Oleh Mohammad Agung Ridlo
Kevin Lynch seorang pakar perencana kota dalam bukunya “Good City Form”, isinya banyak mempengaruhi para pakar perencana kota saat ini. Beliau melihat kota diibaratkan dengan melihat suatu “diorama” yang terpampang dalam musium sejarah, didalamnya tampak rentetan peristiwa yang digambarkan mampu merefleksikan kesan-kesan tertentu. Dengan kata lain kota bisa dilihat dari hubungan “diorama kota” dengan sejarah masa lalunya. Penyebaran lokasi permukiman penduduk dan kualitas artefaknya yang berupa gugusan kelompok permukiman, merupakan cerminan dari klas-klas sosial masyarakat yang menghuninya. Klas-klas sosial masyarakat dapat dilihat dari lingkungan huniannya beserta fasilitas penunjang yang dibuatnya.
Pada waktu itu penguasa kota yang nota bene raja begitu getol-getolnya membangun citra pribadinya dengan menggunakan seluruh kekuasaannya yang nyaris tanpa batas. Saat itu perencana kota lebih banyak diartikan sebagai perencana fisik (J.C.S. Neider, 1979). Pembangunan Plaza (alun-alun), Shopping Mall, Boulevard (jalan-jalan), Palace (istana), garden (taman) dan aspek keindahan lainnya lebih ditonjolkan oleh para perencana kota, tanpa dikaitkan dengan aspek-aspek lain seperti aspek sosial dan ekonomi.
Dalam kurun waktu itulah para perencana kota ditugasi untuk menerjemahkan gagasan, impian dan obsesi penguasa dalam usaha mewujudkan jati dirinya yang dituangkan dalam bentuk kota. Penataan kota diukur oleh rasa kepuasan dan pertimbangan dalam skala monumental para “urban manager”. Luasnya plaza, nyamannya shopping mall, luasnya boulevard, megahnya istana, teduhnya garden tidak diukur untuk kepentingan semua pihak. Golongan “the have” tampaknya akan sangat senang dengan semua itu, tapi apakah hal itu bisa dirasakan oleh golongan “have nots” yang proporsinya lebih banyak ?.
Sebagai contoh, pusat Kota Semarang dulu yaitu Pasar Johar dan sekitarnya (yaik dan lapangan depan mesjid kauman). Kemudian pada tahun 1965 oleh Presiden Sukarno diarahkan untuk membuat alun-alun ke arah Selatan ke kaki bukit Candi (ya simpang lima saat ini). Konon ide dan gagasan pembentukan pusat pertumbuhan baru di kawasan simpang lima adalah sebagai kawasan yang bernuansa religius, budaya dan pendidikan serta sedikit sekali penunjang bangunan bisinis, dengan harapan akan berkembang “aktivitas pluralis”.
Namun dalam perjalanan waktu dan perubahan “urban manager” telah terjadi perubahan peruntukan dan fungsi. Gedung Olah Raga (GOR) pada tahun 1993 berubah menjadi Citraland Mall, Open Space (lapangan bermain) berubah menjadi Simpang lima plaza (1988), Wisma Pancasila berubah menjadi Matahari & hotel Horison, Biaskop Gajahmada (1980) berubah menjadi Ramayana (2003), STM Pembangunan (1980) sekarang namanya SMK 7 akan di ruilslag ?. Studi RTBL Kawasan Simpang Lima Kota Semarang sudah digulirkan. Akan seperti apakah simpang lima kedepan ? aktivitas apakah sajakah yang akan diwadahi oleh simpang lima? dan akan mengakomodir siapa sajakah simpang lima?
Simpang lima dan sekitarnya adalah ruang publik, dan mestinya menjadi ruang publik. Ruang publik mengandaikan “demokrasi pluralis”, diharapkan orang menikmati keberadaan bersama orang lain yang berbeda-beda. Peruntukan ruang “kemajemukan”. Namun yang menjadi persoalan adalah: seberapa jauh perbedaan yang ada bisa diterima pada ruang publik tersebut ? kemudian seberapa besar toleransi akan diberikan untuk kenikmatan kebersamaan yang pluralis? Dengan kata lain jangan-jangan yang berada di “Mall dan yang akan linkage dengan Mall yang lain” hanya kolektivitas sosial tertentu ? kalau begitu adanya berarti Mall adalah ruang publik yang introvert, artinya telah terjadi pemiskinan makna ruang, yang mestinya adalah makna kebersamaan.
Jika makna ruang yang terjadi seperti itu, maka pembangunan kawasan simpang lima yang antar bangunannya linkage, dengan investasi dana dan tenaga yang tentunya tidak sedikit, akan menjadi proyek untuk “para dewa”. Apakah jika Walikota atau urban manager mengatakan kun fayakun atau jadi maka jadilah?. Apa yang akan kita lihat lagi besok di simpang lima Kota Semarang ?. Kita lihat saja nanti!
Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, MT, Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (PLANOLOGI) – Fakultas Teknik – UNISSULA. Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah. Ketua Bidang Teknologi Tradisional Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Provinsi Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st