Oleh: Diana Dwi Susanti
BPS Provinsi Jawa Tengah
AGUSTUS di Indonesia menjadi bulan yang sangat dinanti-nanti selain momen lebaran. Bahkan ketika mempunyai asisten rumah tangga dari luar kota akan izin hingga seminggu untuk menyempatkan pulang demi bisa melihat berbagai atraksi lomba-lomba yang diselenggarakan di kampung-kampung.
“17 Agustusan” merupakan sebutan yang sangat familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Semua rakyat memperingati dengan suka cita. Di lingkungan tempat tinggal, sekolah, instansi pemerintah maupun swasta tentu mempunyai cara sendiri untuk memeriahkan hari kemerdekaan Indonesia.
Berbagai macam lomba diadakan untuk seru-seruan. Perlombaan yang populer antara lain lomba makan krupuk, lomba kelereng, panjat pinang, lomba pecah air, lomba perang bantal, lomba balap karung, lomba bakiak, dan masih banyak lagi lomba-lomba lucu lainnya. Sampai dengan lomba yang serius seperti lomba nyanyi, lomba cipta dan baca puisi, mewarnai, lomba menulis essay kemerdekaan, cerdas cermat dan karnaval.
Namun, meski dilakukan hampir setiap tahun, tak banyak masyarakat Indonesia sadar asal mula tradisi perayaan 17 Agustus tersebut. Padahal, beberapa jenis perlombaan punya sejarah dan filosofi tersendiri. Dari mana awal mulanya? Hingga kini tidak diketahui pasti siapa tokoh pelopor tradisi perlombaan untuk menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia.
Sejarawan J J Rizal menuliskan perlombaan “17 Agustusan” mulai banyak dilakukan sekitar tahun 1950-an. Di dorong dari masyarakat yang antusias ingin merayakan kemerdekaan yang sangat sulit diraih dan dipertahankan pada jaman penjajahan. Spontanitas berbagai lomba pun akhirnya dilakukan. Bahkan Presiden Soekarno pada waktu itu menandatangani sebuah buku sebagai hadiah lomba “17 Agustusan”.
Filosofi
Dari berbagai lomba, balap karung merupakan lomba yang paling meriah dan mengundang gelak tawa dari penonton. Karung goni mempunyai makna mengingat masa-masa sulit penjajahan, yang sebagaian orang yang tidak mampu menggunakan karung goni untuk berpakaian. Sedangkan berjalan dengan rintangan yang dilalui untuk mencapai tujuan.
Lomba makan krupuk, dari anak TK sampai dewasa pantas melakukan lomba ini. Tangan peserta lomba diikat sambil berusaha memakan kerupuk yang menggantung, menggambarkan kesulitan pangan pada masa penjajahan.
Sedangkan lomba tarik tambang menyimpan filosofi kekompakan tim untuk meraih kemenangan. Tarik tambang mengajarkan tentang gotong royong, kebersamaan, dan solidaritas.
Lomba panjat pinang juga mempunyai filosofi yang mendalam. Untuk meraih puncak tidak bisa satu orang bekerja sendiri. Karena pohon pinangnya licin. Jadi yang paling besar mengalah untuk mengangkat teman-temannya untuk naik ke atas. Sedangkan yang paling kecil bisa mencapai puncak untuk meraup hadiah-hadiah yang ada.
Filosofi kehidupan nyata tergambar dari lomba panjat pinang. Tanpa ada kerjasama yang baik, menonjolkan kekuatan masing-masing tidak mungkin bisa mencapai tujuan. Menempatkan diri pada porsinya dan tidak merasa paling lebih memudahkan untuk mencapai puncak.
Kearifan Lokal Jangan Ternodai
Berbagai macam lomba “17 Agustusan” dan filosofinya merupakan kearifan lokal dari bangsa Indonesia yang harus di lestarikan. Menjaga tradisi dan mengenalkan kepada anak cucu bisa menjadi pelajaran berharga bagi mereka kelak.
Bahkan Jerman saat ini sedang mencari identitas diri dengan mencari kearifan lokal di negaranya yang semakin menghilang seiring perkembangan jaman. Indonesia tidak ingin seperti Jerman kan? Bisa dilihat negara lain sedang sibuk mencari permainan tradisional mereka. Beruntung Indonesia, setiap tahun mempunyai kearifan lokal seperti perlombaan “17 Agustusan”.
Namun akhir-akhir ini ada beberapa lomba yang kurang mencerminkan kearifan lokal. Cenderung hanya untuk bahan tertawaan tanpa ada makna dan esensi lomba tersebut. Seperti beberapa tahun belakangan marak lomba sepak bola menggunakan daster. Lomba ini memang mengundang gelak tawa penonton, tetapi bagaimana melihat laki-laki didandani seperti perempuan kurang mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Apalagi Indonesia tidak mengenal trans gender, dan dari sisi agama juga dilarang untuk berdandan tidak sesuai kodratnya.
Lomba ini menjadi bahan renungan bersama, bagaimana dampak psikologi dari laki-laki yang memakainya. Mungkin maksudnya hanya sebagai bahan lelucon, toh yang melakukan tidak ada masalah dan baik-baik saja. Coba kita renungkan bersama. Apa manfaat, esensi atau filosofi dari lomba tersebut? Pelajaran apa yang bisa ditarik dari lomba tersebut? Nothing! Selain hanya riuh ketawa penonton melihat laki-laki yang berpakaian tidak sewajarnya. Apakah ini mencerminkan budi pekerti bangsa Indonesia?
Mungkin jika lomba ini mau dipertahankan bisa saja daster digantikan kearifan lokal Indonesia seperti sarung. Ini lebih manusiawi daripada laki-laki yang menggunkan daster. Perlu menjadi bahan renungan untuk memilih lomba-lomba yang lebih kreatif, mengekudasi dan melestarikan kearifan lokal dengan budi pekerti yang baik. Jatengdaily.com-yds