyapun masih menyisakan beberapa permasalahan yang belum tuntas, hingga beberapa hari ini sebagian buruh turun ke jalan untuk menolaknya. Salah satunya adalah formula penetapan upah minimum. Skema penetapan upah minimum baru pada undang-undang ini dipandang menjadi salah satu dari beberapa bagian isi undang-undang yang diyakini oleh buruh merugikan tersebut. Namun di sisi yang lain pengaturan upah minimum yang baru diyakini oleh DPR dan Pemerintah akan lebih mampu mendorong meningkatnya investasi. Sehingga tujuan penciptaan dan memperluas lapangan kerja ketika negara dihadapkan pada bonus demografi saat ini yang menjadi roh undang-undang ini akan tercapai.

Upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang pada awal pembahasan disinyalir akan hilang, dan yang ada hanya upah minimum provinsi (UMP), ternyata masih ada pada UU Cipta Kerja ini. Sementara upah minimum sektoral tidak lagi terlihat. Namun demikian terdapat klausul bahwa upah sektoral yang selama ini telah berada di atas upah minimum tidak boleh diturunkan.

Sengaja atau tidak, undang-undang ini disahkan berdekatan waktunya menjelang penetapan upah minimum provinsi (UMP) yang biasanya ditetapkan oleh Gubernur pada tanggal 1 November dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang ditetapkan setelah penetapan UMP dan paling lambat tanggal 21 November setelah mendapat masukan dari dewan pengupahan kabupaten/kota dan Bupati/Walikota. Selanjutnya upah minimum ini harus dipatuhi oleh perusahaan mulai awal tahun berikutnya dan tak ada alasanlagi bagi perusahaan untuk tidak melaksanakannya.

Seperti diketahui bahwa Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ) mengharapkan tahun depan (yang ditetapkan tahun ini) UMK naik sebesar minimal 8 persen. Ini dinilai logis dengan asumsi kenaikan sebesar tersebut setara dengan rata-rata kenaikan selama tiga tahun terakhir. Kenaikan ini juga di didasari keyakinan dan harapan akan mampu menaikkan daya beli masyarakat dan menggerakkan ekonomi yang hingga saat ini masih rendah. Salah satu indikasinya adalah inflasi beberapa bulan terakhir yang menunjukkan situasi sangat lemah. Namun jelas kenaikan sebesar tersebut mendapat tantangan dari pengusaha yang memandangnya tidak realistis pada situasi saat ini, karena akibat pandemi ini sebagian besar pengusaha merasa mengalami kesulitan usaha.

Pada awalnya upah minimum diformulasikan guna menjaga atau menjadi safety net bagi buruh agar mendapat upah yang mampu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya secara layak melalui penetapan upah minimum bagi pekerja lajang kurang dari satu tahun. Dalam Permenakertrans nomor 13 tahun 2012, UMK dihitung berdasar hasil survei setiap bulan terhadap 60 jenis komoditas yang dibagi kedalam 7 kelompok barang. Saat itu peraturan ini menjadi polemik ketika jenis komoditas tidak ditemui kesepakatan oleh antar pihak. Disamping itu 60 jenis komoditas dianggap terlalu banyak di satu pihak atau bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan hidup secara layak di pihak lain. (Pengalaman ketika penulis menjadi ketua tim survei KHL salah satu Kota di Jawa Tengah).

Akibatnya peraturan tersebut direvisi melalui Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, dimana upah minimum tahun berikutnya ditetapkan sebesar jumlah persentase laju inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi nasional (PDB). Sebagai contoh tahun lalu inflasi year on year September sebesar 3,39 persen dan PDB nasional kuartal II sebesar 5,12 persen, maka kenaikan upah minimum tahun 2020 seperti Semarang contohnya adalah sebesar 8,51 persen menjadi Rp. 2.715.000,00.

Penghitungan yang lebih sederhana inipun tak menyelesaikan pro kontra ketika pada saatnya tidak mampu memuaskan kedua belah pihak. Ini disebabkan di antaranya karena dengan formula ini maka ketika daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi lebih tinggi dibanding PDB dan inflasi Nasional, realnya akan mengalami kenaikan yang lebih lebih rendah. Demikian pula UMK seluruh daerah akan bergerak dengan kenaikan yang sama sehingga upah minimum yang rendah pada awal pertama PP ini diberlakukan maka berikutnya dan akan selamanya rendah begitu pula sebaliknya dibanding daerah lain.

Formula Baru
Formula baru sepertinya akan terjadi dengan peraturan pemerintah yang yang akan diterbitkan jika mengacu dari bunyi pasal perihal upah minimum pada UU Cipta Kerja ini. Pada pasal 88C dijelaskan bahwa upah minimum baik UMP maupun UMK harus memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi kabupaten/kota yang bersangkutan. Jadi bukan lagi berdasar pada inflasi dan PDB Nasional. Jika dua indikator ini diberlakukan pada formula PP 78/2015 maka akan lebih realistis. Hanya saja sampai dengan saat ini tidak seluruh kabupaten/kota menghitung inflasi wilayahnya. Tercatat dari 514 kabupaten/kota di Indonesia hanya 90 kota yang menghitung inflasi, 6 di antaranya di Jawa Tengah yaitu Kota Semarang, Surakarta, Kota Tegal, Purwokerto, Kudus dan Cilacap.

Demikian halnya PDRB Kabupaten/Kota yang hanya menghitung sekali dalam setahun dan ini baru diketahui besarannya pada pertengahan tahun berikutnya. Akankah yang digunakan adalah pertumbuhan sebelum tahun penetapan, sementara upah baru akan diberlakukan setelah tahun penetapan. Di sini akan ada lag yang terlalu lama. Paling mungkin adalah menggunakan angka PDRB provinsi dan angka inflasi provinsi atau inflasi kabupaten/kota bagi yang menghitungnya. Namun pada pasal tersebut jelas-jelas menyebutkan pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan inflasi ‘kabupaten/kota’, dan tidak menyebut kata ‘provinsi’.

Di luar ketentuan di atas, satu lagi perbedaan di mana pada Pasal 88D ayat 2 disebutkan bahwa formula perhitungan upah minimum memuat variabel pertumbuhan ekonomi ATAU inflasi. Di sini terdapat perbedaan yang cukup jelas, jika pada PP 78/2015 kenaikan upah minimum merupakan gabungan atau penjumlahan dari pertumbuhan ekonomi (PDB) dan inflasi, tetapi pada pasal tersebut jelas mengatakan ‘ATAU’ bukan ‘DAN’, artinya hanya salah satu dari keduanya yang digunakan. Sepertinya ini sengaja digunakan untuk menciptakan daya saing upah pekerja dengan negara lain dalam menarik investasi.

Simulasi UMP Jawa Tengah
Sebagai ilustrasi seberapa besar perbedaan upah minimum Provinsi Jawa Tengah tahun depan jika menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan inflasi Jawa Tengah tahun kalender 2019 ketika menggunakan kata ‘dan’ (PP 78/2015) dengan kata ‘atau’ (UU Cipta Kerja). Diketahui bahwa PDRB Jawa Tengah tahun 2019 sebesar 5,41 persen dan inflasi kalender sebesar 2,81 persen. Maka dengan menggunakan formula ‘dan’ akan mengalami kenaikan sebesar 8,22 persen menjadi Rp 1.885.208,87 atau naik sekitar Rp. 143.000,00. Tetapi jika menggunakan formula ‘atau’, sebagai contoh ambil yang lebih tinggi saja yaitu pertumbuhan ekonomi yaitu 5,41 persen maka hanya akan naik menjadi Rp. 1.836.258,24 atau lebih rendah sekitar Rp. 49.000,-. Apalagi jika yang dipilih adalah laju inflasi, maka akan lebih rendah lagi.

Biasanya pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi yang digunakan adalah angka year on year pada tahun berjalan. Seperti halnya untuk penetapan upah minimum bulan depan maka akan menggunakan pertumbuhan ekonomi year on year sampai dengan kuartal II/2020 dan inflasi year on year bulan September 2020. Diketahui bahwa ekonomi tahun ini yang diyakini oleh pemerintah akan terjadi resesi, pertumbuhan ekonomi sampai dengan kuartal II Jawa Tengah tercatat sebesar minus 5,95 persen sedangkan inflasi year on year September 2020 hanya sebesar 1,46 persen.

Maka baik dengan formula ‘dan’ maupun ‘atau’ dengan memilih pertumbuhan ekonomi maka UMP justru akan mengalami penurunan. Walau dalam beberapa kesempatan Menakertrans mengatakan jika terjadi perhitungan minus akan menggunakan kebijakan upah tahun berikutnya diberlakukan sama dengan tahun sebelumnya. Dan jika formula atau menggunakan variabel inflasi maka hanya akan naik sebesar 1,46 persen atau menjadi Rp. 1.767.448,64 saja.

Sepertinya memilih formula manapun dan diberlakukan kapanpun dari pilihan di atas tidak menjadi lebih lebih baik. Apalagi diberlakukan tahun ini. Dengan upah yang sama dengan tahun inipun akan menjadi sesuatu yang berat bagi pengusaha dan kurang memenuhi tuntutan buruh, karena jelas situasi ekonomi tahun ini sangat tidak berpihak kepada siapapun. Jika naik berapapun, bagi sebagian buruh sejatinya yang diterima secara riil tidak lebih dari sejumlah persentase kenaikan, yaitu bagi pekerja dengan upah di bawah Rp 5 juta yang tahun ini mendapat bantuan tambahan upah sebesar Rp 600 ribu jika dihentikan tahun depan.

Akhirnya sampai kapanpun dan dengan formula apapun sepertinya pro kontra selalu akan terjadi. Kecuali jika ketika semua kembali kepada hati nurani dan keterbukaan serta niat baik masing-masing pihak. Bahwa keterbukaan dan rasa saling membutuhkan itu penting. Dengan begitu maka akan timbul saling memahami dan merasa berkewajiban untuk saling memberi. Ketika sudah tercipta rasa saling memberi maka akan saling menerima dalam kondisi dan situasi apapun. Jatengdaily.com-yds

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Jalur Rel Ganda Selatan Sepanjang 550 Km Dioperasikan

Mahasiswa UIN Walisongo Laksanakan KKN Misi Khusus Internasional