
Oleh: Muhamad Rifqi Bakhtiar, S.Pd., M.Pd
PAGI itu, seperti banyak pagi lain di sekolah negeri maupun swasta di kabupaten Kendal, saya minta siswa memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris. Ruang kelas langsung hening.
Beberapa siswa menatap meja, yang lain pura-pura sibuk membolak-balik buku. Mereka bukan tidak tahu what’s your name atau I live in…, mereka takut salah, takut ditertawakan aksen dan grammar-nya.
Pola yang sama masih tampak pada mahasiswa tahun awal dimana pengetahuan struktur ada, keberanian berbicara yang kurang. Kalau mau jujur, masalahnya bukan sekadar ‘kurang grammar’saja melainkan ada hal lain yg perlu diulik kembali.
Riset di konteks pembelajaran Bahasa Inggris sebagai Bahasa asing di Indonesia menunjukkan kecemasan berbicara ditopang kuat oleh fear of negative evaluation, takut dinilai, takut tampak bodoh, dan ini menurunkan partisipasi lisan meski materi sudah dikuasai. Ketika ruang kelas mengirim sinyal bahwa ‘salah itu dosa’, mulut tertutup sebelum kalimat pertama keluar.
Evidence terbaru pada pelajar Indonesia memperlihatkan komponen kecemasan (uji, komunikasi, dan penilaian negatif) nyata memengaruhi keberanian speaking; artinya, desain kelas yang ‘menghalalkan salah’ justru lebih ilmiah ketimbang menagih kesempurnaan di awal.
Di tingkat nasional, data juga menegaskan bahwa kita harus mengejar ketertinggalan praktik lisan. EF English Proficiency Index 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 80 dari 116 negara dengan skor 468 (kategori menengah). Angka ini bukan untuk membuat kita minder, tetapi untuk menandai pekerjaan rumah: menaikkan keberanian berbicara, bukan hanya nilai ujian.
Urgensinya di Kendal terasa makin konkret. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal merekam realisasi investasi Rp43,8 triliun (13 Maret 2024), 99 pelaku usaha dari 10 negara, dan serapan 44.349 tenaga kerja, lalu pemberitaan lokal per Oktober 2025 menyebut 135 tenant dengan puluhan yang sudah beroperasi. Ini ekosistem lintas negara: kemampuan menyapa tamu pabrik, menjelaskan prosedur keselamatan, memandu company tour sederhana dalam bahasa Inggris, semua menjadi keterampilan kerja sehari-hari. Jadi “berani salah” bukan slogan moral; ia prasyarat ekonomi. (kendalindustrialpark.co.id)
Di sisi kebijakan, Permendikbudristek No. 12/2024 (ditetapkan 25 Maret 2024) mengatur bahwa Bahasa Inggris di SD/MI saat ini bersifat pilihan hingga tahun ajaran 2026/2027 dan beralih menjadi wajib mulai 2027/2028. Pemerintah pusat dimandatkan menyiapkan pelatihan guru, dan pemerintah daerah menyiapkan ketersediaan gurunya selama masa transisi. Bagi Kendal, ini berarti dua tahun ke depan adalah jendela emas untuk menyiapkan guru yang ramah kesalahan, rubrik berbasis keterpahaman, dan ekosistem latihan lisan berisiko rendah, agar saat statusnya “wajib”, kultur kelasnya sudah sehat.
Teknologi bisa menjadi partner yang tepat jika kita menempatkannya secara manusiawi. Meta-analisis tentang penggunaan Automatic Speech Recognition (ASR) menunjukkan efek sedang (g≈0,69) terhadap peningkatan pelafalan/kemampuan berbicara, terlebih ketika dipadukan dengan umpan balik eksplisit, bukan sekadar skor otomatis. Temuan studi campuran yang lebih baru juga menunjukkan kombinasi ASR + peer correction mendorong perbaikan sebutan dan fluency.
Karena itu, saat saya mengatakan ‘Berani salah itu sunnah belajar’, maksudnya bukan permisif pada kekeliruan, melainkan mengatur urutan belajar: keberanian dulu, akurasi menyusul. Di kampus, niat belajar yang ditata di awal, sejalan dengan etos adab dan refleksi, membantu mahasiswa menanggung ‘dosa grammar’ kecil demi meraih kefasihan. Begitu kita “menghalalkan” salah pada fase awal, paradoksnya, justru kesalahan itu cepat berkurang: karena siswa akhirnya berani membuka mulut, mencoba ulang, dan tumbuh.
Ada beberapa hal yang terbesit dalam benak pikiran saya. Pertama, diam itu mahal, kesalahan itu murah. Di banyak kelas, kita masih menilai keberhasilan dari kertas ujian, bukan dari seberapa sering mulut siswa berlatih mengutarakan ide. Akibatnya, bahasa Inggris berhenti di kepala dan tidak pernah keluar lewat suara. Prinsip saya sederhana: haramkan diam di fase awal, ‘halalkan’ salah yang terarah.
Begitu rasa takut runtuh, barulah akurasi kita poles pelan-pelan. Kedua, rubrik harus berpihak pada keterpahaman, bukan kemiripan aksen. Target komunikasi adalah agar lawan bicara paham, bukan agar kita terdengar seperti penutur asli. Karena itu, penilaian saya menempatkan “pesan tersampaikan, alur lancar, dan strategi memperbaiki diri saat macet di atas pengucapan baku. Hasilnya, siswa lebih berani mencoba, dan justru kesalahannya cepat berkurang karena kesempatan berlatih meningkat. Ketiga, koreksi yang menumbuhkan, bukan mematikan nyali.
Alih-alih memotong pembicaraan dan membetulkan semua, saya memberi isyarat singkat (cek tensenya, ulang frasa ini), lalu meminta siswa mengulang bagian yang keliru. Format 3:1 tiga umpan balik positif untuk satu koreksi, membuat kelas terasa aman sekaligus tetap bertumbuh. Dalam beberapa pekan, siswa yang tadinya hanya
Teknologi jadi partner, bukan hakim. Ponsel yang ada di tangan peserta cukup untuk rekaman suara singkat, kirim voice note, dan mengecek arti kata yang sulit dalam Bahasa Indonesia. Solusi konkrit yang sudah berjalan adalah pelatihan gratis berbasis komunitas. Seperti pada Pelatihan Bahasa Inggris di aula masjid (tertera di poster), kelas dibuka untuk umum, Rabu malam Kamis setiap dua pekan, pukul 20.00–21.00 WIB di Aula Al Asy’ari Kaliwungu. Formatnya lesehan, inklusif lintas usia, dengan suasana kekeluargaan; tidak ada rasa takut nilai jelek, yang ada hanya giliran bicara lebih sering. Peserta memulai dari perkenalan sederhana, berlanjut ke role-play layanan tamu, lalu tugas rekaman singkat di rumah. Kontak dan detail lain sudah tercantum di poster agar warga mudah bergabung.
Di kelas bahasa, keberanian berbicara lahir dari ruang dialog, bukan dari ceramah tata bahasa semata. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed mengkritik model menabungkan pengetahuan ke kepala murid, dan menegaskan pendidikan sebagai pembebasan melalui aksi dan refleksi. Seperti katanya, singkat tetapi tajam: Liberation is praxis: the action and reflection of men and women upon their world in order to transform it.” Dengan kacamata ini, speaking bukan ujian hafalan, melainkan latihan menjadi subjek yang berani menyuarakan pikiran meski belum sempurna.
Kisah yang paling sering saya temui justru datang dari ruang belajar sederhana. Di salah satu pelatihan gratis yang kami selenggarakan di aula masjid, beberapa peserta mempraktikkan target kecil: menghafal 5 kosakata per hari, lalu memakainya dalam kalimat lisan sebelum tidur dan setelah Subuh.
Dalam 30 hari, kosa kata aktif mereka bertambah ±150 kata cukup untuk memperkenalkan diri, menanyakan arah, sampai menceritakan kegiatan harian. Kuncinya bukan banyaknya kata, tetapi disiplin pemakaian dan pengulangan di ruang yang aman salah. Yang mulanya takut bicara, dua–tiga pekan kemudian mulai berani role-play jadi pemandu tamu masjid atau penjaga stan UMKM.
Bandingkan dengan pengalaman saya dua bulan mengajar di Malaysia dalam program PPL antarbangsa: paparan bahasa Inggris terasa di mana-mana, termasuk subtitle/teks Inggris di televisi untuk program hiburan dan berita. Paparan rendah-risiko seperti ini memberi jam dengar dan jam baca harian tanpa terasa, sehingga intonation, kosakata, dan frasa keseharian menempel lewat kebiasaan, bukan paksaan. Pelajar jadi akrab dengan bunyi dan ritme bahasa sebelum diminta tampil di kelas. Pelajaran untuk kita: sediakan paparan harian yang ramah, entah lewat voice note, video pendek, poster kosakata di rumah/majid, atau challenge 60–90 detik bercerita, lebih sering, lebih santai, lebih relevan.
Penutup
Untuk guru, mari ubah urutan: berani dulu, rapi kemudian. Pastikan setiap pertemuan memberi panggung bicara singkat untuk semua; ukur kemajuan dari berapa kali mereka mencoba, bukan hanya dari kertas ujian. Untuk murid, izinkan diri Anda ‘berdosa grammar’ di fase awal, itu bukan aib, itu tanda bertumbuh. Untuk orang tua, dukung kebiasaan kecil di rumah: lima kata baru per hari, satu cerita pendek setiap malam, dan pujian untuk usaha, bukan hanya hasil. Untuk pembuat kebijakan, sediakan ekosistem yang memperbanyak paparan dan panggung: sudut bahasa di sekolah/masjid, media lokal dengan subtitle Inggris, kemitraan dengan industri untuk tugas otentik, agar wajib Inggris di SD tidak berhenti di dokumen, tetapi hidup di suara anak-anak kita.
Pada akhirnya, bahasa adalah keberanian yang dilatih. Jika kita menata kelas, rumah, dan komunitas agar aman untuk salah, maka satu per satu mulut yang semula terkunci akan terbuka. Dari lima kata sehari, menjadi lima kalimat, lalu lima menit pidato. Berani Salah itu Sunnah Belajar dan justru dari keberanian itulah kefasihan lahir. she
Penulis: dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa Sastra dan Budaya Unissula dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Bahasa Unnes

