SEMARANG (Jatengdaily.com) – Di sebuah ruang siaran mungil di Studio Radio USM Jaya, Gedung N Kampus Universitas Semarang (USM), Rabu (13/8/2025), suasana siang itu terasa hangat. Mikrofon-mikrofon menghadap para pembicara, lampu siaran menyala, dan tema yang dibahas sungguh relevan dengan zaman: “Ilmu Komunikasi di Era AI”.
Ami Saptiyono, S.I.Kom., M.I.Kom., Sekretaris Program Studi S1-Ilmu Komunikasi USM, duduk dengan tenang. Wajahnya memancarkan optimisme ketika membicarakan Artificial Intelligence (AI).
Bagi Ami, AI bukanlah momok yang menakutkan, melainkan sahabat baru yang bisa membuka pintu-pintu peluang, selama digunakan dengan bijak.
“AI itu bisa jadi sumber rezeki, bukan penghambat,” ujarnya mantap. “Kuncinya ada pada kemampuan kita beradaptasi. Kalau kita cerdas memanfaatkan peluang, AI bisa menjadi partner yang memperkaya, bukan menggantikan.”
Ia bercerita bahwa beberapa dosen di prodi sudah mulai mengenalkan AI dalam perkuliahan, khususnya di mata kuliah riset. Namun, ia menekankan satu hal yang tak boleh dilupakan: manusia tetap harus memegang kendali.
“Teknologi boleh berkembang pesat, tapi manusialah yang menentukan arahnya,” katanya.
Di sisi lain, Dinda Aurallia Putri A-Zahra, mahasiswa Ilmu Komunikasi sekaligus Kepala Divisi Pengabdian Sosial Himalika USM, mengingatkan bahwa AI hanyalah alat, bukan penguasa.
“Kalau semua kita serahkan ke AI, kita akan kehilangan kendali. Kita harus paham cara menggunakannya sebagai referensi, bukan sebagai penentu segalanya,” tuturnya.
Bagi Dinda, berkuliah di USM adalah pilihan tepat. Selain reputasi prodi yang sudah dikenal luas, biaya kuliah yang terjangkau dan kualitas pengajaran yang mumpuni menjadi alasan kuat.
Ia mengaku mendapatkan banyak hal dari para dosen yang berpengalaman, bukan hanya pengetahuan, tapi juga cara berpikir kritis dan kreatif.
Sebelum talkshow berakhir, Dinda menyampaikan pesan yang sederhana namun mengena: “Jangan terlena dengan segala kemudahan. Otak kita punya kapasitas luar biasa, lebih besar dari mesin mana pun. Gunakan AI secukupnya, tapi jangan lupakan kecerdasan alami kita.”
Di tengah derasnya arus teknologi, suara-suara seperti Ami dan Dinda menjadi pengingat bahwa AI seharusnya bukan menggantikan manusia, melainkan menjadi mitra. Dan di ruang siaran hari itu, optimisme tentang masa depan pendidikan terasa begitu nyata — masa depan di mana teknologi dan manusia berjalan beriringan. st