
Oleh Gunoto Saparie
Pengembangan dan pembinaan kesenian di Indonesia selama ini telah berjalan dengan dukungan sejumlah pihak. Dukungan utama tentu saja dari pelaku dan organisasi kesenian itu sendiri. Di samping itu, ada dukungan dari masyarakat penonton, individu, yayasan amal, perusahaan, dan pemerintah. Kalau kreativitas seni budaya tumbuh baik, dengan pencapaian mutu yang tinggi, maka kita mendapatkan bukan hanya kehidupan kesenian yang berkembang, tetapi juga kehidupan yang sehat, terbuka, dan apresiatif.
Untuk sampai kepada kondisi ideal itu, kehidupan kesenian kita membutuhkan dukungan pihak-pihak yang berkaitan satu sama lain. Akan tetapi, dukungan individu dan pihak swasta hanya bisa tumbuh baik kalau potensi filantropi dirangsang dan mereka bisa mendapat manfaat langsung dari kegiatan filantropi itu. Mereka yang menyumbang untuk kegiatan kesenian, sebagaimana kegiatan kemanusiaan lainnya, berhak pula mendapatkan pengurangan pajak. Dengan demikian, kegiatan filantropi itu bisa meningkat bersamaan dengan meningkatnya kualitas kesenian kita.
Meskipun banyak meraih prestasi dan penghargaan di kancah internasional, kesenian kita boleh dikatakan masih kurang mendapat dukungan yang memadai. Betapa tidak? Survei yang dilakukan Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) dan Hivos menunjukkan bahwa kegiatan kesenian kita hanya disumbang sekitar 3 persen oleh masyarakat yang jadi responden.
Selain itu, dukungan dari pemerintah juga relatif minim. Selama ini dukungan dan pembiayaan bagi pengembangan serta pelestarian kesenian di Indonesia ternyata lebih banyak berasal dari kegiatan filantropi (kedermawanan sosial) seniman dan budayawan. Sayangnya para pelaku dan pengelola organisasi kesenian juga belum bisa memanfaatkan potensi filantropi yang berkembang pesat dalam lima belas tahun terakhir.
Dukungan dan sumbangan dari sektor swasta juga masih minim, karena kesenian belum dianggap sebagai kebutuhan pokok dan menjadi prioritas utama untuk disumbang. Padahal kesenian telah berkontribusi dan berperan cukup siginifikan pada perkembangan filantropi di Indonesia.
Kesenian banyak digunakan dalam menggerakkan kegiatan kedermawanan masyarakat lewat kegiatan amal yang biasanya diisi dengan pelbagai pementasan. Pementasan kesenian umumnya menjadi daya tarik tersendiri bagi calon donatur untuk datang ke suatu acara amal dan menyumbangkan dananya ke lembaga-lembaga sosial.
Bisa Jadi Alternatif
Di tengah minimnya dukungan dari pemerintah, sesungguhnya filantropi bisa menjadi alternatif sumber daya untuk pengembangan dan pelestarian seni budaya. Potensi filantropi bisa didayagunakan dengan mengarahkan masyarakat untuk mendukung seni budaya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melalui donor education, memberikan pemahaman kepada donatur individu, perusahaan, dan yayasan amal tentang pentingnya menyumbang kebudayaan.
Potensi filantropi perusahaan juga bisa digerakkan dengan merevitalisasi praktik apresiasi seni budaya oleh perusahaan, yang pada masa lalu menjadi bagian dari hiburan masyarakat dan penghormatan tradisi. Misalnya, tradisi pentas seni pada pabrik gula, tradisi pentas wayang dan seni lain di perusahaan pada saat Tahun Baru Jawa atau Hijriyah.
Banyak orang tidak tahu bahwa kehidupan kesenian dan kebudayaan yang sehat adalah faktor yang bisa mempertahankan bahkan meningkatkan perkembangan kegiatan ekonomi. Belajar dari Singapura, kita mendapat pengetahuan bahwa nilai tambah dari industri yang berbasis kegiatan seni budaya memperlihatkan angka efek pelipatgandaan sebesar 1,66 — justru lebih tinggi dari industri perbankan (1,4) atau industri petrokimia (1,35).
Ada dua pola dasar strategi kemitraan untuk kesenian, yaitu melalui subsidi pemerintah dan mekanisme subsidi tak langsung. Contoh strategi yang sangat unik diterapkan di AS yang anggaran dana pemerintahnya untuk kesenian sangat minim. Pemerintah AS secara tak langsung memberi subsidi yang luar biasa besarnya melalui sistem pajak yang mendorong sektor swasta berperan giat mendanai kesenian.
Singapura merupakan contoh negara yang pemerintahnya tak tanggung-tanggung menyubsidi kesenian. Di Jerman kewenangan dan tanggung jawab untuk kebijakan kebudayaan dan implementasinya ada pada tiap-tiap pemerintah daerah atau kota. Prinsip kompetisi merupakan pendorong bagi semua kegiatan seni budaya di Jerman untuk bersaing secara sehat sehingga bagian terbesar anggaran dana kesenian di Jerman berasal dari tiap-tiap pemerintah daerah.
Kita tahu, sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu aset besar sebuah negara. Dalam dunia kesenian, SDM merupakan satu-satunya aset. Kesadaran Singapura akan potensi SDM selangkah lebih maju: sumber daya terbesar sebuah negara adalah daya kreatif warganya. Pemerintah Singapura tahu betul bahwa kelompok kreatif yang terdiri dari SDM di bidang teknologi (technological creativity), ekonomi (economic creativity), dan seni budaya (cultural creativity) saling berkait dan pegang peran kunci dalam perwujudan perekonomian berdasarkan kreativitas.
Kurang adanya insentif khusus berupa keringanan pajak bagi perusahaan ataupun perorangan yang menyumbangkan sejumlah dana bagi organisasi-organisasi kesenian mengakibatkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan kesenian di Indonesia. Yang lazim terjadi di Indonesia adalah praktik kesponsoran untuk kesenian di mana perusahaan menyumbangkan sejumlah dana sebagai bagian dari strategi pemasaran produk. Misalnya, logo suatu perusahaan dilihat oleh 1.000 penonton saat pertunjukan. Contoh lain, perusahaan melihat peluang promosi sambil memberi bantuan kepada kelompok seni yang akan mengadakan pertunjukan/pameran berupa sumbangan tidak berupa dana: membantu pencetakan poster, undangan, katalog, atau buku program.
Penyelesaian Sesaat
Keterlibatan perusahaan di Indonesia masih terbatas pada penyelesaian masalah sesaat. Menurut penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Program), 80 persen kegiatan sosial perusahaan di Indonesia bersifat insidental dan sarat muatan promosi. Bahkan, ada kasus komersialisasi kegiatan sosial, misalnya dalam hal jumlah biaya promosi kegiatan jauh lebih besar daripada jumlah bantuan dana yang diberikan. Kebanyakan sumbangan dana sponsor untuk kesenian di Indonesia cenderung bersifat jangka pendek, bukan sebagai peluang kemitraan yang berkelanjutan (berjangka panjang) demi mencapai kepentingan bersama.
Salah satu perbedaan yang jelas terasa adalah penjualan tiket kegiatan kesenian atau pertunjukan. Di luar negeri, tiket kegiatan kesenian tidak dikenai pajak. Di Indonesia justru terjadi sebaliknya, penjualan tiket sering dikenai pajak tontonan.
Sesungguhnya telah ada regulasi mengenai pemotongan pajak bagi para penyumbang dana untuk kegiatan kesenian. Insentif pajak untuk sumbangan kegiatan seni dan budaya diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (PP-93). Insentif yang diberikan berupa pengurangan pajak penghasilan (PPh) kepada donatur hingga maksimum 25 persen dari jumlah yang diberikan. Hal ini bisa terjadi karena sumbangan yang dikeluarkan bisa dihitung sebagai biaya.
PP-93 ini merupakan kebijakan pertama yang diharapkan mampu mendorong filantropi untuk kegiatan kesenian di Indonesia. Sayangnya belum banyak perusahaan yang tahu tentang adanya PP-93 tentang insentif pajak ini dan jumlah perusahaan yang menyumbangkan dananya untuk kegiatan kesenian memang masih sangat terbatas. Negara-negara tetangga seperti Singapura, Filipina, dan Korea Selatan sudah menerapkan sistem insentif pajak yang serupa. Tujuannya adalah untuk mendorong partisipasi masyarakat mendukung perkembangan kesenian untuk kepentingan bangsa.
Sistem Kemitraan
Sudah waktunya kita membangun sebuah sistem kemitraan untuk kesenian di Indonesia. Tentu saja di sini dibutuhkan kesadaran pihak-pihak berkepentingan akan perlunya komitmen memperkuat kesenian Indonesia. Selain itu, perlu ada pemetaan kebutuhan baik yang bersifat jangka pendek, menengah, maupun panjang yang melibatkan unsur pemerintah, sektor swasta, organisasi nirlaba atau yayasan untuk seni, seniman, dan pekerja seni.
Penting pula untuk dibangun sebuah jejaring antara pekerja seni dan pelaku seni, entah tingkat kota entah tingkat daerah, yang saling berbagi informasi dan bersinergi sehingga fragmentasi, dan kecenderungan untuk bekerja sendiri-sendiri dalam sektor kesenian tidak terjadi. Di samping itu, komunitas kesenian yang bersinergi dengan jejaring di luar sektor kesenian yang memprakarsai penguatan filantropi sebagai bagian dari upaya memperkuat masyarakat sipil melalui penguatan infrastruktur, kapasitas kelembagaan, serta ruang gerak bagi sektor nirlaba dan kegiatan filantropi di Indonesia.
Dalam upaya menemukan strategi kemitraan yang terbaik dan cocok diterapkan di Indonesia, masyarakat seni budaya dituntut memiliki komitmen terhadap akuntabilitas, integritas, dan penghargaan atas keunggulan artistik. Dengan semakin banyak informasi mengenai sektor kesenian dan masyarakat makin terdidik akan peran dan nilai kesenian, diharapkan tercipta sebuah sistem kemitraan yang strategis atas dasar kesetaraan untuk penguatan kesenian di Indonesia sebagai kepentingan bersama.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT). Jatengdaily.com-st















