SEMARANG (Jatengdaily.com) – Di balik gegap gempita penerimaan mahasiswa baru setiap tahun, terselip kegelisahan yang kian membuncah di hati para pengelola perguruan tinggi swasta (PTS). Tahun 2025 menjadi titik paling berat bagi mereka. Jumlah mahasiswa baru merosot tajam hingga 40 persen dan penyebabnya, menurut Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI), bukan lagi sekadar tren demografis atau pilihan calon mahasiswa.
“Ini soal kebijakan yang tidak seimbang,” tegas Sekretaris Jenderal APPTHI, Prof. Iwan Satriawan, dengan nada penuh keprihatinan. “Sejak dua tahun lalu penurunan mahasiswa di PTS sudah terasa. Tapi tahun ini, efeknya jauh lebih menghantam.” ujarnya.
APPTHI yang membawahi 206 fakultas hukum dan sekolah tinggi hukum swasta di seluruh Indonesia, menuding perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH) melakukan ekspansi besar-besaran pada jalur mandiri. Kuota mahasiswa baru dibuka lebar-lebar, bahkan, menurut APPTHI, melampaui kapasitas wajar.
Di ruang pertemuan yang penuh suasana serius pada Minggu (10/8) siang, Ketua Umum APPTHI, Prof. Edy Lisdiyono, membacakan pernyataan sikap asosiasi. “Langkah ini memicu perebutan pasar calon mahasiswa antara PTN dan PTS secara tidak seimbang. PTS jadi pihak yang paling dirugikan, karena calon mahasiswa yang seharusnya masuk PTS terserap ke PTN,” ucapnya.
Dampaknya jelas: PTS kehilangan mahasiswa baru, kehilangan pemasukan, bahkan terancam mengurangi kualitas layanan pendidikan. “Ketimpangan ekosistem pendidikan tinggi semakin parah,” kata Prof. Edy.
APPTHI tak hanya mengeluh, tetapi juga mengajukan empat tuntutan. Mereka mendesak DPR dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi membatasi kuota jalur mandiri PTNBH, menegakkan prinsip keadilan, menuntut transparansi pemanfaatan status otonomi, dan mendorong kolaborasi sehat antara PTN dan PTS.
Bagi Prof. Iwan, akar masalah ini lebih dalam lagi. Ia mengungkapkan bahwa sejak pemerintah memangkas subsidi untuk 21 kampus PTNBH hingga tinggal 30 persen dari anggaran semula, kampus-kampus itu terpaksa mencari sumber pendapatan baru. Cara tercepat? Membuka pintu lebar-lebar bagi mahasiswa jalur mandiri.
“Masalahnya, ketika jumlah mahasiswa terlalu banyak, beban mengajar dosen meningkat, dan riset yang seharusnya jadi jantung perguruan tinggi bisa terabaikan,” jelasnya. “Padahal, riset adalah kunci reputasi internasional.”
APPTHI bahkan mencatat adanya kampus PTNBH yang kuota jalur mandirinya mencapai dua kali lipat jalur reguler. Sebuah pola yang menurut mereka, menggerus kesempatan PTS untuk bertahan.
Mereka berencana menemui Komisi X DPR RI, meski sadar jadwal resmi mungkin butuh waktu. “Kita tidak bisa menunggu terlalu lama. Dampaknya sudah kita rasakan. Kalau perlu, suara ini harus kita viralkan,” ujar Prof. Iwan, menutup pernyataannya.
Di balik pernyataan itu, ada nada waspada yang tak bisa diabaikan: jika tidak ada langkah cepat, peta pendidikan tinggi Indonesia bisa berubah selamanya — dan PTS mungkin hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah. Sunarto