in

Banyak Komunitas Seni di Jateng Berguguran

Gunoto Saparie

SEMARANG (Jatengdaily.com)- Di Jawa Tengah memang banyak berdiri komunitas seni, bagaikan jamur di musim hujan. Boleh dikatakan jumlahnya ribuan. Namun, dalam perkembangannya, banyak komunitas seni tersebut megap-megap, bagaikan hidup segan mati tak mau. Bahkan banyak pula di antara mereka yang berguguran.

Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) Gunoto Saparie mengatakan, ada beberapa sebab mengapa banyak komunitas seni berguguran. Antara lain karena tidak terpenuhinya kebutuhan pendanaan. Akibatnya, komunitas-komunitas seni tersebut tidak mampu menjalankan aktivitasnya secara maksimal. Bahkan tidak tertutup kemungkinan pada akhirnya mereka harus bubar.

Selain itu, rata-rata komunitas seni itu memiliki kelemahan dari segi tata kelola lembaga dan keuangan. Banyak yang tak memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Banyak pula yang belum berbadan hukum,’’ ujarnya seraya menambahkan, akuntabilitas komunitas seni sering dipertanyakan.

Menurut Gunoto, sampai saat ini, harus diakui, kesenian belum dianggap sebagai bidang yang penting bagi kehidupan. Kesenian pun belum menjadi prioritas dalam pembangunan. Di samping itu, kesenian juga belum dapat memberikan keuntungan.

‘’Dalam kondisi semacam itu, dukungan pemerintah, baik pusat maupun daerah, sangat minim,,’’ andasnya.

Pemerintah pusat dan daerah, lanjut Gunoto, memang memiliki anggaran lumayan yan ditujukan untuk kegiatan kesenian. Tetapi karena kebijakan penganggaran dan birokrasi yang rumit serta berbelit-belit mengakibatkan komunitas seni kesulitan untuk mengaksesnya. Keluhan atau gugatan tentang minimnya dukungan pemerintah terhadap kegiatan seni memang sering terdengar.

’’Karena itu, perlu adanya langkah yang lebih konkrit dalam advokasi kesenian, khususnyakebijakan kesenian, agar dukungan terhadap kesenian dapat lebih memadai. Meskipun dalam prosesnya, advokasi itu cukup sulit dilakukan. Ketiadaan data yang komprehensif mengenai kondisi terkini dari dunia kesenian di Jateng menjadi salah satu hambatan,’’ katanya. Ugl–st

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

One Comment

  1. Mas Gunoto Saparie, itu sebabnya ketika musisi jazz Cepu, Dimas Tiyok, dan pengusaha muslim turunan Tionghua, Lucky Waluya, minta saya membantu mendirikan Pasar Seni Cepu (PSC) di Taman Tukbuntung (Sarnitung) pada awal tahun 2012, saya mengawalinya dengan mengajak mereka membentuk Paguyuban Malem Jemuah Pahing (PMJP) sebagai badan pengelola. Cepu hanyalah kota kecamatan, tidak memiliki Anggaran Belanja dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Blora. Karena itu, saya menekankan pentingnya “soh” (ikatan), karena menyapu dengan satu “sada” tidaklah mungkin. “Sada” baru dapat dipakai menyapu bila sudah diikat dengan “soh”. Kenapa namanya PMJP? Itu semua terkait dengan inti dasar perjuangan bahwa organisasi harus dibiayai secara “swadana” sebelum pemerintah daerah berkenan turun tangan. Bravo, cuma “sharing” (berbagi) pengalaman. Semoga berguna. Matur sembah nuwun. Salam hormat senantiasa. (*MMeSeM/19052019.12:23).-

Kepedulian Warga Terhadap Pembangunan Kota Semarang Diapresiasi

Pemkot Klaim Proyek Toilet Dekat Sumur Tua, Bagian Fasum Revitalisasi Kawasan Kota Lama