Oleh: Prof. Dr. Ir. Rohadi, M.P.
ISU oplosan dan oplos beras premium dan medium menjadi perhatian publik hingga saat ini, meski belum menjadi trending topic di Indonesia.
Hal ini terkait dengan temuan oleh Kementerian Pertanian, bersama Satgas Pangan, Kejaksaan, Polri, dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) saat melaksanakan inspeksi di 10 provinsi, terdapat penyimpangan/ketidaksesuaian dalam tata niaga beras Premium.
Penyimpangan itu, terkait klaim produsen beras Premium sebagaimana yang tertera pada label kemasan, yang tidak sesuai dengan fakta mutu beras tersebut.
Penyimpanan (ketidaksesuaikan) terjadi tidak hanya pada berat netto, namun juga pada atribut mutu beras premium, sebagaimna SNI 6128:2015 (Tabel1). Klaim berat netto beras tertera pada kemasan 5 kg ternyata fakta berat netto hanya 4,5 kg per kemasan.
Demikian juga atribut mutu yang lain seperti derajat sosoh, jumlah beras kepala, butir patah, butir menir dan butir merah tidak sesuai SNI.
Berdasarkan hasil uji mutu beras premium pada 13 Laboratorium ternyata dari 268 sampel merk, 212 merk (79%) di antaranya bermasalah (ada penyimpangan).
Temuan adanya penyimpangan pada tata niaga beras mutu Premium & medium, disampaikan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, pada acara peluncuran 80 ribu “Koperasi Merah Putih,” pada 19 Juli 2025 belum lama ini di Klaten, Jawa Tengah.
Dengan nada tinggi presiden mengungkapkan, adanya penyimpangan pada tata niaga beras Premium oleh 4-5 pengusaha menyebabkan kerugian masyarakat hingga Rp 100 triliun per tahun.
Keuntungan yang dinikmati pengusaha, disebabkan mereka menjual beras dengan harga premiun, sementara mutu beras non premium. Presiden menambahkan praktik mengoplos beras dan menjual beras oplosan sebagai bentuk pengkhianatan kepada bangsa dan rakyat Indonesia.
Tabel 1. Standar Mutu Beras Sesuai SNI 6128:2015
Tulisan berikut tidak bermaksud untuk mereduksi, mengecilkan atau menganggap enteng temuan penyimpangan pada tata niaga beras premium, dengan objek materi beras oplosan, sebagai output dari praktik mengoplos beras! Melainkan mencoba memposisikan kasus penyimpanan pada tata niaga beras premium sebagai bentuk praktik penipuan pangan (food fraud).
Ketika penipuan terjadi pada tata niaga beras premium, regulasi yang mana yang dilanggar, apa reaksi konsumen, apa implikasinya pada mutu produk berbasis beras dan kesehatan masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang menginspirasi penulis untuk menyampaikan dalam bentuk tulisan (opini).
Mengoplos dan oplosan
Mengoplos beras apa salahnya? Menjual beras oplosan salahnya dimana? Dua pertanyaan yang mesti dijawab, sebelum menvonis salah atas orang/perusahaan yang mengoplos dan menjual beras oplosan!.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oplos dan mengoplos merupakan kata kerja yang berarti mencampur (mixing), sedangkan hasil dari mengoplos adalah oplosan (kata benda). Praktik mengoplos (mencampur), sebuah keniscayaan dilakukan oleh pelaku industri pangan.
Tanpa ada proses mencampur, maka tidak akan diperoleh sebuah produk oplosan dengan kriteria yang diharapkan. Produk pangan macam coffee mix, Marimas, Nutrisari, tepung komposit, aneka kue-kue, roti, ice cream dan semua makanan dan atau minuman yang lezat-lezat itu hasil mencampur (mengoplos). Dimana salahnya memproduksi dan meniagakan coffee mix? Toh coffee mix adalah produk oplosan hasil dari mengoplos!
Tentu jawabannya tidak ada yang salah dari melakukan praktik mengoplos dan meniagakan produk oplosan bukan?
Mengoplos beras dan menjual beras oplosan dengan label beras Premium, menjadi perbuatan kriminal tentu ada regulasi (perundangan) yang ditabrak! Oleh sebab itu, dudukkan isu beras oplosan pada tempat yang proporsional. Dimanakah letak salah produsen yang memproduksi dan meniagakan beras Premium oplosan?
Sampai-sampai presiden memerintahkan aparat penegak hukum bertindak tegas atas pelaku perniagaan beras oplosan. Memang istilah oplosan seringkali digunakan atau di_framing untuk hal-hal negatif seperti pemalsuan atau pencampuran bahan-bahan yang tidak standar.
BPOM dan petugas gerebek pabrik jamu oplosan https://www.vidio.com/watch/7432196-bpom-ri-dan-petugas-gerebek-pabrik-jamu-oplosan-beromzet-miliaran-rupiah-di-banyuwangi. Kematian dua wanita akibat miras oplosan di Bantul, https://jogja.polri.go.id/polda/tribrata-news/online/detail/kronologi-kematian-dua-wanita-akibat-miras-oplosan-di-bantul.html.Oleh sebab itu, mari kita gunakan diksi yang akurat yang tidak menimbulkan distorsi.
Pemalsuan Pangan (Food Fraud)
Food fraud merupakan tindakan penipuan yang disengaja dalam produksi atau distribusi makanan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, dengan cara memalsukan, mengubah, menyalahlabeli, atau mengganti bahan makanan dengan bahan lain yang lebih murah atau tidak sesuai.
Praktik ini bisa membahayakan kesehatan konsumen, menyesatkan secara ekonomi, dan merusak kepercayaan terhadap industri makanan secara umum. Ada beragam tipologi pemalsuan pangan, antara lain:
Substitusi, yakni praktik mengganti bahan makanan dengan bahan lain yang lebih murah tanpa pemberitahuan. Contoh mengganti sebagian atau seluruh daging sapi dengan daging babi untuk sebuah produk baso (meat ball).
Pemalsuan (adulteration), yakni menambahkan bahan asing seperti pengencer (air) pada kasus susu segar, agar volume bertambah, atau menambahkan urea dan melamin pada susu segar sebagai sumber nitrogen, supaya uji proteinnya meningkat.
Pelabelan palsu (Mislabeling), yakni praktik memberikan informasi yang tidak benar label kemasan, contoh mencantumkan berat netto 5 kg., padahal hanya 4,5 kg. Mencantumkan kata Premium, pada label kemasan beras, padahal mutu beras tidak masuk grade premium.
Penghilangan/Penyembunyian informasi (Omission), yakni praktik sengaja tidak menuliskan/menyembunyikan informasi bahan berbahaya atau alergen pada label.
Pemalsuan asal-usul (Counterfeit or origin fraud), yakni praktik mengklaim suatu produk berasal dari daerah geografis tertentu, padahal tidak. Contoh label beras Delanggu, padahal beras berasal dari daerah lain seperti Demak dan Purwodadi, tetapi proses penggilingan dan pengemasannya di Delanggu.
Penggunaan kembali (Recycling), yakni praktik perniagaan pangan dengan menjual kembali pangan sudah kadaluwaarsa (expired date), dengan memanipulasi seolah olah makanan tersebut masih baru.
Nah dari enam (6) bentuk pemalsuan pangan tersebut, poin yang mana yang ditabrak produsen beras Premium oplosan?
Informasi terkini terkait kasus beras premium oplosan, Bareskrim Polri sudah menaikkan statusnya menjadi “penyidikan”, dan menetapkan 3 perusahaan dengan 5 merk beras Premium yang menabrak regulasi, seperti Sentra Ramos, Sania dan Anak Kembar, sementara polri bertindak cepat dengan penggledahan, penyegelan dan penyitaan dengan beberapa bentuk pemalsuan pangan antara lain praktik substitusi dan pelabelan palsu. https://www.youtube.com/watch?v=mSlxRxjxXc0. Polri membidik produsen beras Premiun oplosan dengan pelanggaran atas UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Hal ini mengacu pada beberapa pasal dari UU No. 8/1999, tentang hak konsumen bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa (Pasal 4 huruf a); dan hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (Pasal 4 huruf c).
Pasal lain yang bisa dikenakan, yakni memperdagangkan beras tidak sesuai standar mutu sebagaimana bunyi pasal 62, jucnto pasal 8(1) a dan f. yakni meniagakan barang yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam lebel, etikat, iklan promosi penjualan barang.
Terkait dengan pelanggaran pada UU No.8/1999, produsen terkena ancaman pidana 5 tahun dan dengan Rp 2 miliar.
Regulasi lain untuk membidik pengusaha pengikuti mazhab “Serakahnomics” (mengutip istilah dari presiden Prabowo) adalah pasal 3, 4, 5 Undang Undang No.8/2010, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang , dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun dan denda Rp10 miliar.
Agaknya kasus food fraud beras premium akan sampai pada pengadilan dan produsen bakal menuai vonis yang maksimal.
Mengingat kasus tersebut berskala nasional, terbuka, potensi kerugian konsumen demikian besar, berimplikasi menyesatkan secara ekonomi, dan merusak kepercayaan terhadap industri makanan serta presiden yang menginstruksikan langsung kepada penegak hukum untuk bertindak tegas. Meskipun kasus beras oplosan kurang berakibat pada kesehatan konsumen.
Kasus beras premium oplosan, agaknya berbeda dengan kasus Ayam Goreng Widuran Solo yang tidak sampai penyelesaian pada pengadilan (non letigasi), dan denda adminsitratif, meski regulasi yang dtabrak ada kesamaan.
Prof. Dr. Ir. Rohadi, M.P.
Guru Besar Pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Semarang. Jatengdaily.com-St