in

Sastra Anak dan Keluarga Perlu Ruang Reflektif

Para narasumber dalam Peluncuran dan Diskusi Buku Antologi Puisi "Anakku Harapanku" di Dinarpus Kita Semarang, Rabu, 23 Juli 2025. Dari kanan: Sulis Bambang, Gunoto Saparie, Warsit, dan Fadjar Setiyo Anggraeni.Foto:dok

SEMARANG (Jatengdaily.com) — Sastra anak dan keluarga dinilai masih minim ruang reflektif dalam lanskap literasi Indonesia. Padahal, literasi keluarga membutuhkan media yang membumi dan mampu menyuarakan kejujuran batin.

Para narasumber dalam Peluncuran dan Diskusi Buku Antologi Puisi “Anakku Harapanku” di Dinarpus Kita Semarang, Rabu, 23 Juli 2025.

Dari kanan: Sulis Bambang, Gunoto Saparie, Warsit, dan Fadjar Setiyo Anggraeni.Foto:dokAtas dasar itulah, Satupena Kota Semarang menghadirkan buku antologi puisi bertajuk “Anakku Harapanku” sebagai bentuk pernyataan sikap sekaligus ruang ekspresi yang jujur dan manusiawi.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Satupena Kota Semarang, Fadjar Setiyo Anggraeni, dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku “Anakku Harapanku” yang digelar di Ruang Audio-Visual Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, Jalan Prof. Soedarto, S.H., pada Rabu, 23 Juli 2025.

Kegiatan ini dibuka oleh Sekretaris Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, Muhammad Ahsan, dan dimeriahkan dengan pembacaan puisi oleh Yusri Yusuf, Agung Wibowo, dan Siti Fatimah serta penampilan musik dari Kelompok Kwartet Coustik dengan vokalis sekaligus pemetik gitar, Henny.

Dalam sambutannya, Fadjar menyampaikan bahwa buku ini lahir dari semangat keterbukaan dan keberagaman. Penjaringan penulis dilakukan secara terbuka tanpa batasan bentuk puisi, sehingga para penyair berasal dari latar belakang yang sangat beragam—mulai dari ibu rumah tangga, dosen, guru, pelajar, hingga mahasiswa.

“Kami lebih memprioritaskan kejujuran batin dalam menulis dibandingkan aspek teknis. Inilah yang kami anggap penting dalam menyuarakan harapan-harapan dari ruang keluarga,” ujar Fadjar.

Sebagai penyunting, Fadjar juga menyampaikan bahwa dirinya memberikan ulasan reflektif pada setiap puisi yang masuk dalam buku ini. Ulasan itu bukan sebagai kritik, melainkan sebagai bentuk penghormatan kepada para penyair.

“Saya mencoba menjadi pembaca pertama yang menjaga lentera kata. Kurasi ini lebih bersifat batiniah, sebagai bentuk kedekatan emosional dengan setiap karya,” tambahnya dalam diskusi yang dipandu Linda Mutiara Lumban Tobing.

Fadjar juga menekankan bahwa tema utama dalam buku ini adalah anak sebagai lentera dan keluarga sebagai akar. Melalui puisi, tersaji doa dan tawa, keheningan dan pertumbuhan, serta suasana rumah, kampung, dan kota sebagai ruang batin.

“Kami mencoba menghadirkan jiwa lokal Semarang dalam puisi. Identitas lokal dan nilai budaya terasa hadir dalam tiap bait,” ungkapnya.

Ia berharap, kehadiran buku ini bisa menjadi penyemangat baru bagi gerakan literasi di Kota Semarang. Menurutnya, komunitas sastra seperti Satupena bisa memberi dampak signifikan dalam membumikan nilai-nilai literasi, khususnya yang berangkat dari keluarga.

Sastrawan Gunoto Saparie yang turut menjadi narasumber dalam diskusi tersebut menyampaikan bahwa sebagian besar puisi dalam antologi ini termasuk ke dalam jenis puisi diafan—yakni puisi yang terang dan tidak banyak menggunakan simbol atau metafora yang rumit, sehingga mudah dipahami oleh pembaca awam.

“Para penyair tampaknya memang sengaja menulis puisi yang komunikatif, sesuai dengan tema anak dan harapan orang tua,” ujar Gunoto.

Namun, Gunoto juga mencatat bahwa sebagian besar penyair dalam antologi ini masih belum sepenuhnya menggarap aspek stilistika dengan maksimal.

“Bahasa dalam puisi seharusnya tidak hanya dipahami secara alamiah seperti bahasa sehari-hari. Perlu ada pengolahan bunyi, citraan, dan gaya bahasa agar maknanya lebih dalam. Tapi ini bisa terus diasah seiring waktu,” jelasnya.

Nama-nama penyair yang terlibat dalam antologi ini antara lain Adnan Ghiffari, Alem Savero Reyhan, Burhan Ali Setyawan, Christian Heru Cahyo Saputro, FS Anggraeni, Fredy Purnomo, Hanifah Albary, Marlin Monas, Maya Dewi, Merry Naufa, Mohammad Agung Ridlo, Linda Mutiara Lumban Tobing, Rina Utiastuti, dan Tri Dewi Nugrahini.

Sementara itu, Ketua Bengkel Sastra Taman Maluku Sulis Bambang, jurnalis Warsit, dan pengurus Satupena Dewi Tri Nugrahini turut memberikan motivasi kepada para peserta. Warsit mengutip pernyataan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi kalau tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah.” Sedangkan Sulis mengajak generasi muda untuk terus menulis tanpa takut tidak dibaca. Dewi juga menekankan pentingnya membaca sebagai bekal utama untuk bisa menulis lebih baik.

Acara yang dipandu oleh pewara Nur Sitha Afrilia itu diakhiri dengan sesi pembacaan puisi dan pertunjukan musik secara spontan. Penampilan dari Susi Kapas, Yusri, Mohammad Agung Ridlo, dan Maya Dewi membawa nuansa yang hangat dan penuh semangat.

Lagu anak-anak, lagu kebangsaan, hingga lagu pop bergema, menutup acara dengan meriah dan penuh kekeluargaan.

Peluncuran buku “Anakku Harapanku” bukan sekadar perayaan karya, tetapi menjadi penanda penting bahwa sastra bisa hadir dari ruang keluarga, menyentuh nurani, dan menjadi media refleksi bersama lintas generasi. St

What do you think?

Written by Jatengdaily.com

KPU Siap Gelar Pemilu Terpisah Sesuai Putusan Mahkaman Konstitusi

Kafilah Rembang Borong 9 Emas di MQK Jateng 2025, Siap Harumkan Nama Jawa Tengah di Tingkat Nasional