JEPARA (Jatengdaily.com) – Kabupaten Jepara mempunyai dua tradisi budaya yang masih diuri-uri hingga sekarang. Kedua tradisi tersebut adalah Perang Obor dan Jembul Tulakan.
Prosesi tradisi budaya di Jepara ini juga menjadi yang dinantikan masyarakat. Termasuk perhelatan tahun ini yang kembali digelar dan mendapat sambutan antusias masyarakat. Selain pelestarian budaya, tradisi tersebut sekaligus menggerakkan perekonomian masyarakat setempat.
Tradisi Perang Obor digelar di Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan Jepara. Ini menjadi pemuncak dari kegiatan Sedekah Bumi di Desa Tegalsambi. Diawali prosesi upacara adat, kirab pusaka di Tegalsambi.
Dilansir laman resmi Pemkab Jepara, menurut petinggi Tegalsambi Agus Santoso perang obor merupakan tradisi turun temurun yang dilaksanakan tiap Senin Pahing malam Selasa Pon di bulan Besar atau Dzulhijjah, bertepatan dengan sedekah bumi desanya. Ini juga menjadi bentuk rasa syukur warga setempat.
Perang obor bermula dari legenda Ki Gemblong yang dipercaya oleh Kyai Babadan untuk merawat dan menggembalakan ternaknya. Namun karena terlena dengan ikan dan udang di sungai, ternak tersebut terlupakan sehingga sakit atau mati.
Kyai Babadan yang tidak terima dengan kelalaian Ki Gemblong, memukul Ki Gemblong dengan obor dari pelapah kelapa. Akibatnya ia menggunakan obor serupa untuk membela diri. Tanpa diduga, benturan kedua obor menyebarkan api di tumpukan jerami di sebelah kandang. Ternak yang awalnya sakit tiba-tiba menjadi sembuh.
Jembul Tulakan
Sedangkan proses Jembul Tulakan digelar di Desa Tulakan,Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara pada Senin (20/6/2022). Tradisi ini juga turun temurun namun juga sempat terhenti karena pandemi COVID-19.
Jembul Tulakan ini mirip dengan Perang Obor yakni pemuncak dari Sedekah BUmi di Desa Donorojo. Dalam sedekah bumi dikirab gunungan yang disebut warga setempat ancak berisi nasi, jenang, tape pisang, gemblong dan makanan tradisional lainnya.
Jembul ini mempunyai ciri khas berupa golek kayu atau patung yang diletakkan dipuncak gunungan. Golek ini menggambarkan seorang tokoh bernama Sayyid Usman, seorang ulama yang ikut menyertai Ratu Kalinyamat bertapa di Siti Wangi.
Mengutip laman jepara.go.id, tradisi Jembul Tulakan tak lepas dari kehidupan Ratu Kalinyamat, perempuan penguasa Jepara. Setelah Sultan Hadirin, terbunuh oleh Arya Penangsang, Ratu Kalinyamat membuat sumpah dengan bertapa wuda. Dalam hal ini, tapa wuda atau telanjang tidak dimaknai telanjang dalam arti sebenarnya. Melainkan, Sang Ratu menjauhi sifat keduniawian dan kemewahan di Istana.
Perkembangannya Jembul Tulakan dijadikan sarana Sedekah Bumi yang merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan dan karuniah terhadap wilayah dan masyarakat Desa Tulakan.
Jembul Tulakan telah mendapatkan sertifikat sebagai warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Pesta Lomban dan Obor-obor Tegalsambi.
Camat Donorojo Setyo Adhi Widodo mewakili Pj. Bupati Jepara menyampikan, agar acara budaya seperti ini dapat dikembangkan dan dilestarikan sehingga anak cucu nantinya masih dapat mengenal tradisi seperti ini. yds