in ,

Penerimaan Mahasiswa Baru dan Perilaku Antikorupsi Masyarakat

Oleh : Tri Karjono
Statistisi Ahli BPS Provinsi Jawa Tengah

MASIH lekat dalam ingatan kita operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK beberapa waktu yang lalu. Di mana Rektor, Wakil Rektor I dan Ketua Senat sebuah perguruan tinggi negeri pada akhirnya dijadikan tersangka dengan dugaan menerima suap dalam proses penerimaan mahasiswa baru.

Ini mengingatkan penulis ketika bersama beberapa rekan kerja menempuh perjalanan Semarang-Demak yang sudah dapat dipastikan terjebak dalam kemacetan yang cukup panjang. Berbicara berbagai topik menjadi sedikit pengalih perhatian akan situasi perjalanan. Hingga pada suatu ketika sang pemegang kemudi memulai topik baru terkait aktivitas yang dilakukannya beberapa waktu sebelumnya.

Ia antar tetangganya untuk menemani mendaftarkan anaknya ke fakultas kedokteran sebuah perguruan tinggi. Kebetulan jalur prestasi dan seleksi nasional tidak berhasil dilaluinya. Alhasil jalur mandiri menjadi jalan terakhir untuk berharap bisa kuliah pada fakultas yang diinginkan, jika tidak ingin harus menahan diri paling tidak satu tahun kemudian untuk kembali mengadu diri melalui seleksi nasional.

Bersedia Lebih
Untuk bisa berkompetisi pada jalur tersebut biasanya lolos passing grade menjadi salah satu syarat pertama yang harus dipenuhi. Dan yang jelas di luar itu adalah biaya. Sudah menjadi rahasia umum menjadi tidak sedikit biaya masuk yang harus disediakan untuk kemudian dikeluarkan ketika memilih atau terpaksa memilih pada jalur tersebut.

Pihak perguruan tinggi sendiri telah pasang tarif tertentu untuk biaya sumbangan pengembangan institusi (SPI) pada syarat pendaftarannya. SPI bisa mencapai Rp 50 juta untuk fakultas umum, bahkan khusus fakultas favorit seperti kedokteran misalnya bisa mencapai Rp 250 juta. Tentunya besaran ini hasil perhitungan dari biaya operasional yang harus dibutuhkan perguruan tinggi tersebut selama proses belajar mengajar secara keseluruhan dan pada masing-masing fakultas.

Bisa jauh lebih dari itu untuk perguruan tinggi swasta. Pada biaya UKT (uang kuliah tunggal) yang harus dibayarkan setiap semesterpun bervariasi hingga 10 jutaan dan bisa mencapai dua kali lipatnya untuk fakultas favorit.

Namun pada kenyataannya tidak banyak atau bahkan tidak ada yang mengisi sejumlah minimal yang disyaratkan tersebut pada formulir kesediaan memberikan sumbangannya. Bukan mengisi lebih rendah karena ketidakmampuannya, namun yang terjadi adalah sebaliknya, bersedia untuk memberi sumbangan ke institusi/kampus jauh di atas dari angka tersebut.

Bahkan ada orang tua yang sanggup untuk memberi sumbangan hingga sebesar Rp 1 miliar jika anaknya diterima pada fakultas kedokteran di salah satu perguruan tinggi swasta, hampir tiga kali lipat dari yang disyaratkan. Sepertinya isian kesanggupan membayar ini menjadi ajang lomba tinggi-tinggian sumbangan diantara orang tua yang berkeinginan anaknya kuliah.

Lepas apakah semakin tinggi sumbangan ini pada akhirnya oleh pihak kampus akan menjadi dasar pertimbangan untuk diterima atau tidak, karena tak terjelaskan secara eksplisit, tetapi yang jelas semakin tinggi kesanggupan ini oleh pihak orang tua hanya satu tujuan yang diharapkan yaitu akan memberi keyakinan semakin besar peluang untuk dapat diterima. Minimal yakin bahwa ketika passing grade dengan peserta yang lain sama, ini menjadi faktor penentu.

Untuk sebagian orang, kesediaan untuk memberi sumbangan lebih tidak menjadi soal, tetapi tidak jarang itu dilakukan karena keterpaksaan akibat kekhawatiran dan persepsi “jangan-jangan” dan “siapa tahu”. “Jangan-jangan” anaknya tidak diterima karena SPI yang kurang atau “siapa tahu” dengan mengisi lebih maka peluang untuk diterima semakin besar.

Di Mana Salahnya
Sebenarnya tak ada yang salah dalam proses penerimaan sebuah perguruan tinggi untuk menggunakan jalur mandiri maupun menetapkan sejumlah nominal tertentu dalam syarat penerimaan mahasiswa barunya. Karena ketika sebuah PTN telah menjadi badan layanan umum dalam bentuk PTNBH maka tata kelola dan pengambilan keputusan dilakukan secara mandiri, hampir tidak berbeda dengan swasta (Pasal 65 UU No, 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi). Disebutkan pula dalam pasal 73 ayat 1, di samping penerimaan secara nasional yang diselenggarakan oleh kementerian, penerimaan mahasiswa baru dapat dilakukan dengan pola bentuk lain, sehingga menteri pendidikanpun saat ini tak kuasa menindaklanjuti wacana penghapusan jalur mandiri pada Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB-PTN).

Sementara dalam pasal 84 ketika dan pastinya sumber APBN tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh operasional maka dapat menerima sumbangan dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Maka dari ketiga pasal tersebut menjadi tidak salah ketika perguruan tinggi menentukan tarif tertentu yang salah satunya dari proses penerimaan mahasiswa baru untuk menutup biaya operasionalnya. Apalagi PTS yang sumbangan operasionalnya jelas lebih tinggi dibanding PTN. Pun demikian ketika orangtua bersedia untuk memberi sumbangan kepada institusi perguruan tinggi, apakah sesuai yang disyaratkan, sedikit lebih tinggi atau jauh lebih tinggi.

Namun akan menjadi sebuah hal yang tidak wajar ketika sedikit lebih tinggi atau jauh lebih tinggi tersebut menjadi sebuah harapan bahkan menjadi yang seharusnya dilakukan. Sebuah harapan mahasiswa/orang tua yang seharusnya dilakukan penyelenggara untuk memberi peluang lebih besar lolos ketika bersedia memberi lebih tinggi. Dan harapan oleh penyelenggara yang seharusnya itu dilakukan oleh mahasiswa/orang tua wali agar pendapatan perguruan tinggi atau bahkan oknum penyelenggara lebih banyak.

Karena bagaimanapun misi perguruan tinggi yang merupakan badan usaha nirlaba harus diselenggarakan dengan prinsip terjangkau oleh masyarakat dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial (pasal 65 (4) dan 73 (5)). Apalagi dalam pasal 88 disebutkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Hal inilah yang didakwakan pada kasus awal artikel ini terjadi. Dimana kata harapan dan seharusnya menjadi prinsip kedua belah pihak yang selanjutnya bertemu menjadi kesepakatan yang akhirnya masuk pada ranah definisi korupsi. Sayangnya hal tersebut semakin menjadi anggapan yang wajar pada masyarakat kita. Bukan hanya pada institusi pendidikan tinggi, namun hal yang sama bisa jadi terjadi pada pendidikan yang lebih rendah.

Indeks Persepsi Anti Korupsi
OTT di atas nadanya menjadi tindak lanjut dari rilis indeks persepsi korupsi BPS dua minggu sebelumnya. Hasil survei BPS menyebutkan bahwa secara umum persepsi antikorupsi masyarakat semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2020 indeks ini tercatat sebesar 3,84 pada skala 0 sampai 5, meningkat menjadi 3,88 pada tahun 2021.

Kembali meningkat menjadi 3,93 pada tahun 2022 ini. Artinya masyarakat secara umum berperilaku semakin anti korupsi. Namun dari tahun ke tahun pula menunjukkan bahwa pencapaian tersebut seluruhnya masih dibawah target RPJMN yang dicanangkan pemerintah. Artinya masih ada PR besar, disamping harus terus berusaha meningkatkan juga bagaimana caranya target yang telah dicanangkan tercapai.

Menjadi tugas pemerintah dan KPK untuk mengejar target tersebut yang walaupun secara progres meningkat tetapi ketidakmampuan memenuhi target merupakan sesuatu capaian yang kurang menggembirakan. Oleh karenanya dimensi, sub dimensi hingga kebiasaan/perilaku anti korupsi serta pengalaman masyarakat mana yang menyebabkan belum tercapainya terget itu terjadi segera harus dibenahi.

Dari kondisi perilaku masyarakat anti korupsi yang secara umum semakin besar, pada kenyataannya masih ada persepsi masyarakat yang justru semakin permisif terhadap perilaku korupsi. Ini menjadi penghambat bagi nilai IPAK mendekati atau mencapai terget RPJMN. Persepsi tersebut adalah menganggap semakin wajar ketika guru/dosen membantu mendapat jaminan diterima masuk kampus tempat dia mengajar dan ketika orang tua/wali memberikan uang/barang/fasilitas kepada pihak sekolah/kampus untuk hal yang sama. Untuk sikap yang pertama meningkat dari 27,23 persen di tahun 2021 menjadi 27,74 persen. Sementara untuk sikap yang kedua naik cukup tinggi dari 8,44 persen menjadi 13,37 persen.

Dari sisi pengalaman yang pernah dialami oleh masyarakat, semakin menegaskan bahwa proses penerimaan mahasiswa baru diluar ketentuan masih ada dan semakin tinggi intensitasnya. Dimana semakin banyak masyarakat yang pernah ditawari bantuan/jaminan diterima oleh saudara/teman agar anggota keluarga/kerabat lolos seleksi penerimaan murid/mahasiswa baru yang meningkat dari 0,65 (2021) menjadi 0,90 (2022).

Kerja Keras
Kesadaran masyarakat terhadap perilaku antikorupsi tidak lepas dari adanya sosialisasi antikorupsi oleh pemerintah dan pengetahuan masyarakat sendiri terhadap antikorupsi. Ironisnya justru tahun 2022 ini persentase masyarakat yang pernah mendapatkan imbauan/kampanye mengenai informasi antikorupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung justru menurun dari 65,52 persen menjadi 61,16 persen (2022).

Tidak mudah menghilangkan kebiasaan oleh situasi yang saling menguntungkan antar pihak. Oleh karenanya ini menjadi tugas berat pemerintah dalam hal ini KPK untuk bisa memberi pemahaman terhadap siapapun melalui sosialisasi yang lebih masiv. Termasuk pula kepada para pihak yang rentan masuk ke dalam perilaku koruptif. Jangan-jangan korupsi yang dia lakukan akibat kekurangpahamannya karena sosialisasi yang kurang.

Akuntabilitas tata kelola keuangan pada institusi pendidikan tinggi juga diharapkan dapat transparan. Bahkan ke internal sekalipun. Jangan sampai ada pihak internal justru ada yang berkata tidak tahu kemana saja SPI atau UKT yang masuk ke institusinya dialokasikan. Audit eksternal perlu dilakukan untuk memastikan pengelolaannya dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Akan lebih baik pula jika itu diumumkan ke publik, karena bagaimanapun pendidikan tinggi merupakan badan layanan umum (BLU) yang ada dana publik terlibat didalamnya. Jatengdaily.com-yds

Written by Jatengdaily.com

Tim Pengabdian Masyarakat FSM Undip Panen Ikan di Karimunjawa Hasil Budidaya Polikultur

Sopir Ngantuk Tabrak Truk, Tujuh Tewas di Tol Semarang – Batang