Oleh Gunoto Saparie
Mengapakah masih ada bupati dan walikota di Jawa Tengah yang belum menandatangani penetapan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) di wilayahnya? Pertanyaan ini wajar mencuat ke permukaan, karena sampai sekarang ternyata masih ada pemerintah kabupaten/kota yang mengalami kendala dalam penyusunan PPKD. Lalu, apakah yang terjadi sesungguhnya?
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disebutkan bahwa PPKD adalah dokumen yang memuat kondisi faktual dan permasalahan yang dihadapi daerah dalam pemajuan kebudayaan beserta usulan penyelesaiannya. Keberadaan PPKD sangat penting dalam upaya merumuskan strategi pemajuan kebudayaan yang berasal dari seluruh wilayah di Indonesia. Seluruh dokumen PPKD kabupaten/kota akan dikonsolidasikan menjadi dokumen PPKD provinsi. Dokumen PPKD provinsi ditetapkan oleh gubernur.
PPKD berisi inventarisasi objek pemajuan kebudayaan. Sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, ada 10 objek pemajuan kebudayaan, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Oleh karena itu, PPKD memuat identifikasi keadaan terkini dari perkembangan objek pemajuan kebudayaan di kabupaten/kota.
Selain itu mencantumkan identifikasi sumber daya manusia kebudayaan, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan di kabupaten/kota.
Identifikasi sarana dan prasarana kebudayaan di kabupaten/kota pun harus disebutkan. Demikian pula identifikasi potensi masalah pemajuan kebudayaan. Harus ada pula analisis dan rekomendasi untuk implementasi pemajuan kebudayaan di kabupaten/kota.
Penyusunan PPKD kabupaten/kota dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat melalui para ahli yang memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam objek pemajuan kebudayaan di kabupaten/kota.
Kendala Penyusunan PPKD
Kendala atau terhambatnya penyusunan dokumen pedoman pemajuan kebudayaan berupa PPKD ini tentu saja masalah bagi upaya pemajuan kebudayaan. Sejak penyusunan PPKD pertama kali diamanatkan melalui Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan (Perpres PPKD), belum seluruh pemerintah provinsi, kabupaten/kota yang memiliki PPKD.
Padahal kini telah memasuki tahun keenam pelaksanaan perpres tersebut. Bukankah seharusnyaa seluruh kabupaten, kota, dan provinsi telah selesai menyusun PPKD sebelum Strategi Kebudayaan dirumuskan pada Kongres Kebudayaan Indonesia tahun 2018?
Mengacu pada Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Pasal 13 Ayat 2, abstrak yang terkandung dalam PPKD provinsi, kabupaten/kota akan digunakan sebagai basis dari Strategi Kebudayaan Daerah, yang merupakan acuan dari Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan.
Tanpa data yang valid, sumber daya objek pemajuan kebudayaan di Indonesia sulit untuk membangun visi yang konkret dalam memajukan kebudayaan ke depannya.
PPKD merupakan dokumen yang penting dalam proses pemajuan kebudayaan, karena merupakan awal dari pengarusutamaan kebudayaan dalam pembangunan di level daerah.
Dokumen inilah yang mendorong urusan seni budaya untuk memiliki basis yang konkret sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Perpres PPKD Pasal 4 yang telah mengamanatkan implementasi pemajuan kebudayaan harus disertai tujuan, sasaran, tahapan kerja, capaian tiap tahapan kerja, dan indikator capaian.
Ada beberapa masalah dalam proses penyusunan PPKD. Salah satu masalah adalah pemahaman kebudayaan yang belum sejalan dengan perspektif pemajuan kebudayaan.
Ada pula proses penyusunan PPKD yang belum sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. Selain itu, persoalan lainnya terkait ketersediaan sumber daya, khususnya anggaran dan sumber daya manusia.
Padahal proses pemajuan kebudayaan yang telah direncanakan sedemikian rupa di tingkat pemerintah pusat akan sulit tercapai jika proses tersebut masih bermasalah di tingkat awal.
Masalah ketersediaan sumber daya, khususnya anggaran dan sumber daya manusia, tentu saja menghambat proses penyusunan PPKD. Masalah ini muncul karena terbaginya urusan kebudayaan dengan urusan lain di dalam satu “atap”, seperti dinas pariwisata dan olahraga.
Dalam jangka pendek, urusan yang terbagi ini mungkin dapat dilakukan sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dinas terkait di daerah yurisdiksinya. Namun, dalam jangka panjang hal ini dapat mengundang beberapa masalah baru yang dapat menghambat eksekusi pembentukan PPKD.
Dalam kaitan inilah, maka perlu dilakukan proses pengawasan dan evaluasi PPKD secara berjenjang, yang diawasi oleh menteri di tingkat provinsi dan gubernur di tingkat kabupaten/kota. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi No 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi PPKD (Tata Cara Monev PPKD).
Proses ini penting untuk memastikan adanya sinkronisasi antara PPKD dengan pelaksanaan program kebudayaan dalam perencanaan daerah, realisasi anggaran, dan realisasi capaian program bidang kebudayaan.
Agaknya memang perlu terus digalakkan sosialisasi dan bimbingan teknis (bimtek) terkait penyusunan PPKD bagi pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang belum menyusun PPKD.
Selain sosialisasi dan bimtek, penggalakan sosialisasi terkait pemutakhiran PPKD juga penting dilakukan bagi daerah yang telah menyusun PPKD. Hal ini karena dalam rentang waktu PPKD tersusun hingga saat ini, sangat mungkin terjadi perubahan dalam objek pemajuan kebudayaan yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal.
Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT). Jatengdaily.com-st